Share

Kalung Berbandul Sailor Venus

Bab.4 Kalung Berbandul Sailor Venus

 

“Ryan. Keluar sebentar saja.”

Tetap tak ada sahutan.

“Ryan! Kamu tidak keluar, Ibu akan biarkan Nisa membawa Zohrah pergi bersamanya.”

Ancaman itu berhasil. Wajah Ryan menyembul dari balik pintu. Tapi dia enggan keluar. Biar saja Nisa yang datang sendiri ke sini, pikirnya.

“Yan. Kamu jangan egois. Temui Nisa.”

“Bukan Ryan. Tapi Nisa yang egois.”

“Nisa sudah berusaha jadi ibu yang baik.”

“Dia menolak Zohrah. Baik dari mana?”

“Karena kamu terburu-buru mencari ibu susu buat Zohrah. Makanya Nisa memilih pergi.”

Ryan mencebik. Apa tadi tidak salah dengar? Pintar sekali Nisa memutar balikan fakta. Wanita itu yang lebih dulu menelantarkan Zohrah. Wanita itu yang lebih dulu menolak, lalu kenapa sekarang seolah menjadi orang yang paling tersakiti?

“Ryan tidak akan keluar.”

“Ryan!”

“Ibu, dia yang egois bukan Ryan. Dia sendiri yang memilih pergi. Kenapa juga Ryan harus mencegahnya?”

Pintu ditutup. Sari menghela nafas. Pusing sendiri memikirkan hubungan Ryan dan Nisa. Keduanya masih sama-sama muda. Masih sama-sama meninggikan ego. Dan beranjak dari depan kamar Ryan menjadi pilihan terakhir.

“Biar Nisa yang temui Ryan,” usul Nisa. Walau dia tidak begitu yakin Ryan bersedia menemuinya untuk terakhir kali.

Nisa menerobos masuk ke dalam kamar. Kebetulan sekali pintu tidak dikunci. Dia menjumpai Ryan yang tengah berbaring. Matanya terpejam, telinganya tersumpal headset. Wajahnya...? Nisa tak tahu apa yang tersirat dari raut muka pria itu.

“Yan!” Nisa berteriak di depan pintu.

Ryan menguman.

“Ryan!”

“Apa?” Ryan malas bicara.

“Kamu enggak mau lihat aku pergi?”

Ryan menguman lagi.

Nisa menghembuskan nafas kasar. Dia mengambil sesuatu dari dalam tas selempang. Tanpa pikir panjang, dilemparnya benda itu ke arah Ryan. Jatuh tepat di atas wajah.

Itu kalung pemberian Ryan dua tahun yang lalu. Kalung dengan bandul berbentuk Sailor Venus. Ryan sengaja mendesain bandul itu secara custom. Khusus untuk wanita pujaan hatinya.

Merasa sesuatu menimpa wajah, Ryan mengambil benda itu. Tanpa harus membuka mata dia tahu benda apa yang mendarat.

“Aku pergi.”

Lagi. Menguman lagi.

“Ryan, aku pergi!”

“Pergi saja.”

Nisa membanting daun pintu dengan kasar. Berjalan cepat meninggalkan kamar itu.

“Nisa pergi, Bu. Titip Zohrah.”

“Maaf, Ibu tidak bisa membantu kamu. Maafkan Ibu.”

Selepas berpelukan, Nisa menyeret koper. Taksi pesanan juga sudah sampai sejak lima menit lalu. Dari dalam kursi penumpang, Nisa melambaikan tangan.

“Maafkan Mama, Nak.”

♧♧♧

Pintu dibanting dan Ryan membuka mata. Bukan karena kaget, itu adalah kebiasaan Nisa kalau sedang marah. Ryan sudah hafal. Di luar kepala.

“Kamu egois. Cuma mikirin diri sendiri. Kamu enggak mau tau perasaan orang lain.” Ryan bermonolog.

“Aku sayang kamu, Nisa!”

Ryan memandangi seuntai kalung perak di tangannya. Bandul Sailor Venus itu menjuntai. Minako Aino atau Sailor Venus itu seakan melambaikan tangan. Menyuruh Ryan agar bergerak mengejar Nisa.

Sailor Venus adalah salah satu Sailor Guardian dalam serial anime Jepang berjudul Sailor Moon.

Ryan sering menonton serial itu bersama Nisa. Diulang-ulang terus sampai dia hafal adegan demi adegan. Tapi Ryan tidak bosan, asal bisa melihat Nisa tersenyum puas saat melihat kelima pahlawan itu beraksi mengalahkan musuh.

Dengan kekuatan bulan akan menghukummu! Jargon Sailor Moon saat sedang menghadapi musuh. Sering kali dipelesetkan oleh Nisa menjadi.

“Dengan kekuatan datang bulan akan menghukummu.” Berikut dengan gaya khas pahlawan rambut kuning panjang diikat dua itu. Begitulah, Nisa akan berubah menjadi sosok yang menyeramkan ketika tamu bulanan datang. Marah tak jelas. Tiba-tiba merajuk. Tahu-tahu menangis. Eh, tak berselang lama lalu kembali ceria.

Dasar Nisa payah! Tetapi Ryan dengan senang hati menjadi lebih payah karena memikirkan wanita itu.

Baru lima tahun  Ryan mengenal Nisa. Namun untuk menceritakan semua tentang wanita itu, rasanya seumur hidup pun tak akan cukup.

“Bodoh!” Ryan berdecak. Dia segera berlari ke luar kamar. Dengan harapan belum terlambat mencegah Nisa pergi.

Di ruang tamu, di belakang tubuh Sari. Ryan mematung melihat Nisa melambaikan tangan. Hatinya teriris. Perih.

“Nisa, tunggu!” Ryan berlari secepat yang dia mampu. Namun taksi berlogo burung itu tak lagi terkejar.

Tidak boleh! Nisa tidak boleh pergi. Ryan mengeluarkan motor sport merahnya dari garasi. Dia harus mengejar Nisa.

“Ryan!” teriak Sari dari teras. “Jangan ngebut, Nak.”

Apalah daya, suara Sari kalah oleh desing motor. Ryan menambah kecepatannya. Mengejar taksi berwarna biru yang membawa separuh hatinya.

Ryan semakin kencang menarik tuas gas. Menyalip  beberapa kendaraan agar bisa mengejar taksi yang ditumpangi Nisa. Tindakannya sungguh berbahaya. Beberapa mobil membunyikan klakson saat tiba-tiba motor Ryan menyalip dan tahu-tahu sudah melesat jauh di depan.

Sedikit lagi taksi itu berhasil terkejar. Ryan menambah kecepatan. Peduli apa dia keselamatan dirinya? Bagi pria berusia dua puluh empat tahun itu yang paling penting adalah Nisa. Mencegah wanita tercintanya pergi. Bagaimana pun, mereka belum resmi bercerai.

Motor sport berwarna merah itu menyalip dan berhenti tepat di depan taksi. Membuat sopir taksi itu kaget dan refleks menginjak tuas rem. Nisa jauh lebih kaget. Tubuhnya terhuyung ke depan lalu dengan cepat kembali terpental ke belakang.

“Maaf Mbak, ada motor berhenti mendadak di depan,” ujar sopir taksi.

“Ryan?” gumam Nisa setelah melihat pria itu turun dari motor. “Cari penyakit. Kebiasaan!”

“Mbak kenal? Pacarnya yah?”

“Tunggu sebentar. Saya turun dulu, Pak.” Nisa membuka pintu taksi. Berjalan mendekat ke arah Ryan.

Ryan menarik tubuh Nisa setelah mereka berhadapan. Memeluk erat wanita itu seraya membelai rambut panjangnya.

Nisa memberontak. Berusaha melepaskan diri dari pelukan Ryan. Tangannya memukuli dada pria itu.

Sementara suara klakson bersahutan. Perbuatan Ryan mengganggu lalu lintas. Menyebabkan kemacetan.

“Ryan lepas!”

“Enggak.”

“Kamu bikin macet jalanan.”

“Biarin.”

“Ganggu lalu lintas.”

“Biarin.”

“Ryan!”

“Aku enggak mau kamu pergi.”

Nisa melemah. Dia berhenti memukuli dada Ryan. Dada bidang tempat bersandar paling nyaman baginya.

Suara klakson semakin riuh. Ditambah pula dengan teriakan beberapa pengendara dan pengguna jalan yang lain.

“Ryan, kita bicara di pinggir.” Nisa menyeret tangan Ryan ke tepi jalan.

“Kita enggak harus menepi.”

“Tapi kita bikin macet.”

“Makanya kita harus pergi dari sini.”

Keadaan berganti. Ryan menarik tangan Nisa ke tengah jalan lagi. Lalu berhenti di dekat motor Ryan.

“Jangan kemana-mana!” perintah Ryan.

Sedangkan dia mendekat pada sopir taksi yang ditumpangi Nisa. Membayar ongkos sekaligus menyuruh sopir taksi itu berputar balik. Menuju rumahnya. Mengantar koper Nisa.

“Naik!”

“Aku mau pulang.”

“Aku yang antar.”

“Kapan sampai kalau kamu yang antar?”

“Cepat naik dan enggak usah ngajak debat.”

Dengan kasar Nisa menyambar helm dari tangan Ryan. Lebih baik menurut perintah pria itu daripada berdebat di tengah jalan. Lagi pula dia malu menjadi bahan olok-olok para pengguna jalan. Dan lagi suara klakson seakan memecah gendang telinga.

“Cepat jalan.”

“Beres Nona.” Ryan tersenyum manis. Menggoda dan merayu, “Saya akan segera berlabuh ke hatimu.”

Nisa mencebik. Begini sikap asli Ryan. Pandai merayu. Mau menang sendiri. Dan, pejuang tangguh.

Bagaimana Nisa tak terpesona dengan pria ini? Bukan hanya tampang yang keren, tapi perilaku dan tutur yang manis. Ryan pandai memainkan hati Nisa. Menarik ulur, sampai-sampai Nisa bingung dengan perasaannya sendiri.

Mungkin, dia memang telah jatuh hati kala itu. Waktu di Puncak, sembilan bulan lalu. Saat ulang tahun Ryan.

“Ngelamun apaan?” Ryan melihat Nisa yang tengah bengong lewat kaca spion.

“Enggak.” Nisa menggeleng.

“Zohrah sayang sama kamu. Jangan pergi.”

Tatap mereka bertemu dalam kaca spion. Desiran di hati Nisa semakin nyata. Benarkah saat ini dia mencintai Ryan? Atau hanya rasa bersalah karena pernah menolak Zohrah?

“Tapi aku sayang sama Agung.” Dengan sengaja Nisa menyebut nama tunangannya.

Melalui kaca spion Nisa melihat senyum seringai Ryan. Dan hatinya perih melihat itu. Nisa memalingkan wajah. Menghindar dari tatapan Ryan.

“Aku tau,” ketus Ryan. “Dan apa kamu tau, aku bosen dengar kamu bilang itu tiap hari.”

“Aku juga bosen kamu cuek sama aku tiap hari.”

Obrolan mereka berhenti. Ryan mempercepat laju motor. Jika keadaan belum berubah, jika persahabatan itu masih murni. Nisa sudah tentu memarahi tindakan Ryan. Bukan hanya marah, sudah pasti bertubi-tubi cubitan dia hadiahkan di pinggang pria itu. Atau pukulan keras di punggung juga boleh. Nisa sebal kalau Ryan kebut-kebutan di jalan raya.

“Aku lapar.” Ryan membuka pembicaraan. Mereka sudah sampai di jalan gang perumahan.

“Salah siapa tadi pagi enggak ikut sarapan?”

“Males liat kamu.”

“Kalau males ngapain dikejar?”

“Sayang.”

♧♧♧

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status