Share

3. Symphony No. 6, Pathétique.

Patricia melambaikan tangannya ringan pada Tama yang terlihat baru memasuki kawasan Deus Ex Machina Cafe.

"Udah lama?" tanya pria itu sesaat setelah mendorong mundur kursi kayu berkaki tinggi yang berada tepat di hadapan Patricia.

Sigap menggeleng, Patricia menyahut santai, "Paling sepuluh menit lah." Lalu, diangsurkannya sebuah lunch box bertingkat ke arah Tama. "Yang bawah cornflake cookies. Baru belajar sih dan bentuknya mungkin bikin enek waktu dilihat, tapi pas nyicip rasanya lumayan, kok buat temen lembur." Sebaris cengiran lugu pun ikut terbit guna menutup penjelasannya.

Sementara Tama yang mendengarnya sontak ber-woah ria tanpa suara. Sebelum, menundukkan kepala demi dapat membaui sekelebat aroma gurih yang khas, yang terlebur bersama menyengatnya wangi-wangi artifisial dalam ruangan. Meski demikian, toh, Tama masih cukup percaya diri ketika menarik kesimpulan serta menyeletukkan sebuah tebakkan, "Telur dadar?"

Patricia cuma mesem sambil mengangkat sepasang pundaknya enteng. "Kali ini kalo kurang garem ngomong!"

Dan, itu berarti Tama benar kan?

"Kapan emang pernah kurang garem?" Pria itu melontarkan gumaman, yang praktis mematik munculnya desisan sebal Patricia.

Oh, ayolah! Tidak tahu bila itu bagi perempuan lain, tapi bagi Patricia, tentu lebih baik jika dia harus mendengar kejujuran dari mulut Argatama-entah seburuk apa pun itu, termasuk juga di dalamnya terjembrengnya fakta mengenai kehamilan Zianne-daripada malah mesti menjadi pihak yang terus-menerus tak tahu apa-apa.

Iyalah. Karena, Patricia sendiri bahkan ragu kalau dia akan bisa bersikap layaknya Zianne. Yang diserbu oleh seribu satu tipu daya, namun tetap tegak berdiri dengan tenang?

Huh! Really? Patricia saja merasa tidak yakin, kok jika Zianne itu masih tidak tahu apa-apa, tentang semua yang telah terjadi di balik punggungnya dalam kurun satu tahun belakangan ini.

Bagaimanapun juga, perempuan itu jelas-jelas berasal dari golongan hartawan, memiliki kekuasaan yang mungkin terletak dalam jentikkan jari-jemarinya serta, tolong jangan lupakan soal intuisinya sebagai seorang perempuan. Jadi, harusnya sih tidak sulit lah untuk Zianne untuk mampu mengendus sesuatu yang selama ini coba dia dan Tama simpan rapat-rapat berdua.

Lagi pula, kembali lagi ke poin kejujuran, bukannya itulah yang menjadi pembedanya dengan Zianne? Tama tak pernah sekali pun menipunya di masa lalu, hal tersebut juga akan Patricia pastikan agar tak akan terjadi pula di masa kini, pun berlaku hingga kedepannya nanti. Yah. Tama tidak boleh membohonginya, tidak meski itu hanya secuil dan remeh.

"Sering," ujar Patricia seraya menipiskan bibirnya. "Kapan hari waktu aku bikin gulai daun singkong itu asin banget loh. Tapi, kamunya malah sok enak-enak aja. Nyebelin tau!"

"Terus maunya gimana?"

"Ya, bilang! Kalau enak, ya enak. Nggak, ya nggak. Mau itu kemanisan kek, keasinan kek, atau segala kepedesan kek, bilang! Biar kemampuanku meningkat gitu loh."

"Emang kalau kemampuan kamu meningkat setelahnya mau apa? Buka warteg?" tanggap Tama yang sewaktu Patricia melirik, tampak di bibirnya hadir segurat senyum miring yang luar biasa tipis. Yang mana jika mereka bukan dua orang yang telah saling mengenal sejak jaman purba-istilahnya-boleh jadi itu baru bakal ketahuan kalau sudah dikeker via teleskop!

Dan, yah, Patricia tahu betul kalau Tama sekarang sedang berusaha menggodanya. Benar-benar deh!

"Ya, nggak gitu! Seenggaknya kalau kemampuanku meningkat kan aku bisa lebih percaya diri," kilah perempuan itu seraya melarikkan pandangannya ke lingkungan sekeliling cafe.

To be honest, sama kayak namanya, Deus Ex Machina-yang kerap didatanginya bersama Tama sejak pria itu resmi beristri-memiliki bangunan yang terbilang lumayan tua nan reot untuk berdiri di tengah-tengah barisan gedung pencakar langitnya kota Jakarta.

Selain itu, menu yang kerap ditawarkannya pun, yah so-so lah. Di luar itu, pengunjungnya bahkan kadang tak ada-dengan kondisi sepayah itu, entah jurus apa yang diam-diam mereka lakukan di balik dapur dan buku besar dalam setahun ini, sehingga mereka masih sanggup lolos dari ancaman gulung tikar.

Namun, di samping bertaburnya segala kengenesan tersebut, bagaimanapun juga utamanya untuk Patricia serta Tama, Deus Ex Machina tak ubahnya sepotong solusi. Berjarak sekitar lima belas menit saja perjalanan dari ME Entertainment-kantor tempat Tama sibuk bekerja, yang bahkan kadang digelutinya bagai kuda.

Nuansanya yang tampak hitam-putih nyaris di seluruh sudut bangunan, lengkap diselingi oleh pemandangam berupa cat-cat yang mengelupas secara tidak aesthetic. Kecil kemungkinan bagi mereka untuk tertangkap mata jika bertemu di sana.

Oke, walau Tama terkesan cuek saja bilapun ada yang memergokinya jalan bersama Patricia. Namun, itu tidak berlaku bagi Patricia sendiri. Setidaknya, janganlah secepat ini.

"Percaya diri untuk apa?" Suara berat Tama yang nadanya terdengar rendah begitu saja menghempas lamunan Patricia.

Berdeham beberapa kali, Patricia masih melarikan netranya ke mana-mana saat mencetuskan jawaban yang tak kalah pelannya, "Berdiri. Di sisi kamu."

Tama kontan terbisu. Entah apa yang sekarang riuh hilir-mudik dalam benaknya. Akan tetapi, toh, dia terus bertahan demi menyoroti perempuan di hadapannya lekat-lekat sampai segaris senyum tiba-tiba terulas secara sempurna di atas wajahnya.

"Oke. Next time, aku bakal selalu ngomong. Jujur. Tapi, emang beneran enak, kok apalagi waktu udah dicampur pake sambel terasi kuahnya." Tama mengacungkan sebelah jempolnya ke udara. "Lagian, kamu berdiri di sisiku nggak sebagai koki, kalau-kalau kamu butuh diingatkan."

Membalas senyuman Tama melalui putaran bola mata, Patricia berbisik, "Thanks."

Mengangkat dua pundaknya, Tama mulai mematutkan perhatiannya ke arah tupperware di depannya sewaktu bertanya, "Mau ketemu klien siapa gitu?"

"Kukasih tau juga kamu nggak bakal percaya," tuduh Patricia seraya bersandar pada punggung kursi.

"Kok?" Tama lantas menempatkan tangannya di atas tutup tupperware. "Ini, boleh aku makan sekarang?" tanyanya yang selepas mendapati munculnya sebuah anggukan ringan dari Patricia, pria itu langsung diliputi semangat empat lima guna membuka wadah menu makan siangnya, demi menemukan wujud sekepal nasi putih seukuran mangkuk, dua potong telur dadar lengkap disertai oleh irisan daun bawang pun cabe, dua potong buah melon, tumis kacang panjang, juga ...

"Ayam asem manis?" Tama terpaku sesaat. Pria itu mungkin bahkan tidak sadar kalau dia baru saja meloloskan sebaris gumaman bernada gamang.

"Yep. Itu juga aku baru belajar sih," sahut Patricia sambil menebar senyuman jenaka yang selalu menjadi favorit Tama.

"Makasih."

"Hm?"

"Aku belum sempat makan." Tama mengadu seraya meraih sendok lalu dengan begitu buru-burunya dia melakukan suapan pertama.

"Nggak sarapan lagi?" Patricia berdecak. Benar-benar merasa tak puas. "Kenapa sih? Makanlah sesekali, kasian tau Zianne. Udah dia sibuk kerja, masih mau susah-susah nyiapin makanan eh, malah enggak pernah kamu makan."

"Siapa yang minta? Bukan salahku."

Oh, come on! Selalu Tama bersama tingkah ngeselinnya bila menyangkut Zianne!

Pria berkemeja hitam itu tengah mengunyah telur dadarnya, ketika mendadak terdengar mencetuskan info, "Tiketnya udah dapet."

"Serius?" Patricia nyaris menjerit bahagia.

Tama mengangguk. "Tinggal soal akomodasi. Mau sekalian aku pesan-"

"Jangan-jangan! Biar aku aja." Patricia menyela sigap. "Dan, buat uang tiketnya ntar aku ganti."

Tama sontak menghentikan seluruh aktivias bersantapnya supaya dapat menatap Patricia lurus-lurus. Pria itu kesal, Patricia tahu-rahangnya bahkan sudah mengetat. Karena, memang selalu begini kalau dirinya mulai bersikap seolah mereka adalah dua orang asing.

"Lagi? Zianne lagi?" ujar Tama sengau.

Bukannya, memang selamanya akan ada Zianne di antara mereka, ya? Terlebih, sekarang dengan kondisi Zianne yang tengah mengandung keturunan Tama ... itu mungkin bakal memperkecil kesempatan bagi pria itu untuk memimpikan mengenai segala bentuk masa depan yang melibatkan Patricia di dalamnya.

"Enggak gitu, tapi siapa tau nanti dia ada cek-"

"Patricia, tolong?" gunting Tama. "Itu bahkan nggak ada dua juta dan itu uangku. Hasil kerja kerasku. Aku berhak memakainya buat apa aja. Nggak ada urusannya sama Zianne atau, ketakutan kamu soal dia yang mungkin nanti bakal ngecek atau apalah. Kalau-kalau kamu lupa, pernikahan yang sekarang kami jalani, nggak seperti pernikahan kebanyakkan orang lainnya."

Begitukah?

Namun, pernikahan milik kebanyakkan orang lainnya yang selama ini Patricia tahu, ya, mereka kerap tinggal di tempat yang sama. Mereka bertemu di setiap harinya. Mereka membagi hari-hari mereka bersama lalu, di satu waktu mereka juga menghasilkan keturunan. Serta, semua hal itu bukannya sudah terjadi dalam pernikahan Argatama kan?

Patricia belum sempat menelurkan respons sebab, sebuah pesan masuk keburu terdengar singgah di ponselnya.

Membacanya sekilas, dia lalu menatap Tama. "Aku udah ditunggu."

"Siapa?"

"Klien."

"Loh, katanya mau ketemuan di sekitar sini?" Pria itu tampak heran. Namun, Patricia justru merasa lega karena, agaknya Tama telah memilih untuk menyingkirkan topik yang sebelumnya tengah alot mereka bahas.

"Nggak jadi."

"Aku antar!"

Yah. Itu bukan permintaan, tapi perintah.

"Boleh, tapi habisin dulu buahnya!" ujar Patricia.

Tama mengamini. Dia mengunyah sepotong melon dalam mulutnya sembari bertanya, "Di daerah mana ketemuannya?"

"Kuningan."

Tama mengangguk.

"VER."

Tama mendongak.

"Kantor Zianne."

Dan, Tama tak dapat lolos dari ketersedakkannya.

Sambil meminum air putih yang diangsurkan Patricia, Tama masih sempat mengejar fakta, "Urusan?"

"Urusan ... menurut kamu?" Patricia sontak menyemburkan tawa renyah begitu dilihatnya Tama melempar sebentuk tatapan berbau kepo. "Kerjaan. Santai."

"Memang kapan aku nggak santai?" gerutu Tama.

"So, jadi nganter nggak, nih?"

"Jadilah." Pria itu membereskan kembali tempat bekas makannya.

"Ntar, ada yang lihat, loh."

"Biarin."

"Ntar, Zianne tahu, loh."

"Ya, baguslah."

Patrica berdecak. Namun, dia tetap menyambut uluran tangan Tama dan merangkum jari-jarinya erat.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status