Empat pasang mata di meja VIP menatap dengan senyum semringah pada kedua muda-mudi yang sedang menuju ke arah mereka. Langkah Zeino mengekor Talita si gadis yang sedang merayakan ulang tahun pada malam itu dengan pikiran yang masih tertuju pada Zefanya.
Sesampai di meja bundar yang telah ditata dengan berbabagai macam peralatan makan serta dekor bunga hidup di bagian tengah, Zeino menganggukan kepala pada papa mamanya dan tentu saja orangtua Talita.
Pemuda itu hanya menarik seulas garis tipis di wajahnya ketika mama Talita memuji dan mengatakan jika Zeino makin terlihat gagah. Ia tak terlalu menghiraukan percakapan sahut menyahut antara dua keluarga yang sudah menjadi kolega bisnis sejak lama.
Berbeda dengan Talita yang tak bisa menyembunyikan raut bahagia mendengar celotehan orang tua mereka yang membahas masa lalu. Masa di mana ia dan Zeino pernah terlibat dalam kegiatan bersama di usia belia.
“Kamu makin ganteng
Zeino kembali ke ballroom dengan tangan hampa. Namun setelah mendengar informasi yang ia terima jika Zefanya sedang bekerja, ia mulai merasa tenang. Kekhawatirannya jika ada hal buruk menimpa gadis itu perlahan sirna, berganti rasa sesal. Ketidaksukaannya dengan pekerjaan Zee yang tak menentu, membuatnya berpikir ulang.Entah bagaimana membuat kamu mengerti, jika pekerjaan ini bukan satu-satunya di dunia, Zee.Setelah menyelesaikan tugas terakhirnya untuk menyajikan dessert, Zefanya segera menghadap pada Pak Willy, manajer yang bertanggungjawab pada malam itu. Beruntung ia hanya diperbantukan sebagai pramusaji tak sampai harus clear up atau membersihkan seluruh meja dari perlengkapan makan yang telah terpakai.“Good job, Zefanya. Tadi kamu luwes sekali. Seperti yang sudah terbiasa.”“Thank you bantuannya ya, Zefanya, Putri.Kedua gadis dengan postur yang seimbang itu
Sang fajar telah lama menyingsing, membawa hari baru setelah malam panjang yang melelahkan. Hari Minggu pagi ini, terasa berbeda. Zefanya yang biasanya telah meninggalkan kamarnya dalam keadaan rapi untuk menunaikan kewajibannya, hari ini masih menggelung dalam selimut. Kedua lengannya memeluk erat boneka anjing ukuran besar berwana cokelat tua yang ikut merasakan hangatnya kain putih tebal yang melilitnya. Bertambah hangat karena suhu tubuh gadis yang memeluknya sudah berada di ambang batas normal.Tok!Tok!Tok!Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar seiring seruan suara yang memanggil penghuninya.“Zee!”Perlahan daun pintu terkuak. Kartika datang menghampiri ranjang. Wanita paruh baya itu lalu menyibak helaian rambut yang menutup separuh wajah putrinya. Lama ia menaruh punggung tangannya di dahi gadis itu.“Badan kamu panas. Kamu demam, Zee!”Zefanya menggeliat, perlahan kelopak matanya menge
Pemuda jangkung dengan rambut yang mulai gondrong itu dengan tergesa menyelesaikan ritual membersihkan diri di kamar mandi. Setelah bangun kesiangan di hari Minggu pagi, Zeino yang teringat akan Zefanya. Ia melakukan panggilan suara, setelah pesan yang ia kirim dini hari tadi untuk mengabarkan jika ia telah sampai di rumah masih dalam status belum dibaca.Tak biasanya Zefanya tak membalas kabarnya. Jika hari ini ia bekerja, pasti sebelum berangkat akan mengirim kabar padanya.Mendapati kabar yang ia terima langsung dari ibu Kartika jika Zefanya sedang deman, Zeino memutuskan untuk membesuk. Setelah selesai mandi, pemuda itu segera menuju garasi untuk mengambil sepeda motornya.Ketika melewati ruang keluarga yang berdekatan dengan ruang makan, langkah kakinya terhenti begitu mendengar sapaan yang cukup nyaring.“Zeino! Mau ke mana?”Dari tempatnya berdiri, Zeino bisa m
Zeino mengekor langkah Kartika hingga ke dapur. Tentu saja ini pertama kalinya ia memasuki ruang memasak di rumah pacarnya. Biasanya ia hanya sampai di ruang tamu, namun hari ini ia telah sangat jauh melangkah hingga ke ruang pribadi.Pemuda itu mendapati kesan hangat di rumah yang tak mewah tapi ditata dengan apik. Tak terlalu luas, tapi tiap ruang memberi kesan lapang karena tak bayak sekat.Pemuda itu akhirnya menyeruput teh yang telah ikut turut naik turun tangga di meja makan. Ia mengembalikan cangkir ke tadahnya setelah menghabiskan setengah cairan berwarna cokelat keemasan itu.“Maaf ya, Zeino. Bunda belum sempat bikin kudapan.”“Ga apa-apa, Bunda. Beneran tadi sudah sarapan nasi goreng. Masih kenyang,” balas Zeino sambil tersenyum tulus.“Tapi nanti kamu makan siang, ya. Ini Bunda mau bikin sop ceker. Kamu pernah makan ceker ga?” tanya Kartika sambil menunjukan sekantong ceker dalam plas
Ketidakhadiran Zeino di lapangan futsal pada hari Minggu sore membuat Dito cs mencari-cari keberadaannya. Ketika mengetahui jika penyebab tak datangnya Zeino karena Zefanya sedang sakit, tentu saja rasa solidaritas mereka muncul.Alih-alih merebutkan bola di lapangan, sore itu mereka berebut kudapan yang disediakan oleh pemilik rumah saat menjenguk Zefanya. Kursi ruang tamu di rumah minimalis itu terisi seakan penuh oleh tingkah tiga orang pemuda yang sudah terlanjur memakai baju futsal bersama seorang lagi yang belum berganti baju dari pagi.Sementara di lantai dua di kamar, terlihat Zefanya dan teman perempuannya berada di atas ranjang yang menghadap ke televisi. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada bahu Lulu, sementara Rayesa ada di sampingya sedangkan Lampita memilih duduk miring sambil memijit-mijit kaki gadis yang masih dalam masa penyembuhan itu.“Kamu tuh pasti kecapean deh,” tebak Lulu“Ho oh. Capek hati s
Malam telah merambat jauh ketika Zeino bisa melepaskan penat di atas peraduannya. Kehadirannya kembali ke rumah setelah seharian di kediaman Zefanya menuai tanya dari mama dan kakak perempuannya yang ternyata belum pulang.“Dari mana saja, kamu? Katanya tadi cuma sebentar. Kamu besuk orang satu rumah sakit?” tegur Melisa.“Tadi juga jalan sama temen,” jawab Zeino dengan gaya santainya.“Maen mulu, deh. Gimana? Kapan wisuda?” sindir kakak perempuannya itu.Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Kapan wisuda. Zeino akan memainkan kunci motor di tangan setiap kali medapat kalimat tanya itu.“Baru juga telat satu semester, udah kayak mau di DO aja,” gumamnya.Dengan muka datarnya, Zeino membalas,“habis revisi ini, bisa sidang.”“Baru mau sidang semester ini? Bisa-bisa wisudanya semest
Zefanya akhirnya diantar Zeino ke butik Kartika yang berada di pusat perbelanjaan setelah menghabiskan satu porsi bakmi pedas yang dibawanya. Gadis itu merasa suntuk sendirian di rumah. Sedangkan Zeino harus kembali ke kampus sehingga ia tak ikut menemani Zee yang terlihat masih bermasalah dengan hati itu.Berlembar - lembar kertas HVS putih menjadi wadah melampiaskan resah Zefanya. Dia hanya duduk di pojok sambil memainkan pensil, mengoret-ngoret garis tipis membentuk karikatur. Kartika yang setelah pulang kerja mampir untuk memeriksa laporan keuangan usahanya itu, berkali mencoba menenangkan hati anak gadisnya.“Belum tentu juga Zeino malu atau ga anggap kamu pacar.” Kartika berpendapat dan berusaha netral.“Jelas-jelas dia bilangnya ‘temen’, Bun," sungut Zee tanpa menghentikan kegabutannya.“Bunda memang baru beberapa kali ketemu dan ngobrol sama dia, tapi menur
Pertanyaan tanpa basa – basi yang disertai tatapan menyelidik itu membuat Zefanya berdoa agar Zeino menjawab jika mereka teman, bukan pacar. Terdengar labil ‘kan? Padahal baru saja ia mengeluh pada Kartika jika ia kesal hanya diakui sebagai teman oleh Zeino pada orangtuanya.Perubahan keinginan itu karena adanya Mauren di dekat mereka. Zefanya tak mau tantenya itu mencibirinya, sebagaimana dulu ia pernah berkata jika nanti kedua keponakan yang tak dianggapnya itu akan mencari anak orang kaya untuk mengangkat derajat hidup mereka.“Ya, palingan nanti juga kayak ibunya. Ditawarkan ke anak orang kaya. Pansos ‘kan ngetrend dari dulu,” ujar Mauren suatu ketika.“Oh kerja di hotel. Berharap ketemu jodoh orang kaya, ya?” Sindiran Mauren ketika Zefanya mampir menjenguk Nenek Ruwina minggu lalu.Sikap meremehkan dari adik bungsu mendiang ayahnya itu yang selalu menjad