Share

Dipertemukan oleh Takdir

Bab.2 Dipertemukan oleh Takdir

 

“Kamu kenapa menangis?” tanya Ryan. Di yakin usia wanita itu lebih muda dari Nisa. Hanya saja wajahnya terlihat sendu. Seperti tengah menyimpan kesedihan.

“Saya harus meninggalkan bayi saya di rumah sakit karena belum bisa membayar biaya persalinan.”

“Saya bisa membantu kamu. Asal kamu mau membagi ASI untuk bayi saya.”

Wanita muda itu menoleh. Raut mukanya menyiratkan kebimbangan. Lalu dia menggeleng.

“Saya tidak akan menjual bayi saya,” tegas wanita itu.

Ryan tersenyum. Dia kembali menatap Zohrah lewat dinding kaca. Bayi perempuan itu bergerak, mungkin ada yang mengusik tidurnya.

“Dia bayi saya,” kata Ryan sembari menunjuk sebuah boks bayi. “Dari lahir dia belum mendapat ASI.”

Pandangan wanita muda itu mengikut ke mana jari Ryan menunjuk. Bayi mungil itu seperti memiliki kekuatan sihir yang meluluhkan hati. Sihir itu bernama cinta, kasih sayang dan harapan. Bayi perempuan itu punya harapan untuk bertahan hidup dengan cinta dan segenap kasih sayang.

“Perkenalkan, saya Ryan.” Ryan menjulurkan tangan pada wanita muda yang berdiri di sampingnya.

“Saya Lisa,” sambut wanita itu menjabat tangan Ryan. “Dan itu bayi saya.” Dia menunjuk sebuah boks bayi bersebelahan dengan boks bayi yang ditunjuk Ryan.

Bayi itu menggeliat. Seperti tahu, ada dua orang dewasa yang tengah membicarakannya. Ryan terpaku melihat itu. Tersihir oleh wajah lucu nan menggemaskan.

Dua bayi itu sama-sama memiliki sihir yang mungkin tak masuk dalam logika. Sihir itu cinta. Sihir itu kasih sayang. Sihir itu perhatian. Dan sihir itu yang membuat hati Lisa bergetar.

“Ambil bayi kamu. Saya akan memberi apa yang tidak dia dapatkan dari ibunya,” ujarnya kemudian.

Gerimis membasahi hati. Ryan tersenyum tapi menangis. Menangis haru oleh kesediaan Lisa. Tersenyum bahagia karena Zohrah tidak akan kelaparan. Bayi itu akan mendapat ASI pertama.

Namun Ryan sedih dan kecewa. Sebab bukan Nisa melainkan orang lain. Bukan ibu kandung, tetapi ibu susu.

Setelah meminta izin pada suster jaga, Ryan menyerahkan Zohrah pada Lisa. Sepanjang koridor menuju ruang rawat inap, pandangannya tak lepas dari sosok Lisa. Sambil berandai dia membayangkan jika yang tengah berjalan di sisinya adalah Nisa.

“Boleh Anda keluar dulu.” Bukan mengusir, Lisa meminta Ryan ke luar. Dia malu dan tentu saja salah jika membiarkan Ryan berada di dalam ruangan. Sementara mereka hanya dua orang asing yang dipertemukan oleh takdir.

♧♧♧

“Kalian bicarakan baik-baik. Ibu tidak mau ada perpisahan.” Nasihat Sari, ibu mertuanya terngiang di telinga Nisa.

“Bapak tidak ingin kalian berpisah. Ryan dan anak kalian butuh kamu, Nis. Bapak ingin kalian tetap bersama.” Permintaan Adji, bapak mertuanya juga mengusik.

Nisa memejamkan mata. Mengingat kedua orang tua Ryan memohon, sungguh tak sampai hati bila dia mengingkari. Kedua orang tua Ryan terlalu baik untuk disakiti. Cukuplah sudah mereka menderita karena perbuatan yang dilakukan olehnya dan Ryan. Yang  membuatnya hamil di luar nikah.

Mengusir pikiran penat,  Nisa menyalakan televisi. Jarinya bergerak lincah di atas tombol remote kontrol. Tidak ada acara yang menarik. Sampai akhirnya jarinya berhenti ketika melihat berita kriminal yang ditayangkan salah satu stasiun televisi.

Seorang pemilik kafe dan restoran ternama di Bali menjadi korban perampokan. Tewas di rumahnya. Diduga pelaku adalah keluarga dekat korban.

Peristiwa nahas itu terjadi tiga hari lalu. Sementara polisi menetapkan pelaku adalah sepasang suami istri yang hingga detik itu belum diketahui keberadaannya. Sepasang suami istri yang tak lain adalah anak dan menantu korban.

Kedua tersangka kini menjadi buronan. Televisi menayangkan foto kedua pelaku. Seorang pria muda, usianya sama dengan Nisa. Dua puluh tiga tahun. Dan istrinya dua puluh tahun yang tengah hamil besar.

“Nisa, Ryan tidak ke sini?” Sari bertanya setelah membuka pintu.

Nisa terlonjak. Dia menoleh ke arah pintu, di mana Sari masih berdiri. Sepuluh menit yang lalu wanita paruh baya itu pamit ke ruang bayi. Berniat membawa Zohrah. Sebab Nisa sudah bersedia memberikan ASI untuk bayi perempuannya.

Namun, raut kecewa tersirat di wajah Sari. Mertuanya datang seorang diri. Tidak ada bayi mungil dalam  gendongan. Di mana Zohrah?

“Perawat bilang, Ryan membawa Zohrah ke luar. Ibu kira dia ke sini lagi.” Sari menarik kursi di sisi brankar. Duduk dan mengelus lengan Nisa.

“Aku sudah sangat menyinggung perasaannya. Mana mungkin dia mau ketemu aku lagi, Bu?”

“Itu hanya emosi sesaat. Nanti pasti Ryan datang lagi.”

“Ibu sudah coba telepon Ryan?”

“Sudah. Tapi tidak diangkat. Ke mana dia membawa Zohrah?” Sari semakin panik.

“Coba aku yang telepon. Tolong ambilkan, Bu.” Nisa menunjuk ponsel di atas nakas.

Panggilan pertama diabaikan. Panggilan kedua tidak diangkat. Panggilan ketiga ditolak. Panggilan keempat....

“Kenapa telepon?” Ryan berdiri di ambang pintu. “Mau bilang selamat tinggal?”

“Mana Zohrah?” tanya Sari cemas.

“Ada di tempat yang aman.” Ryan berjalan menuju lemari. Dia mengeluarkan tas dan mengambil sebuah baju bayi, kain bedong dan tisu basah.

Nisa mengamati dari atas brankar. Mungkin Zohrah pipis makanya Ryan berniat mengganti pakaian bayi mereka. Nisa tersenyum. Namun saat mereka bertemu pandang, senyum itu lenyap.

Ada yang berbeda dari tatapan Ryan. Entah apa. Namun Nisa merasa kehilangan. Amat sesak dan memilukan.

Pria yang berdiri di depan bukanlah Ryan yang Nisa kenal. Tidak ada senyum. Tidak pula perhatian apalagi kasih sayang. Nisa kehilangan itu dari sosok Ryan.

“Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Aku tidak akan menahannya. Bilang padaku kapan kamu mau pulang, nanti aku pesankan tiket.”

Menusuk dada hingga tembus ke jantung. Kata-kata Ryan terasa menohok. Mengapa di saat Nisa membuka hati, justru pintu itu tertutup untuknya?

“Di mana Zohrah? Aku ingin menyusui dia.”

Seringai pongah memenuhi wajah Ryan. Dua jam yang lalu dia memohon. Berharap istrinya akan luluh ketika melihat bayi mereka. Namun hasilnya nihil, bukan?

Itu dua jam yang lalu, sebelum dia bertemu Lisa. Dan kini, dia tak ingin peduli dengan istrinya. Meski di hati terasa tercabik. Karena sesungguhnya  tak mampu menyakiti wanita yang sangat dicintai.

“Tidak perlu. Aku bisa membelikan dia susu formula.”

Satu bulir air mata lolos dari sudut mata wanita di depannya. Ryan ingin mendekat, ingin menghapusnya. Namun diurungkan langkahnya. Dia memilih keluar.

Berjalan terburu, tak menoleh. Bahkan saat Sari memanggil. Di sepanjang koridor dia merutuk diri. Mengutuk tindakan bodohnya. Saat dia menemukan ibu susu untuk Zohrah, mengapa pada saat yang sama Nisa bersedia memberikan ASI untuk bayi itu?

Ryan sudah membuat kesepakatan dengan Lisa. Wanita muda itu bersedia menjadi ibu susu bagi bayinya selama enam bulan penuh. Dengan imbalan yang tidak sedikit tentu saja. Bukan sekadar membiayai persalinan Lisa. Melainkan juga seluruh biaya hidup Lisa termasuk tempat tinggal.

Lalu dengan mudahnya Nisa berkata ingin menyusui Zohrah? Di mana hati nuraninya tatkala Ryan memohon?  

“Lisa, boleh saya masuk?” Ryan mengetuk pintu di depan ruangan wanita muda itu.

Tentu itu hanya demi formalitas. Nyatanya sebelum Lisa menjawab, Ryan sudah terlebih dulu membuka pintu.

“Kamu kenapa Lisa?” Ryan terkejut dengan ekspresi yang ditunjukkan wanita berambut panjang itu. Sulit dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin marah, kecewa, sedih atau entahlah? Ryan bukanlah orang yang pandai membaca raut muka orang lain.

Lisa mendekat. Sementara bayi itu ditinggal di atas brankar dalam keadaan kain bedong dan popok yang terbuka. Bayi itu mengompol tadi, dan Lisa ingin mengganti bajunya. Maka dia meminta Ryan mengambil baju ganti berikut kain bedong yang baru.

Namun sebuah kejutan menampar kenyataan. Dia silau dengan bayaran yang dijanjikan Ryan. Sehingga tidak bertanya sebelumnya tentang jenis kelamin bayi itu.

“Kenapa Anda tidak bilang kalau bayi Anda perempuan?” Lisa menyusut sudut mata yang berair.

♧♧♧

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status