Bab.15 Jangan Pupus, Bungaku!“Sudah Ra, jangan nangis terus.” Lani mengelus punggung Zora. “Kalung Mama putus.”“Bisa disambung lagi.”Zora semakin kencang menangis. Bikin suasana kelas yang berisik semakin rungsing. “Itu satu-satunya kenangan Mama.” Di tengah isak Zora menjelaskan pada Lani. Kemudian gadis itu menelungkupkan sebagian tubuh di atas meja.Lani celingukan. Matanya memindai seluruh ruangan kelas. Dia kesal. Penghuni kelas XI MIPA 2 ada dua puluh siswa. Namun tengoklah mereka berdelapan belas, tak satupun yang peduli.Di bangku ujung belakang sebelah kiri dia melihat Eza. Pemuda itu rupanya tengah mengamati. Buktinya ketika terpergok, pemuda itu langsung buang muka.“Bantuin gue,” pinta Lani begitu sampai di bangku Eza. “Tolong Zora dong,” imbuhnya kemudian.“Kamu saja enggak bisa nolong, apalagi aku?”“Paling enggak lu punya tampang cakep.” Lani salah ucap, dia membungkam mulutnya sendiri. Malunya sampai ke ubun-ubun. Bak buah tomat matang, pipinya bersemu.“Apa hubun
Bab.16 Akhirnya Aku Menemukanmu“Nisa?” Ryan tercekat. Tak mungkin dia salah mengenali orang. “Itukah kamu?”Sesak dirasakan Ryan. Dia mundur, merapat pada dinding. Mencari penopang. Dia limbung dihantam kenyataan. Nisa Salsabilla yang dia temui adalah satu orang yang sama.“Akhirnya aku menemukanmu.”Nisa tak kalah terkejut. Sejak keluar dari dalam toilet dia sudah menyadari kehadiran seseorang di belakang. Parfum yang Ryan pakai tak pernah berubah. Bahkan indra penciuman Nisa telah mengabadikan aroma tubuh pria itu.Lebih-lebih kala Ryan memanggil. Suara itu, bagaimana Nisa bisa lupa jika tiap malam merasuk dalam mimpi?Saat pria itu menyebut Haura dengan sebutan ‘anak cantik'. Serta alasan yang aneh dan tak masuk akal, lupa jalan keluar. Nisa yakin seratus persen jika pria yang berjalan di belakang adalah Ryan. Tak berubah! Sang perayu dan pejuang tangguh.Saat Ryan memanggil namanya. Desir di dalam sana semakin nyata. Nisa menggenggam erat tangan Haura. Hanya itu yang bisa dilaku
Bab.17 Mencuri Jodoh Orang Lain “Ryan, tunggu!” teriak Nisa. “Kita masih perlu bicara.”Nisa mematung di tempat tatkala Ryan menoleh. Banyak hal yang dia tanyakan pada mantan suaminya itu. Terutama tentang anak mereka, Zora.Gemetar tubuh Nisa ketika Ryan perlahan mendekat. Gestur pria itu kala berjalan, senyum yang terkembang dari sudut bibir itu, mata yang menyorot tajam. Ah, semuanya masih sama. Sungguh, Nisa ingin memiliki pria itu seutuhnya. Jika masih ada kesempatan yang Ryan berikan.“Maaf,” kata Ryan setelah berdiri di depan Nisa. Dia membawa pergelangan tangannya ke depan wajah. Melihat waktu yang ditunjukkan oleh jarum arloji yang melingkar.“Sebentar saja,” pinta Nisa.“Saya harus kembali ke kantor. Jika yang akan Anda bicarakan adalah masalah bisnis. Maka datanglah ke kantor saya. Anda tahu di mana alamatnya, bukan? Belum berubah, masih di tempat yang sama.”Belum berubah seperti Ryan yang pandai mempermainkan hati seorang wanita. Gemetar di tubuh Nisa kini merasuk ke h
Bab.18 Si Perayu Ulung “Jangan mematahkan hati anakmu, Bu.” Ryan memegang kedua bahu Sari. “Kamu yang sudah mematahkan hati ibu.”“Ibu mau Nisa kembali ke sini?”“Dapatkan dia dengan cara yang baik. Jangan merebutnya dari orang lain. Cukup sekali, Ryan. Cukup satu kali kamu melakukan kesalahan itu.” Sari menepuk lembut pipi Ryan. Besar harapannya untuk menjadikan Nisa sebagai menantu di rumah ini. “Bujuk Zora keluar. Dia belum selesai makan,” ujar Sari sebelum melangkah turun bersama Mbok Narti.Ryan tersenyum semringah. Dirinya Seakan mendapatkan kekuatan super. Impian untuk menyanding Nisa mendapat lampu hijau dari Ibunya. Namun, meluluhkan hati Nisa tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tak apa! Ryan akan terus mencoba dan mencoba. Biar saja Nisa tidak punya cinta untuknya. Dengan pendekatan yang tak tahu malu, Ryan yakin wanita itu akan takluk pada akhirnya.Tenang saja, Ryan. Ada Zora yang pastinya akan siap membantu.“Ra...Papa mau bicara. Boleh Papa masuk?” Ryan bers
Bab.19 Puncak Tertinggi Mencintai “Agung aku mau bicara serius.” Nisa membuka mulut kembali. Kali ini dia harus bisa mengatakan pada Agung.“Jangan membicarakan hal yang tidak ingin aku dengar dari mulut kamu secara langsung.”Tersentak Nisa mendengar ucapan Agung. Ditatapnya lekat pria yang kini menyandarkan punggung di bangku taman. Agung tidak melihat ke arah Nisa, pandangan pria itu lurus ke depan. Entah pada jalanan kota atau pada para pejalan kaki di trotoar. Entah, Nisa tak ingin tahu lebih. Yang dia tahu, Agung seperti menahan rasa sakit yang mendalam.“Apakah kalian melakukan itu atas dasar suka sama suka? Atau salah satu dari kalian ada yang memaksa? Katakan Nisa, katakan saja.” Agung bertanya dengan nada datar. Padahal hatinya bergemuruh.Demi apa, dari mana berita itu sampai ke telinga Agung sebelum Nisa memberi tahu. Nisa merasa udara di taman kota sore itu lebih panas. Tubuhnya mulai berkeringat, padahal angin sepoi bergerak melintas. Rambut panjang Nisa tersibuk karena
Bab.20 Saudara Sepersusuan “Saudara sepersusuan kamu, Reyza namanya. Dan ibu susu kamu namanya Lisa,” ujar Adji dari dalam mobil. “Tanya sama Papa kamu, Ra. Kamu wajib tahu tentang mereka.”Mobil Opa melaju meninggalkan halaman rumah. Sementara Zora masih mencerna kata-kata Opanya. Dia berdiri mematung di garasi. Dari mana silsilah saudara sepersusuan yang dimaksud Opa. Kalau Zulaikha sudah jelas, gadis belia itu anak dari kakaknya Mama. Nah, kalau si Reyza....“Reyza...?” Zora menggaruk tengkuk leher. “Lisa...?”Zora berlari menemui Papa dan Oma di ruang makan. Pertanyaan itu harus segera mendapatkan jawaban. Apa yang disembunyikan oleh orang-orang dewasa di rumah ini dari dirinya? Tentang saudara sepersusuan dia sudah paham. Baru minggu lalu guru agama memberikan materi tentang itu. Saudara sepersusuan artinya anak kandung dari ibu susu. Sejauh yang dia tahu, saudara sepersusuan sama saja dengan saudara kandung. Secara hukum agama artinya mereka adalah mahram. Seseorang yang haram
Bab.21 Rindu yang Menyiksa Ryan memindai wajah itu. Lekat dan lama, dia merasa tersihir oleh pesona pemuda itu. Senyuman itu, sorot mata itu, garis rahang itu. Ah, Ryan menggeleng! Jika dia saja dengan mudah terpesona oleh sopan santun pemuda itu bagaimana dengan anak gadisnya?“Oh, kamu yang namanya Rey?” “Iya, Om.”“Zora tiap hari cerita tentang kamu.”“Papa!” Zora melotot pada Papanya.“Apa?” tanya Ryan. “Ya sudah. Turun sana, naik motor bisa nyelip-nyelip. Nunggu selesai macet pasti bakalan lama, Ra.”Tak menyangka hati Papa akan mudah sekali luluh begitu melihat wajah Rey. Zora terheran-heran dengan sikap Papanya. Ini, jangan-jangan Papa berpikir kalau Rey adalah pacarnya.“Tolong jaga Zora ya,” kata Ryan begitu Rey menarik setang gas. Dari dalam mobil dia terus mengawasi hingga kedua muda-mudi itu hilang dari pandangannya. Ah, melihat keduanya Ryan jadi teringat masa yang telah terlewat. Dulu s
Bab.22 Lukisan untuk Nisa“Ryan...Ryan. Kamu tidak peka dengan perasan wanita.” Nisa berdiri lalu berjalan ke dekat sofa, mengambil tas yang dia letakkan di atas meja.“Benar. Jika saya waktu itu peka. Saya tidak akan kehilangan istri saya.”“Lisa mencintai kamu.”“Dan saya mencintai kamu.” Ryan bangkit dan bergerak mendekat kepada Nisa. Nisa menunduk. Untuk pertama kalinya dia mendengar kata cinta terucap dari bibir Ryan. Tidak! Itu pasti hanya omong kosong pria di depannya.“Katakan sekali lagi. Saya ingin mendengarnya.” Nisa memberanikan diri menatap mata Ryan. Ryan menelan ludah. Tidak semudah itu mengatakan perasan kepada Nisa. Tadi dia hanya keceplosan. Ryan menggeleng pelan.“Mari saya antar lihat-lihat ke bawah.” Ryan mengalihkan pembicaraan.Nisa tersenyum sinis. Benar dugaannya, itu hanya omong kosong Ryan. “Saya boleh ambil foto Zora?”“Jangan. Nanti Anda menculik dia.”Nisa menginjak kaki Ryan dengan keras. “Ya sudah. Tapi awas kalau Anda menculik anak gadis saya.”“Di