Share

5. Bagai Siang dan Malam.

"Ah, cieee. Mau nyamper lo lunch kali tuh?" celetuk Sangga sarat akan godaan yang hanya Zianne balas dengan sebaris tawa sumbang.

Yah.

Sebab, kesimpulan tersebut jelas lah terlalu muluk-muluk. Makan bareng? Zianne bahkan tak yakin jika dia pernah melakukannya-di suatu waktu khususnya setelah mereka menikah-bersama Tama, berdua saja.

Yah.

Zianne bukan Patricia. Sehingga bagi Tama, dia tentu tak harus merasa perlu berepot-repot ria meluangkan waktu cuma untuk sekadar makan dalam satu meja sama-sama. Malahan, mau Zianne makan atau tidak sekali pun, toh itu tidak pernah menjadi suatu persoalan berarti kok bagi Tama.

Maka, ketika Zianne memutuskan guna mengeluarkan sebuah decakkan pelan, spontan dia bergumam, "Ngimpi!"

Namun, agaknya Sangga melewatkan kekecutan yang mendadak merundung perempuan itu. Sampai-sampai dia justru melontarkan usul, "Nggak mau disamperin nih?"

"Nggak."

"Ngapa?"

"Karena, dia nggak bakal mau gue samperin."

Kali ini gantian Sangga lah yang menebar sebentuk decakkan. Sebegitu keras bunyinya hingga membuat Zianne refleks mendongak, membalas tatapan Sangga yang mengarah padanya dengan calak.

"Hadeh! Jangan pesimis gitu dong!" ujar Sangga kemudian.

"Kurang optimis gimana emang gue selama ini?" tanggap Zianne. Senyum sumir tak lupa ikut ia terbitkan secara singkat di atas bibirnya. "Udahlah. Lo mau apa ke sini? Tumben."

"Kok, lo masih nanya sih?" Sangga yang surai hitamnya tersisir dengan gaya semerawut itu justru balik bertanya dan membuat satu alis Zianne mencuat naik seketika.

"An, please deh! Gue dateng ke sini ya mau ngelamar lah. Apalagi?"

"Lo udah melarat? Kok bisa melaratnya ngedadak gini?" gumam Zianne seraya bertopang dagu. "Tapi, gue nggak gitu percaya sih lo bisa kerja di VER. Di sini tuh beban kerjanya berat-berat soalnya. Lo kan biasa jadi Bos." Entah Zianne punya niat menyindir atau tidak, tapi jujur ucapanya barusan terdengar cukup mengesalkan.

Di atas sofa tunggal dalam ruangan yang pada bagian luar pintunya tertulis keterangan Chief Operating Officer, yang kini tengah ia duduki, Sangga pun kontan memutar sepasang bola mata kebiruannya dengan teramat heboh dan lebay.

"Maaf-maaf aja nih, ya. Gini-gini walau casing gue gombal-gembel, lo tengok dulu lah brand-nya!" Pria itu menunjuk sebaris kata yang terpajang di atas dadanya. "Gu-Cci," ejanya menyebalkan. "Dan, maaf-maaf aja nih ya. Selain terlalu tajir, gue juga terlalu sempurna buat gabung di VER yang masuk pasar Asia Timur aja baru nyampe tahap rencana!"

Zianne mendesah.

Apa dia marah? Tersinggung kah dia akan apa yang barusan Sangga tuturkan?

Oh, tentu tidak.

Zianne tahu dengan pasti siapa dan seperti apa sifat seorang Sanggakara Gael-Monfils. Meski kerap sok paling oke se-Jakarta serta jarang sudi menelan kekalahan, pria yang nyaris tiga puluh tahun lalu lahir di Champagne tersebut toh, memang selalu menebar fakta kok. Ya, masa Zianne harus marah kalau Sangga bahkan nggak nyebar fitnah?

"Ya, terus ngelamar apaan maksud lo?" tanya Zianne yang kali ini jari-jemarinya sudah beralih untuk memijit ringan area pelipisnya. Entahlah. Mungkin gara-gara ia sulit makan belakangan, tapi di sana mulai terasa agak pening.

"Memangnya ada hal lain lagi?" ujar Sangga makin ambigu. Dua kali lebih ambigu karena, secara tiba-tiba pria itu berbicara dengan nada yang terlampau lembut.

Sedang, Zianne masih terus menanti dengan sabar bersama kernyitan-kernyitan yang juga kian dalam tercipta.

"Di sini, di depan kamu. Cuma ada satu jenis lamaran yang paling benar untuk aku lakukan." Sangga menggambil jeda. Melalui netranya yang sebiru lautan lepas pria itu lurus-lurus menatap Zianne. "Yaitu ... melamar untuk menjadi orang yang mencintai kamu. Menjadi sosok utama yang akan membahagiakan kamu.

"Menjadi orang pertama yang akan melemparkan punggung ini untuk melindungi kamu. Juga, yang paling penting adalah aku akan selalu hadir, menemani kamu untuk mengarungi gulungan ombak-ombak yang singgah menghantam dalam perahu kehidupan. Gimana?" Sangga mengangkat sudut bibir bagian atasnya seraya melanjutkan, "Romantisan mana? Mulut gue sama mulutnya Si Tim Tam waktu ngelamar lo dulu, hah?"

Zianne sontak mendengkus.

By the way, kenalin deh, dialah Sanggakara. Pria yang telah Zianne kenal sejak masih berumur belasan. Yang kebetulan kediaman keluarganya berada persis di sisi rumah Sarien. Hobi terfavoritnya di luar menghidu aroma wine ialah mengisengi, meresahkan dan bikin pusing Zianne. Baik itu dulu, sekarang atau, di masa depan nanti, Zianne sih tetap yakin bila Sangga akan terus membawa gelombang-gelombang semacam itu dalam hidupnya.

Lalu, Sangga bilang apa tadi? Ngelamarnya Tama? Romantis?

Ngimpi!

Argatama dan keromantisan tuh ibarat siang dan malam. Dua hal yang sengaja tercipta untuk tak saling bertemu. Setidaknya, begitulah yang selama ini Tama suguhkan dalam hidup Zianne. Entah bila itu hidup Patricia, Zianne tak ingin menerka-nerkanya.

"Lagian, lo sih ah udah jelas-jelas gue comblangin sama Si Kasastra malah milih Cokelat Garing. Udah garing, angus lagi! Sekarang, tahu nggak lo? Noh, Si Sastra malah mencelok sama Satika! Nyebelin banget! Masa gue terancam punya Adek Ipar tipe kek merica gitu! Ya Tuhan, semoga mereka cepet-cepet putus deh!" Sangga curhat panjang lebar sambil menangkup kedua tangannya di depan dada sok alim.

"Gue bilangin Satika ya lo ngedoain yang jelek-jelek soal dia dan masalah percintaanya, biar lo dimericain sekalian!" ancam Zianne tidak seratus persen bercanda.

Oh, jelas Satika kan salah satu Tim Hore tersetianya. Maka, dia juga akan melakukan hal yang sama. Lagi pula, Sangga saja yang lebay. Toh, adiknya dan Satika sejauh ini saling melengkapi serta cocok-cocok saja kok. Pun, paling penting mereka terlihat seperti pasangan pada umumnya. Jauh, sejuta kali lebih baik dari Zianne dan Tama.

"Bodo!" Sangga menggumam. Sayangnya, suara gumamanya lebih dari cukup untuk membuyarkan kusutnya isi pikiran Zianne. "Tapi, serius, An. Seandainya bisa, pasti nggak akan pernah ada Tama. Gue yang akan maju lebih dulu buat ngajakin lo merit. Sumpah!"

"Bacot!"

"Eh, tidak boleh kasar begitu ya bahasanya! Ntar Mas Tama marah."

Zianne merotasikan netranya karena, cara ngomong Sangga emang betul-betul enek untuk didengar. Selain itu, pengandaian yang sedang pria itu obral juga tidak lebih dari sebentuk kesia-siaan belaka untuk mereka bahas.

Dan, sepertinya Sangga pun mengamini. Terbukti, dia justru segera moveing on dengan malah melempar kalimat, "Eh, denger-denger lo tekdung ya?"

Zianne praktis melotot. Namun, berkat reaksinya itu Sangga justru semakin merasa di atas angin. Pria itu bahkan nggak tanggung-tanggung dalam menderaikan tawa sambil berceloteh, "Buju buneng! Si Tim Tam setelah mau setahun akhirnya berhasil menembus gawang juga tembakannya!"

"Sangga!" Zianne nyaris menggeram.

Namun, Sangga tetap dalam lajur ninjanya. "Ya, udah. Sebagai bentuk hadiah atas tumbuhnya bakal ponakkan gue dalem perut lo. Ntar, kalau lo butuh sesuatu, kalau Si Tim Tam-nya ogah-ogahan dan lambat peka, lo minta aja ke gue!"

"Terus, habis itu gue kena sambit Nikita?"

"Hei! Meski dia cewek rakitan Thailand, tapi gitu-gitu My Love anti loh yak menyambit cewek lainnya!"

Zianne tertawa. Entah oleh sebab faktor apa. Boleh jadi sebab, reaksi defensif Sangga yang terlampau konyol untuk disaksikan. Atau, sebab dia ingat sosok Nikita yang terlampau menyenangkan untuk diajak bergaul. Atau, sebab, dia merasa lega. Lega, karena hubungan milik orang-orang di dekatnya syukurnya tak semiris dirinya. Entahlah.

"Tapi, gue serius. Kalau lo pengen mangga muda yang ada di pohon tetangga, terus Si Tim Tam kagak mau manjat. Ntar, biar gue yang panjatin. Kalau gue nggak sanggup, ntar biar gue ajakin My Love sekalian buat ikut bantuin manjat!

"Semua bakal baik-baik aja, An. Gue selalu ada di tempat yang sama, nggak ke mana-mana. Lo harus tahu itu."

Senyum Zianne terbit dan perempuan itu lantas mengangguk percaya. "Thank you, Sangga."

"Santai."

"So, Ada perlu apa? Kali ini, serius!"

Sangga mengedik ke arah sebuah paper bag yang baru Zianne sadari sudah ada di sisi duduk pria itu entah sejak kapan. "Nganter ini. Kasihin ke Oma Rien, ya?"

"Kenapa nggak lo kasih sendiri? Takut Oma masih marah?"

"Terakhir gue masih inget seganas apa sambitannya. Beliau mungkin masih sakit hati sama pilihan gue."

"Nggaklah. Percaya deh, lo kenal Oma kan sekecewa-kecewanya beliau, mustahil Oma kuat marah lama-lama sama orang-orang yang beliau sayang."

"Termasuk ke Si Tim Tam nanti?"

"Hm?"

Dari kursinya, Zianne bisa menangkap sorot resah dalam pandangan yang Sangga layangkan sesaat sebelum pria itu berkata, "An, lo cucu favorit Oma. Dunia pun bakalan Oma kasih ke lo, dan sangat mudah buat Oma buat mites Tama yang udah berani nganyepin lo kek gini.

"Lagian, heran deh gue. Dia tuh udah dikasih bini yang cakepnya setara Miss Indonesia, yang baiknya kayak bidadari, udah gitu pinter, tajir melintir pula, kok ya dia anyep mulu dah? Kagak normal apa dia? Eh, tapi kan lo berhasil dibuatnya tekdung yak? Atau, malah jangan-jangan dia ada cemceman lain pula di luar?!"

Lihat!

Sangga memang benar, dia selalu ahli. Termasuk dalam hal menabak-nebak. Dan, cetusannya kali ini pun lagi-lagi memang bukanlah fitnah. Hanya saja, Zianne masih tidak kuasa untuk membenarkannya.

Sambil membasahi bibirnya yang makin kering, Zianne lantas masih mencoba menanggapinya dengan santai, "Lo kalau bosen ngurus wine coba deh ke ME. Daftar gih jadi penulis skenarionya! Gue lihat-lihat lo ada bakat. Otak lo sinetron banget!"

"Asem lo!" umpat Sangga. "Pokoknya gue serius loh, An. Kalau Si Tim Tam nyampe macem-macem, kebanyakkan tingkah kek, gayanya ngelunjak kek. Apa pun keenggak beresannya. Lo bilang gue! Biar gue ceburin dia ke Ancol kalau kurang tenggelem, gue seret nyampe ke Samudra Pasifik!"

Dan, Zianne tahu bahwa Sangga betul-betul mampu untuk melakukannya.

Lalu, tak lama, ketika mereka masih sibuk saling diam. Suara pintu diketuk datang. Menyusul selanjutnya, sosok Usa yang merangsek masuk sambil membawa sebuah nampan berisi secangkir teh hangat yang masih mengepulkan gumpalan uap-uap halus.

"Mbak Ane?" Tanpa melirik sedikit pun ke arah sofa yang berada di tengah ruangan-tempat Sangga berleha-leha-Usa mendekati meja Zianne.

"Ya, Sa?"

"Pianisnya udah datang. Mau sekarang ajak kenalannya, Mbak?" ujar Usa seraya memindahkan satu cangkir ginger tea ke permukaan meja kerja Zianne.

"Oh, iya, boleh deh. Di lantai dua kan?" tanya Zianne yang diangguki Usa. "Bentar lagi saya ke sana."

"Pianis?" Kalimat tersebut muncul dari mulut Sangga dengan tempo yang terkesan menyerobot.

Zianne maupun Usa bahkan belum sempat memberi reaksi saat Sangga lagi-lagi menyambung, "Patricia ...? Bener dia Pianisnya?"

Tidak. Atau, belum.

Yah. Zianne belum tahu. Namun, jika tebakkan Sangga kembali benar. Maka, itu bisa jadi merupakan alasan paling tepat untuk menjelaskan kenapa Tama bisa sampai tiba-tiba singgah ke VER.

Jangankan cuma datang ke VER, hati Zianne sekali pun bisa dan bahkan telah berhasil berkali-kali Tama remuk-redamkan. Sebab, sama seperti pria-pria lain yang jatuh cinta-seperti halnya Sangga pada Nikita, atau Kasastra pada Satika-Argatama pun tidak akan pernah merasa keberatan untuk melakukan apa saja, jika itu demi Patricia.

"An, lo hire Patricia jadi Pianis di event VER? Serius?" Sangga mengulang.

Zianne tidak tahu. Namun ....

"Kenapa?" tanya Zianne berbalik penasaran, siapa tahu Sangga mengetahui sesuatu yang dia belum tahu kan? Misalnya, sesuatu yang membuatnya bisa lebih percaya diri untuk menyaingi Patricia? Ya, apa pun lah. Sesuatu yang bisa mengatrol kepercayadiriannya.

"Wooow, gilaaaaa gilaaaa! Kalau bener boleh dong gue ikut ketemu? My Love nge-fans berat tahu ke Pat! Mau deh gue minta fotonya buat My Love! Dia pasti seneng banget!"

Sayangnya, semua orang agaknya memang dapat dengan mudah menyukai Patricia.

Lalu, Zianne kembali berakhir hanya dengan menghela napasnya samar.

Em, ngomong-ngomong apakah dia dan Tama juga ibarat siang dan malam yang sengaja tercipta untuk tidak saling bertemu?

Apakah sebaiknya memang begitu?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status