Share

Luka dan Duka

Bab.3 Luka dan Duka

 

“Hai...hai..., bayi Anda pipis. Bisa tolong ambilkan baju ganti?” Lisa berkata dengan suara lebih keras. Dia yakin Ryan masih di luar ruangan.

Benar. Tak lama kemudian pintu terbuka. Pria itu masuk, wajahnya tampak cemas. Lisa menggeleng. Tersenyum melihat Ryan lalu dia meletakkan tubuh bayi mungil ke atas brankar.

“Ada apa? Bayi saya kenapa?”

“Dia pipis. Tolong ambilkan baju ganti.”

“Saya kira dia sakit.”

“Tidak. Dia nangis karena pipis. Dia merasa tidak nyaman.”

“Oke. Tunggu sebentar.” Ryan berlalu dari ruangan.

Lagi, Lisa menggeleng disertai senyum. Bahagia memenuhi hatinya. Bagaimana tidak coba? Dia hanya perlu berbagi ASI, maka uang akan datang. Tidak perlu lagi bekerja. Tidak perlu memikirkan biaya kontrakan rumah. Paling tidak untuk jangka waktu enam bulan ke depan.

Dengan cekatan dia membuka kain bedong dan popok. Gerakannya berhenti saat dia sadar bahwa bayi yang disusui ternyata perempuan.

Lisa bukanlah seorang yang pandai ilmu agama. Namun dia juga tidaklah buta perihal ibu susu dalam ajaran agamanya. Bahwa bayi perempuan di depannya adalah anak susunya. Yang berati bayi perempuan itu adalah saudara sepersusuan bagi bayi laki-lakinya, Reyza.

Sebuah kejutan menampar kenyataan. Dia hanya silau dengan bayaran yang dijanjikan Ryan. Dia tidak bertanya sebelumnya tentang jenis kelamin bayi itu

Lisa menoleh saat pintu kembali terbuka. Ryan datang membawa baju ganti untuk bayi perempuan itu. Lelaki itu tertegun di depan pintu.

“Kamu kenapa Lisa?” tanya Ryan. Dia masih mematung di tempat.

Lisa mendekat. Sementara bayi itu ditinggal di atas brankar dalam keadaan kain bedong dan popok yang terbuka.

“Kenapa Anda tidak bilang kalau bayi Anda perempuan?” Lisa menyusut sudut mata yang berair.

“Kenapa? Ada masalah?” Ryan bertambah panik. Kini bukan hanya Zohrah yang menangis. Tetapi wanita muda di depannya juga.

“Kenapa tidak bilang dari awal kalau bayi Anda perempuan?” ulang Lisa parau. Bukan dia tidak rela membagi ASI. Dia takut sesuatu hal akan terjadi di masa yang akan datang. Dan Lisa berharap semoga itu hanya ketakutannya semata.

“Maaf. Saya tidak paham dengan maksud kamu.”

Lisa menyapu wajah dengan jemarinya. Dia merebut baju bayi dari tangan Ryan. Berjalan mendekat ke brankar. Membersihkan dan mengganti baju si bayi perempuan itu. Akhirnya, bayi itu tenang setelah berganti baju.

“Siapa namanya?” Lisa mengayun-ayun tubuh bayi perempuan itu dalam gendongan.

“Zohrah.”

“Nama yang cantik.”

“Kamu kenapa? Maksud saya, kamu kenapa seperti orang menyesal setelah tahu bayi saya perempuan?”

Lisa menoleh lalu dia kembali memandangi wajah Zohrah. Ah, bayi dalam buaian benar-benar telah menyihirnya. Dalam sekejap Lisa sudah jatuh cinta pada bayi itu.

“Bayi saya laki-laki. Reyza namanya.”

“Mereka akan jadi saudara. Apa yang salah?”

Syukurlah kalau pada akhirnya mereka akan menjadi saudara. Saudara sepersusuan. Namun ketakutan Lisa bukan karena hubungan kedua bayi mereka. Dia takut berpisah, lalu akhirnya Reyza dan Zohrah menjadi asing. Tidak menutup kemungkinan mereka akan bertemu lagi di kemudian hari, bukan?

“Saya takut mereka ketemu lagi setelah ini.”

“Ada yang salah jika mereka bertemu lagi?”

“Tidak. Semoga tidak terjadi apa yang saya takutkan.”

Lisa menyerahkan Zohrah yang sudah tertidur pada Ryan. Mereka berjalan bersisian menuju ruang bayi.

“Lisa, terima kasih.”

“Iya,” sahut Lisa. Dia menoleh pada Ryan. Sikap pria itu membuat hatinya bergemuruh. Lisa rindu dengan suaminya. Tidak, itu bukan rindu! Lisa tengah berusaha membunuh rasa cinta untuk seorang suami yang tega berkhianat.

Iya. Anjas, suaminya itu kabur membawa semua uang serta surat-surat berharga milik ayah Lisa. Tanpa merasa berdosa pria itu menelantarkan Lisa di tengah kesakitan saat kontraksi datang. Dan meninggalkan bayi mereka begitu saja, tanpa memikirkan biaya persalinan.

“Saya boleh menggendong Reyza?” Ryan meminta izin. Bayi dalam gendongan Lisa sungguh menggemaskan.

“Tentu.”

“Lucu sekali dia.”

“Zohrah juga lucu.”

Keduanya tersenyum. Mereka bagai keluarga kecil yang dipenuhi kebahagiaan dengan kedua bayi kembar.

Siapa yang menyangka mereka hanya dua orang asing yang tak sengaja bertemu? Ryan dengan lukanya. Dan Lisa dengan dukanya.

♧♧♧

“Nisa pamit pulang, Bu.” Nisa mencium punggung tangan Sari. Sementara dia menaruh koper di dekat sofa panjang ruang tamu. Hari ini dia bersiap untuk pulang ke Jogjakarta. Ke rumah orang tuanya.

“Titip ini buat Zohrah.”

Sari menerima botol susu ukuran sedang dengan isi penuh. Terharu wanita setengah baya itu tiap kali menyaksikan Nisa memompa ASI. Untuk diberikan kepada Zohrah secara diam-diam tanpa sepengetahuan Ryan.

“Ryan tidak punya perasaan.” Sari mendengkus kesal tatkala sebuah sepeda motor berhenti di halaman rumah.

“Bukan salah Ryan, Bu.”

“Jangan selalu membela anak ibu, Nis.” Sari mengusap wajah menantunya.

“Biar Nisa yang ambil,” kata Nisa sebelum mertuanya melangkah keluar rumah. Di teras sudah berdiri seorang pria muda. Tukang ojek langganan Ryan.

Setiap pagi selalu ada tukang ojek yang datang mengantar ASI. Titipan untuk Zohrah, kata tukang ojek itu. Baik Sari maupun Nisa, keduanya tahu selama ini Ryan membayar seseorang untuk menjadi ibu susu bagi Zohrah.

“Buang saja,” perintah Sari. Seperti yang dilakukannya selama seminggu belakangan.

“Biarkan saja, Bu.”

“ASI kamu cukup buat Zohrah.”

“Mungkin untuk hari ini masih ada. Besok dan seterusnya kan Nisa sudah tidak bersama Zohrah lagi. Nisa sudah tidak bisa memberi ASI buat Zohrah.”

Seminggu berlalu dan Ryan belum mengizinkan Nisa menyusui bayinya sendiri. Sari tak kehabisan ide. Dia menyuruh Nisa memompa ASI. Kemudian Sari sendiri yang akan menukar ASI dari ibu susu Zohrah dengan ASI dari Nisa.

“Ini biar Nisa simpan di kulkas, Bu.” Nisa membawa sebuah boks kecil berisi ASI yang diantar tukang ojek.

“Kamu manis sekali, Nis. Ryan akan menyesal melepas kamu.”

Nisa hanya tersenyum mendengar ucapan ibu mertuanya. Dia tetap berjalan menuju dapur, menghampiri kulkas. Dibuka pintu kulkas, lalu ditaruh plastik-plastik itu berjejer dengan ASI miliknya yang sudah lebih dulu menghuni freezer.  

“Ryan ada di kamar. Kamu tidak ingin menyusui bayi kamu? Mumpung Ryan tidak tahu.” Sari mengikuti Nisa sampai ke dapur dan membawa serta Zohrah.

“Enggak usah, Bu.” Nisa mencium pipi Zohrah yang ada dalam gendongan Sari.

“Apa tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini, Nisa?”

Nisa tak mampu menjawab. Separuh hatinya tertinggal di rumah itu. Ingin dia selamanya bersama Zohrah. Melihat dan menyaksikan anaknya bertumbuh adalah impian setiap orang tua. Termasuk Nisa.

“Boleh Nisa gendong Zohrah?”

“Iya. Tentu saja.” Sari menyerahkan Zohrah pada Nisa. Dia memilih pergi menuju kamar Ryan. Memanggil anak semata wayangnya. Sejak semalam Ryan mengurung diri.

Dikunci. Tidak seperti biasa. Sari mengetuk daun pintu berwarna putih itu.

“Yan, keluar dulu. Nisa mau pamit,” panggil Sari. “Ryan.”

Tidak ada jawaban. Bebal benar kelakuan Ryan. Sari paham Ryan sebenarnya tidak ingin Nisa pergi. Tapi rasa angkuh dan harga diri lebih menguasai pikiran anak satu-satunya itu.

“Ryan. Keluar sebentar saja.”

Tetap tak ada sahutan.

“Ryan! Kamu tidak keluar, Ibu akan biarkan Nisa membawa Zohrah pergi bersamanya.”

♧♧♧

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status