แชร์

Volume 1 Chapter 1: Kerajaan Thalos

ผู้เขียน: Zeetsensei
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-12-16 21:52:19

Hari itu cerah meski suhu udara masih terasa dingin, menandakan musim dingin yang belum sepenuhnya berakhir di Kerajaan Thalos. Fabio, yang masih lemah dan hampir tidak ingat apa-apa, berjalan dengan hati-hati di jalanan kerajaan yang luas. Thalysa berjalan di sampingnya, diikuti oleh Baizhu yang tetap menjaga jarak namun jelas mengamati setiap langkah mereka. Udara yang tajam mengingatkan Fabio pada perasaan aneh yang menguasainya—kehilangan sesuatu yang penting, namun tidak tahu apa.

Kerajaan Thalos, benteng terakhir peradaban manusia setelah Cataclysmic Catastrophe, tampak sebagai dunia yang bertahan hidup di tengah kehancuran. Terletak di dataran tinggi yang aman dari bencana besar, kerajaan ini memiliki ciri khas arsitektur megah yang sudah sedikit usang, meski masih memancarkan aura kekuatan yang tak tergoyahkan.

Saat mereka melangkah melalui jalan utama ibu kota, Fabio tak bisa menahan kekagumannya. Di sepanjang sisi jalan, tembok-tembok besar yang dibangun dari batu hitam dan granit kokoh memancarkan nuansa kuno, dilapisi dengan ukiran-ukiran rumit yang menceritakan kisah pertempuran dan keagungan masa lalu. Di bagian atas tembok, terdapat menara-menara penjaga yang menjulang tinggi, seolah siap menghadapi ancaman dari luar.

"Kerajaan ini telah bertahan lebih lama dari yang diharapkan banyak orang," kata Thalysa, suaranya tenang, seolah bercerita tentang sesuatu yang sudah lama diketahui. "Setelah bencana besar, banyak kerajaan dan kota hilang, namun Thalos tetap berdiri karena keunggulannya dalam pertahanan dan penggunaan sihir."

Fabio mengangguk perlahan, meski masih mencoba memproses semuanya. Thalysa melanjutkan, "Kerajaan ini dibangun di atas bekas kekuatan kuno. Dulu, Thalos adalah pusat peradaban dengan teknologi dan sihir yang sangat maju. Para penyihir yang ada di sini belajar dari pengetahuan kuno yang ditemukan di perpustakaan besar mereka."

Baizhu yang berjalan di belakang mereka menambah, "Sihir bukan hanya alat kekuatan di Thalos, tapi juga cara hidup. Hampir semua aspek kehidupan di sini melibatkan sihir—baik untuk pertahanan, pekerjaan sehari-hari, atau bahkan seni."

Fabio memandang sekitar, matanya tertuju pada kehidupan yang sedang berlangsung di depan matanya. Beberapa orang berjalan dengan cepat di sepanjang jalan, beberapa memikul beban berat, sementara yang lainnya berbicara di antara kelompok-kelompok kecil. Namun, ada satu hal yang langsung menarik perhatiannya—setiap orang tampaknya menggunakan sihir dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Di sebuah pasar yang sibuk, seorang pria sedang berdiri di depan meja, menggosok permukaan pedang besar yang tampaknya telah digunakan dalam pertempuran. Dengan gerakan tangan yang halus, ia mengarahkan tangannya ke pedang itu, dan dengan sentuhan ringan, pedang itu mulai bersinar, seolah-olah kekuatan tersembunyi dalam logam itu bangkit kembali. Pedang yang tadinya tampak usang dan berkarat kini terlihat berkilau seperti baru ditempa. Fabio menyaksikan dengan heran, matanya terfokus pada keajaiban yang begitu alami bagi penduduk kerajaan ini.

"Di sini, sihir adalah bagian dari setiap pekerjaan," Thalysa menjelaskan, melihat arah pandang Fabio. "Mereka yang dilatih dalam sihir tidak hanya bertarung dengannya, tetapi menggunakannya untuk memperbaiki dan menciptakan. Bahkan pedang dan panah yang digunakan pasukan kerajaan diperbaiki dan diciptakan dengan sihir, memungkinkan mereka untuk memiliki senjata yang lebih kuat dan lebih tahan lama."

Tak jauh dari sana, seorang wanita muda sedang mencuci pakaian. Namun, alih-alih mencucinya dengan tangan, ia memanggul tongkat sihir yang tampaknya dipenuhi energi. Dengan gerakan lembut, dia mengarahkan tongkat itu ke air yang mengalir di dekatnya, dan seketika, air itu mulai berputar di udara, mengangkat kotoran dan noda dari pakaian yang sudah lusuh. Hanya dengan gerakan halus dari tongkat, pakaian itu tampak bersih dalam waktu singkat, seolah-olah keajaiban kecil sedang dikerjakan di hadapannya. Fabio takjub dengan kecanggihan itu. "Mereka menggunakan sihir untuk mencuci pakaian?" tanyanya dengan kebingungannya.

"Ya," jawab Thalysa sambil tersenyum samar. "Sihir memungkinkan kita untuk mengurangi usaha fisik dan menghemat waktu. Bahkan pekerjaan sehari-hari yang paling biasa pun bisa menjadi lebih efisien jika diimbangi dengan sihir."

Fabio mengangguk, mencerna kata-kata Thalysa. Lalu pandangannya beralih ke sebuah bengkel senjata yang ramai, di mana beberapa pandai besi sedang bekerja dengan antusias. Namun, kali ini mereka tidak menggunakan palu biasa untuk menempa logam, melainkan menggunakan sihir api untuk melelehkan dan membentuk pedang dan perisai. Seorang pandai besi yang tampaknya sudah berpengalaman mengarahkan tangannya ke tungku besar, dan dalam sekejap, api menyala dengan intensitas yang sangat tinggi. Pedang yang setengah jadi itu segera dipanaskan dan ditempa dengan menggunakan sihir, menciptakan pola logam yang menakjubkan dan tampak sangat kuat.

"Di Thalos," Baizhu menjelaskan, "keterampilan pandai besi dan sihir bekerja bersama. Bahkan senjata terbaik yang digunakan oleh pasukan kerajaan diciptakan dengan bantuan sihir. Menggabungkan keterampilan manual dan sihir memberikan keuntungan strategis yang besar dalam bertahan hidup setelah bencana besar."

Fabio menyaksikan semua ini dengan penuh kekaguman. Dunia ini—kerajaan ini—terlihat begitu berbeda dari dunia yang dia ingat, meskipun dia tidak tahu pasti apa yang telah hilang dari dirinya. Setiap sudut yang dilihatnya dipenuhi dengan keajaiban yang begitu alami dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, ada perasaan aneh yang menggelayuti pikirannya. Dia merasa terhubung dengan sihir ini, meskipun tidak tahu bagaimana atau mengapa. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa dia juga memiliki tempat di dunia ini—entah sebagai seseorang yang terlupakan, atau sebagai bagian dari cerita yang lebih besar.

-Cataclysmic Catastrophe-

Saat mereka berjalan melintasi pasar yang sibuk, dengan hiruk-pikuk orang yang beraktivitas, Fabio mendengarkan percakapan ringan yang berlangsung di sekelilingnya. Namun, kata-kata Cataclysmic Catastrophe yang diucapkan Baizhu tiba-tiba memecah pikirannya. Kata itu terdengar begitu berat dan memiliki makna yang dalam, seperti sesuatu yang mengubah segalanya.

Tiba-tiba, rasa penasaran membanjirinya, dan dia tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Apa itu Cataclysmic Catastrophe? Mengapa itu begitu penting bagi dunia ini?"

Thalysa, yang sepertinya sudah memperhatikan bahwa Fabio semakin banyak bertanya tentang dunia yang asing baginya, berhenti sejenak dan memandangnya. Ada kilatan di matanya, sebuah tanda bahwa dia telah menunggu pertanyaan ini.

"Ah," Thalysa mengangguk pelan, suaranya menjadi lebih serius dan reflektif. "Kau pasti belum tahu banyak tentang masa lalu, bukan? Cataclysmic Catastrophe adalah peristiwa yang mengubah segalanya. Bukan hanya bagi Thalos, tapi untuk seluruh dunia. Sebuah kehancuran besar yang datang seperti badai, dan dunia tidak pernah sama setelah itu."

Fabio berjalan lebih dekat, mendengarkan dengan cermat, merasa semakin tertarik dengan kisah yang akan diceritakan Thalysa.

"Cataclysmic Catastrophe," lanjut Thalysa, "bukan hanya bencana alam atau perang. Itu adalah sebuah peristiwa yang menghancurkan tatanan dimensi dunia kita. Beberapa ilmuwan dan penyihir besar di masa lalu, termasuk mereka yang tinggal di Thalos, mencoba mengakses kekuatan yang lebih tinggi, lebih dari sekadar sihir biasa. Mereka menginginkan pengetahuan yang lebih besar, ingin menguasai kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya."

"Pengetahuan yang lebih besar?" Fabio bertanya, mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang mulai ia terima.

"Ya," Thalysa menjelaskan, wajahnya terlihat lebih serius. "Mereka mencari cara untuk mengakses dimensi lain, Kekuatan yang digunakan Primodial Zero, menggunakan kekuatan kosmik yang jauh melampaui kemampuan manusia. Beberapa percaya mereka bisa mengendalikan kekuatan ini, mengubah nasib dunia dengan cara yang lebih baik. Tapi mereka salah. Mereka tidak bisa mengendalikan kekuatan yang mereka coba panggil."

Fabio membeku sejenak, membayangkan gambaran yang menyakitkan. "Mereka membuka gerbang ke dimensi yang tak terkontrol… dan itu menghancurkan dunia?"

"Persis," Thalysa menjawab dengan nada yang lebih dalam. "Mereka tidak tahu bahwa dengan membuka gerbang itu, mereka membiarkan kekuatan gelap dan perwujudan entitas yang lebih tua masuk ke dunia ini. Itu adalah saat ketika Nyxaroth, makhluk dari dimensi lain, muncul. Mereka adalah hasil dari pertemuan antara dunia kita dan dunia yang lebih gelap, sebuah dunia yang penuh dengan kehancuran dan kekuatan yang tak terbayangkan."

Fabio merasa hatinya berdegup lebih cepat saat Thalysa melanjutkan. "Bencana itu menciptakan jurang besar antara dimensi kita dan dunia lain. Itu juga merusak tatanan fisik dan magis dunia ini, menyebabkan cuaca yang tak terduga, tanah yang hancur, dan makhluk-makhluk mengerikan muncul di dunia yang dulunya damai. Sebagian besar umat manusia pun terhapus dalam kehancuran itu."

Fabio terdiam, mencoba menyerap segala informasi yang baru saja dia terima. Dunia ini… dunia yang ia bangun dari sisa-sisa yang mengerikan, ternyata dihancurkan oleh tangan-tangan manusia itu sendiri—dengan keinginan untuk menguasai sesuatu yang tak mereka pahami.

"Setelah Cataclysmic Catastrophe, umat manusia harus bertahan hidup di tengah sisa-sisa kehancuran. Banyak kerajaan runtuh, dan wilayah yang dulu subur kini menjadi gurun atau rawa yang berbahaya. Sihir yang awalnya dianggap sebagai kekuatan terlarang kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, karena itu adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup dan melawan makhluk-makhluk seperti Nyxaroth," lanjut Thalysa, matanya melayang jauh, seolah mengingat masa-masa kelam itu.

"Dan di tengah semua kehancuran ini, Thalos tetap berdiri sebagai benteng terakhir, karena keunggulannya dalam pertahanan dan sihir. Namun, kami tidak pernah benar-benar pulih. Cataclysmic Catastrophe tidak hanya merusak dunia fisik, tetapi juga meninggalkan bekas dalam jiwa umat manusia."

Fabio bisa merasakan kekuatan cerita itu, seolah dunia di sekitarnya bergetar dengan gema dari masa lalu yang gelap. "Dan sekarang," Thalysa melanjutkan dengan nada yang lebih rendah, "sekarang kita hidup di dunia yang terbagi—antara manusia yang berusaha membangun kembali peradaban, dan makhluk-makhluk dari dimensi yang lebih gelap yang selalu mengancam. Semua itu adalah akibat dari Cataclysmic Catastrophe."

Fabio merasa berat hati, seakan beban sejarah dunia ini menindih dadanya. “Jadi, sihir ini… semua ini karena Cataclysmic Catastrophe?”

Thalysa mengangguk. “Sihir itu adalah hadiah sekaligus kutukan. Ia muncul sebagai hasil dari kehancuran itu. Namun, tak semua orang menggunakannya untuk kebaikan. Beberapa di antara kami memanfaatkannya untuk membangun, sementara yang lainnya, seperti Nyxaroth, menggunakannya untuk merusak.”

Fabio menatap ke langit biru di atas mereka, seolah dunia yang dijelaskan Thalysa perlahan mulai terungkap, meski ia merasa dirinya masih terjebak dalam kabut ketidakpastian. Namun, satu hal terasa jelas dalam benaknya—dunia ini penuh dengan konflik yang tak terpecahkan, dan dirinya, yang begitu lemah dan terlupakan, mungkin adalah bagian dari cerita besar yang belum terungkap sepenuhnya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Retore

    Langit Abyysal tak pernah benar-benar gelap, tapi juga tak pernah membawa cahaya. Ia membusuk, seperti luka terbuka yang tidak pernah sembuh. Asap kelabu menggantung tanpa arah, dan bumi di bawah kaki Fabio terasa tidak nyata—seolah setiap langkah hanya membawanya lebih dalam ke dalam kehampaan, bukan ke permukaan.Namun kali ini, ia tidak mencoba masuk lebih dalam. Ia mencoba keluar.Di belakangnya, masih terdengar napas panik Thalysa dan suara serak K yang mencoba menahan luka barunya. Mereka hanya selangkah lagi dari mulut Abyysal, satu loncatan dari kebebasan, dari dunia nyata, dari cahaya yang meski semu, tetap lebih hangat daripada kekosongan ini.Lalu udara berhenti.Tidak, bukan hanya udara—waktu berhenti. Suara berhenti. Gerak berhenti. Bahkan detakan jantung Fabio pun terasa tercekik, digenggam oleh sesuatu yang tak kasatmata.Lalu terdengar suara itu."Lambat sekali, adikku."Langkah-langkah lembut seperti serpihan pasir yang berguguran. Fabio berbalik, dan di ambang kabut

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 3: Desa Nyxaroth

    Matahari tidak benar-benar bersinar di atas Benua Iblis—yang menggantung di langit hanyalah semburat merah darah yang tersaring debu dan ampas waktu. Langit tampak seperti luka yang belum sembuh. Di bawahnya, tiga sosok berjalan menuruni lereng berbatu menuju sebuah lembah tersembunyi, dibatasi oleh tebing-tebing tinggi yang menjulang seperti gigi raksasa. Di sanalah, Desa Karowai berdiri—jika tempat ini bisa disebut ‘berdiri’.Fabio dan Thalysa diam membisu. Sejak perjalanan dimulai, K tidak banyak bicara, dan mereka pun tak mendesaknya. Gurun yang mereka lewati seperti menelan suara, dan setiap langkah hanya disertai oleh desir angin yang membawa bisikan. Seperti tangisan yang sudah lama mati, namun belum benar-benar menghilang.Desa Karowai bukanlah desa dalam pengertian manusia. Tidak ada bangunan rapi, tidak ada rumah berbentuk. Yang ada hanyalah struktur batu besar yang menyembul dari tanah seperti tulang-tulang purba, tempat Nyxaroth dari berbagai bentuk bersandar, bermeditasi,

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 2: Ramalan Lainnya

    Langit Benua Iblis masih menggantung kelabu ketika mereka meninggalkan tempat perkemahan sementara. Pasir kasar bergesekan di bawah sepatu mereka, dan angin dingin dari utara sesekali membawa bau tanah terbakar yang tidak bisa dijelaskan asalnya. “Dari sini, kita akan berjalan ke arah utara selama setidaknya empat jam,” ucap K dengan nada pasti, matanya menatap lurus ke depan. "Barulah kita sampai di desaku." Langkah mereka perlahan, namun mantap, membelah jalur sunyi yang hanya ditandai jejak-jejak makhluk yang telah lama berlalu. Tidak ada rambu, tidak ada jalan. Hanya reruntuhan dan patahan batu yang menjadi penanda bahwa peradaban pernah mencoba tinggal di tanah yang tak kenal ampun ini.Perjalanan mereka tidak benar-benar tenang. Beberapa kali, mereka harus menghadapi mutan Nyxaroth yang mengendap dari balik pasir atau merayap dari celah tanah. Tidak ada bentuk yang konsisten—beberapa memiliki kulit sekeras baja, yang lain lidah bercabang dan penglihatan yang menusuk jiwa. Salah

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 1: Nyxaroth dari Karowai

    Malam di gurun Benua Iblis tak pernah ramah. Udara dingin menggigit kulit, dan pasir yang tertiup angin menggores wajah seperti jarum halus. Di kejauhan, langit hitam yang tak berbintang menggantung diam—seolah-olah langit sendiri menahan napas, menunggu sesuatu untuk pecah. Fabio dan Thalysa menyalakan api kecil, cukup untuk memberi cahaya dan sedikit kehangatan, namun tidak cukup besar untuk menarik perhatian. Atau begitulah mereka kira. Hanya dalam sekejap mata, kesunyian itu terkoyak. Bayangan tak bernama melintas di sekitar mereka, samar dan cepat. Thalysa sudah berdiri dengan sihir di ujung jarinya, sementara Fabio mencabut pedangnya, tubuhnya kaku seperti batu, matanya menyapu gurun yang hening. Ia melihatnya—cahaya samar dari kristal merah yang bersinar dari dalam pasir, bergerak seirama napas makhluk yang tidak pernah seharusnya ada. “Bunglon?” Thalysa berbisik, kaget melihat kulit makhluk itu berubah-ubah, menyatu dengan gurun. “Nyxaroth,” jawab Fabio datar. “Tapi… berb

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Codex Benua Tengah: Etherian dan Tanah Para Dewa

    Benua Tengah, yang sering dijuluki sebagai "Etherian" atau "Tanah Para Dewa", merupakan wilayah yang sangat luas dan kaya akan keragaman geografis, budaya, serta spiritualitas. Dalam sejarah panjang Aetherian, Benua Tengah telah lama dianggap sebagai pusat peradaban tertua dan tempat kelahiran para kerajaan besar yang mengukir dunia dengan sihir, teknologi kuno, dan pemikiran tinggi. Julukan “Tanah Para Dewa” tidak sekadar simbolik; melainkan mencerminkan keyakinan kuno bahwa para makhluk agung pertama—baik dari langit maupun dari dalam Aether itu sendiri—pernah menjejakkan kaki di tanah ini, membentuk jejak kekuasaan yang masih terasa hingga hari ini.Secara geografis, Benua Tengah terbagi menjadi berbagai zona ekologis dan struktural yang memberikan tantangan sekaligus kekayaan tersendiri bagi para penghuninya. Di bagian utara terdapat pegunungan tinggi seperti Krinci dan Deretan Pegunungan Thalon, yang membentang dari barat hingga timur, membentuk tulang punggung benua dan menjadi

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Codex Benua Iblis: Etherian dan Tanah Tanpa Harapan

    Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zaman

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status