Share

Season 1 (Bagian 4)

Zahra langsung membuka pintunya dan berjalan ke ranjang kemudian menangis dengan menutup wajahnya memakai bantal. Ia tak terima dengan fitnah yang diberikan oleh Yuni. Sangat sakit hatinya jika semua orang tidak percaya dengannya.

"Sudahlah, jangan menangis, Zahra." Marisa berusaha menenangkan.

"Aku nggak sanggup lagi, Marisa. Apakah aku nggak pantas menjadi orang yang baik?"

"Kamu pantas, Zahra. Sangat pantas."

Zahra kemudian duduk dan mengusap air matanya.

"Apakah kamu yakin?"

"Sangat yakin!"

Mereka saling berpelukan. Zahra melepaskan pelukan dari Marisa dan berkata, "Apakah kamu mau jadi sahabat aku, Marisa?"

Marisa kemudian tersenyum dan menjawab, "Sungguh, aku sangat menginginkannya, Zahra."

Mereka berdua berpelukan lagi. Persahabatan mereka akan dimulai. Berjuang bersama menghadapi fitnah yang mendatangi mereka. Sekuat tenaga menghadapi cobaan hingga selesai.

"Tok! Tok! Tok!" suara ketukan pintu terdengar dari telinga Marisa. 

Perempuan itu melepaskan pelukannya. "Kamu tunggu di sini ya, Zahra."

Ia berjalan ke depan dan membuka pintu. Ternyata di depannya sudah ada Fadli dan Yusuf.

"Assalamu'alaikum, Marisa." Fadli mengawali pembicaraan.

"Wa'alaikumsalam, Fadli. Hal apa yang bisa saya bantu?"

"Begini, Marisa. Saya ingin bertanya soal Zahra karena disuruh sama Uztadz Syarif."

"Ingin bertanya apa? Jadi, kalian bermaksud menuduh Zahra gitu sebagai pencurinya?" Marisa tampak menahan amarah.

"Fadli, jangan mentang-mentang kamu adalah anak pemilik pesantren ini, kamu bisa seenaknya menuduh Zahra sebagai seorang pencuri!" sambung Marisa. Kemudian ia mengeluarkan emosi yang ada. Yusuf tampak menenangkan Fadli sahabatnya itu.

"Maaf, bukan bermaksud menuduh. Tetapi, kata semua santriawan dan santriwati dia lah pencurinya. Makanya kami minta keterangan darinya." Fadli menjelaskan semuanya.

"Apa jangan-jangan kalian bersekongkol untuk mencuri?" tanya Yusuf yang langsung membuat Marisa marah.

"Dengar ya baik-baik! Kami berdua walaupun sama-sama dari anak berandalan nggak mungkin bisa berbuat secela itu, apalagi di salah satu tempat mulia ini. Kami menjadi berandalan karena tekanan hidup, bukan karena ikut-ikutan. Aku setiap hari melihatnya melamun dan menangis karena menyesal dengan perbuatan yang sudah dilakukannya. Sekarang, kalian pergi dari sini."

"Tapi Marisa ...," ucap Fadli tertahan oleh perkataan Marisa.

"Pergi!"

Mereka berdua pergi. Marisa bingung harus menjelaskan apa kepada Zahra nanti. Harus kah ia jujur?

Seseorang menepuk bahunya dan ternyata itu adalah Zahra.

"Hai, Zahra. Kamu sudah baikan ya? Jangan nangis lagi ya, aku mohon."

"Enggak kok, In Syaa Allah."

"Oh iya, kamu dipanggil sama Uztadz Syarif."

"Ada apa ya?"

"Nanti kita berdua kesana."

"Baiklah." Marisa dan Zahra kemudian masuk ke dalam kamar asrama.

*****

Sorenya, mereka masih sibuk mencari barangnya yang hilang. Zahra ingin izin kepada Marisa untuk mencari udara segar.

"Marisa."

"Ya, ada apa, Zahra?"

"Aku ingin pergi dulu, ya."

"Kemana? Jangan pergi. Nanti takutnya terjadi apa-apa sama kamu."

"Aku ingin mencari udara segar, sendiri."

"Zahra, kamu lupa, ya? Kita berdua kan menemui Uztadz Syarif." Marisa mengingatkan Zahra dengan kejadian tadi siang.

"Oh, iya ya, kita pergi sekarang!"

*****

Zahra dan Marisa berjalan melewati koridor ruangan pesantren. Sesampai lah mereka di depan pintu ruang khusus bimbingan bagi orang yang melakukan kesalahan sedang hingga besar.

"Aku ... takut ...."

"Tenanglah, jangan takut."

Marisa berusaha menenangkan Zahra yang ketakutan karena trauma atas fitnah terhadap dirinya.

"Silahkan masuk," ucap Uztadz Syarif dari dalam ruangan.

"Mengapa beliau bisa tau kita sudah samoai di depan pintu?" tanya Zahra penasaran.

"Beliau bisa membaca pikiran, Zahra."

"Mengapa kalian masih di luar?" tanya Uztadz.

"Ayo, kita segera masuk, Zahra." Mereka berdua membuka pintu dan di sana ada Uztadz Syarif, Fadli, dan Yusuf.

Mereka berdua berdiri di hadapan Uztadz dan saling pandang sejenak.

"Saya ingin bertanya sama kamu, Zahra."

"Apakah benar dugaan santriawan dan santriwati bahwa kamu mencuri barang berharga dari mereka?" sambungnya.

"Tidak. Demi Allah, saya tidak melakukannya, Uztadz."

Zahra diperintahkan untuk memegang Al-Qur'an sebagai pengucapan sumpah.

"Demi Allah, saya bersumpah, bahwa tuduhan itu tidak benar adanya, dan jika saya melakukannya maka Allah lah yang akan memberi hukuman kepada saya."

Zahra lalu mengangkat tangannya dan kembali ke posisi semula.

"Lalu, kamu mencurigai siapa?"

"Saya tidak mencurigai siapapun."

"Mengapa?"

"Karena saya yakin semua orang di pesantren ini baik."

"Kalau ada satu orang saja yang tidak baik, bagaimana?"

"Biarkan Allah saja yang membalas semua perbuatannya, Uztadz."

"Siapa orang yang mengajari kamu untuk mengatakan hal seperti ini?"

"Marisa."

Namanya merasa terpanggil. Marisa gugup dan bingung harus berkata apa.

"Marisa, apakah benar kamu mengajari dia banyak hal?"

"Benar, Uztad," jawab Marisa dengan perasaan gugupnya.

"Kalau begitu, kamu sukses mengajarkan Zahra menjadi lebih baik. Saya bangga sama kamu, Marisa."

Wajah mereka berdua tersenyum, sementara Fadli dan Yusuf ikut tersenyum juga.

"Saya yakin bahwa bukan kamu pencurinya." Uztadz menatap Zahra dengan perasaan tenang. Sementara Marisa tersenyum lebar. Zahra pun merasa lega dengan susasana yang sempat tegang sedaritadi.

Fadli dan Yusuf mengucapkan permisi dan pergi karena ingin menjalankan shalat magrib. Tersisa mereka bertiga di sana.

"Zahra, sekarang waktunya sudah magrib, sekarang kita menunaikan shalat di masjid."

"Baik, Uztad," ucap keduanya secara bersama-sama.

*****

Seusai shalat, Zahra keluar mencari angin segar. Berjalan melewati berbagai gedung pesantren. Tak lupa, ia menyapa para santriawan dengan ramah, tetapi santriwati lainnya tampak merasa jijik dengan kehadiran Zahra.

Perempuan itu tertunduk malu karena bukan kesalahannya. Ia sadar bahwa dirinya tidak pantas untuk menginjakkan kaki di tempat ini. Perasaan tertekan menyelimutinya, bahkan membuatnya merasa jatuh dalam jurang kesedihan yang mendalam.

Zahra berjalan di sudut asrama lain hingga ia melihat Yuni memegang perhiasan milihnya. Dirinya terkejut, ternyata selama ini Yuni lah yang melakukannya. Zahra mendatangi kamar asramanya, ingin menanyakan semua yang terjadi.

"Yuni!"

"Mengapa ia ada di sini, sialan!" pikir Yuni.

"Kenapa kamu kesini, hah?" tanya Yuni dengan perasaan marah.

"Ternyata, selama ini kamu pencurinya?"

"Iya, emang kenapa? Kamu nggak suka?"

"Masalahnya, yang tertuduh sebagai pencurinya ialah aku."

"Aku nggak peduli!"

"Aku mohon, jelaskan kepada semua orang tentang yang sebenarnya terjadi."

"Aku bisa, tetapi dengang satu syarat."

"Apa itu, Yuni?" Zahra makin penasaran.

"Kamu harus pergi dari sini!"

"Baiklah, besok aku akan pergi tanpa sepengetahuan siapapun. Tapi aku minta satu hal, tolong kamu mengakui kejahatanmu."

"Mungkin bisa, mungkin tidak." Yuni tampak melakukan permainannya dengan licik.

"Mengapa?"

"Karena kamu masih di sini, Zahra!"

"Baiklah, mulai tengah malam aku akan pergi dari sini."

"Baguslah, aku senang mendengarnya."

"Bila besok aku melihatmu masih di tempat ini, maka aku akan terus membuatmu sengsara."

"Baiklah kalau itu maumu."

Zahra segera pergi dari kamar Yuni. Ia bergegas untuk pergi dari pesantren. Dirinya sudah tak sanggup lagi dengan tuduhan dan fitnah yang terjadi pada dirinya.

Seaampainya di kamarnya dan Marisa. Ia melihat sahabatnya sedang tertidur pulas.

"Untung saja ia tertidur."

Lalu ia bergegas memasukkan baju-baju kedalam tas besar. Zahra tampak sangat berat meninggalkan sahabatnya itu.

"Aku pergi, Marisa. Selamat tinggal."

*****

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status