Share

Season 1 (Bagian 3)

Setelah acara selesai, semua santriwati meninggalkan aula kecuali Uztadzah Khasanah, Zahra, Marisa, dan Yuni.

"Bagaimana, Zahra? Kamu sudah tau 'kan semuanya yang ada di pesantren?" tanya Uztadzah Khasanah.

"Sudah, Uztadzah," jawab Zahra dengan senyum mengembang yang jarang dimilikinya.

"Oh iya, aku lupa soal janji kita, Zahra!" Yuni teringat sesuatu tentang janji itu. Janji yang akan membuat hidup Zahra sengsara.

"Iya ya, janji itu." Zahra juga mengingatnya. Marisa tampak curiga dengan semua ini.

"Bolehkah aku ikut?" Marisa ingin ikut untuk memastikan bahwa kecurigaannya pun tidak benar.

"Jangan, cuma kami berdua saja." Yuni tampak serius.

Marisa terdiam dam mengizinkan mereka berdua untuk pergi.

*****

Yuni mengajak Zahra ke suatu tempat. Gelap, suasana yang agak menyeramkan, dan ada satu lampu redup di gubuk kecil paling belakang pesantren yang jarang untuk didatangi oleh siapapun. Mereka berdua menuju gubuk itu, berjalan cepat dan tergesa-gesa seperti dikejar sesuatu. Sesampainya di sana, Yuni mengatakan semuanya.

"Kamu tau kenapa aku ajak kesini?"

"Kenapa?"

"Sebenarnya, aku sangat benci sama kamu. Aku muak dengan sandiwaramu!"

Zahra sangat terkejut. Padahal ia tidak berbuat apa-apa, tapi kenapa malah disalahkan.

"Kenapa kamu salahkan aku, Yuni?"

"Kamu sudah merebut kebahagiaanku! Kamu ngerebut Marisa, Uztadzah Khasanah bahkan Fadli pun diambil. Dasar nggak tau diri! Kamu bukan manusia, Zahra!"

"Aku nggak merebut siapapun dari kamu. Aku hanya ingin berkenalan saja, sebagai pembimbing. Cuma itu, nggak lebih, Yuni."

"Halah, nggak usah ngeles deh kamu! Aku tau kok niat awalmu kesini."

"Aku hanya niat belajar."

"Kamu berniat untuk merebut semuanya dariku!" Yuni langsung memotong pembicaraan.

Yuni lalu menyerangnya. Zahra pun berusaha menangkis setiap perlawanan yang mengarah kepadanya. Sampai pada akhirnya tangan Yuni mencekik leher Zahra.

"Kamu harus mati! Tidak ada yang tau bahwa aku pembunuhnya."

"Aku minta maaf, Yuni," ucap Zahra dengan napas yang tersengal.

"Tidak ada kata maaf! Aku akan balas dendam ke kamu, Zahra!"

Tiba-tiba seseorang datang dan itu adalah Marisa. Ia sudah curiga sedari tadi di aula pesantren. Perasaanya sangat kuat hingga bisa membawanya ke tempat itu untuk menyelamatkan Zahra.

"Lepaskan Zahra!" Marisa tampak sangat marah melihat perilaku Yuni yang hendak mencelakai perempuan itu.

"Marisa, kamu lebih memilih dia ya?" Yuni menoleh ke arah lawannya. "Kamu, Zahra! Aku nggak akan bisa memaafkan kesalahanmu!"

Yuni dengan dendam yang besar bisa melakukan berbagai cara agar saingannya tersebut hilang dari kehidupannya. Dari memfitnah hingga berani menyakiti orang lain dengan caranya sendiri.

"Kalau kamu nggak melepaskan dia, aku akan melapor ke pihat pesantren untuk memproses pengeluaranmu dari sini."

Ucapan Marisa tampaknya tak main-main. Seketika Yuni melepaskan tangannya dari leher Zahra. Zahra pun jatuh lalu terduduk lemas. 

"Lihat saja, Zahra. Tunggu pembalasanku!"

Yuni beringsut pergi dari tempat itu. Perasaan lega terpancar di wajah Marisa. Ia segera menolong Zahra.

"Kamu nggak papa, Zahra?"

"Aku ... sakit ...." sambil mengerang kesakitan di lehernya, Zahra mampu berbicara dengan pelan.

"Ayo kita kembali ke kamar." Marisa cepat-cepat membawa Zahra ke kamar mereka berdua.

*****

Sesampainya di kamar, Marisa membantu Zahra untuk tidur terlentang. Ia sangat kasihan dengan temannya itu. Rasanya, ia ingin memukul Yuni sepuas hatinya bila dirinya dan sahabatnya itu tidak sedang berada di pesantren.

Marisa menghampiri meja dan membuka laci mejanya. Ia berniat mencari obat penghilang rasa sakit tetapi dirinya menemukan amplop surat berwarna merah. Marisa segera membukanya dan isinya adalah :

~Dear Zahra Yang Paling Aku Benci~

**Kamu nggak tau rasanya jadi aku. Ketika bisa mendapatkan sahabat seperti Marisa. Ketika bisa dekat sama Fadli dan bisa menjadi murid kesayangan Uztadzah Khasanah. Tapi semuanya direbut olehmu! Bagaimana rasanya? Sangat sakit, bahkan aku ada dendam denganmu. Aku nggak akan ikhlas kamu bisa memiliki semuanya. Aku nggak akan rela jika kamu mendapat hati semua orang di pesantren ini. Aku berjanji akan mengeluarkanmu dari sini. Camkan itu, Zahra!**

Marisa sangat terkejut melihat isi pesannya. Ia tidak mau memberitahukan temannya tentang isi surat itu, takut-takut terjadi apa-apa dengan kesehatannya.

"Apa yang kamu pegang, Marisa?"

"Aku memegang obatnya, Zahra." Marisa bohong dan cepat-cepat surat itu ia masukkan ke kantong gamisnya.

Marisa duduk di tepi ranjang dan membantu Zahra meminum obat. Tak lama, Zahra tertidur pulas. Ia sangat prihatin melihat orang yang ada di depannya itu.

"Aku berjanji akan melingdungimu sampai kamu dipertemukan oleh keluargamu, Zahra."

*****

Pagi harinya semua orang yang ada di pesatren digegerkan dengan kejadian kehilangan barang berharga seperti handphone, jam tangan, uang saku, dan lainnya. Mereka semua panik mencari barangnya yang hilang.

Zahra kehilangan perhiasannya sedangkan Marisa kehilangan uang sebesar 500 ribu saat berada di dalam tasnya. Kini, mereka berdua juga panik dengan hal tersebut.

"Harap perhatikan bagi seluruh santriawan dan santriwati yang ada di pesantren segera berkumpul di aula!" pemberitahuan terdengar jelas disetiap sudut. Mereka semua lalu berkumpul.

"Kita sudah kehilangan banyak sekali barang berharga. Kita harus waspada. Siapa tau orang yang telah mengambilnya ada di sini sekarang. Mengaku lah kepada kami wahai maling," teriak penjaga pesantren dengan jelas.

"Wah, maling mana ada yang ngaku, Pak!" teriak salah satu santriawan kemudian disusul tawa dari semua orang.

Wajah penjaga pesantren tampak geram. Ia berkata, "Tidak semua maling seperti itu, Nak."

"Seringnya begitu, Pak!" teriak santriawan itu lagi.

Semua orang kembali tertawa hingga Uztad Syarif pun datang. Mereka lalu diam dalam keheningan.

"Hay, anak muda." tunjuk Uztad Syarif ke santriawan yang dimaksud. Lalu ia menurunkan tangannya.

"Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu kepada orang tua?" tanyanya.

"Karena ... tidak mungkin maling itu mengaku, Uztad. Benar nggak, Teman-teman?"

"Benar itu," jawab semua orang serempak.

"Memang, orang itu tidak akan mengaku. Tapi setidaknya, jangan kau jadikan lelucon perkataanya."

Santriawan itu pun terdiam, tak berani bicara. Sementara semua santriawan dan santriwati pun sama.

"Dengan baik-baik. Jika perkataan kalian yang serius menjadi lelucon orang lain apakah kalian marah?"

Semua orang mengangguk pelan tanda mengiyakan.

"Apakah itu termasuk melawan perkataan orang yang lebih tua?"

Semuanya tertunduk dan merasa bersalah.

"Jadi?"

"Saya mengaku salah, Uztad," jawab salah satu santriawan itu dan diikuti anggukan oleh semua orang.

"Begitulah seseorang mengakui kesalahannya, dengan cara membicarakannya secara baik-baik." Keheningan terjadi beberapa saat.

"Saya berharap ini tidak akan terulang lagi, mengerti?"

"Mengerti, Uztad!" teriak semua orang di aula pesantren.

Tak lama, semua orang keluar dari aula. Ada yang kembali ke kamar, ada yang pergi bermain, ada yang bergosip, dan ada yang mengikuti kegiatan lainnya.

Zahra dan Marisa keluar dan memilih kembali ke kamar. Berjalan-jalan seraya bercerita dipilihnya sebagai pengusir keheningan. Mereka berdua melewati Yuni dan beberapa santriwati lainnya yang bersantai sambil bergosip.

"Lihat tuh, pasti anak berandalan itu pencurinya!" Yuni langsung menunjuk Zahra sebagai pelakunya.

"Aku nggak ngambil apa-apa, kok. Barangku juga hilang entah siapa yang mengambilnya." Zahra menjelaskan kebenarannya kepada semua orang.

"Halah, maling mana ada yang ngaku sih," ucap salah satu santriwati dan seketika Zahra berlari meninggalkan Marisa.

"Kalian keterlaluan!" Marisa pergi menyusul Zahra sementara Yuni tersenyum licik. "Lihat, siapa yang akan menang, Zahra?"

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status