Home / Fantasi / Zero: Forgotten Lost (INDONESIA) / Volume 1 Chapter 2: Konflik Kakak Adik

Share

Volume 1 Chapter 2: Konflik Kakak Adik

Author: Zeetsensei
last update Last Updated: 2024-12-16 21:53:07

Saat mereka berjalan lebih dalam ke ibu kota, suasana yang tenang dan penuh harmoni tiba-tiba terpecah oleh suara langkah cepat yang menghampiri. Seorang prajurit kerajaan, mengenakan pelindung tubuh dan membawa senjata, datang dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak tegang, matanya tidak bisa menutupi kecemasan yang mendalam.

"Komandan Baizhu!" prajurit itu berkata dengan nada terburu-buru, berhenti di depan Baizhu. "Ada masalah di hutan, tempat kita menemukan pria itu. Kami menemukan jejak-jejak aneh dan beberapa makhluk tak dikenal. Kami membutuhkan bantuan segera."

Baizhu segera mengerutkan alis, ekspresinya langsung berubah serius. "Apa maksudmu dengan 'makhluk tak dikenal'? Kami baru saja meninggalkan tempat itu, tidak ada yang bisa melacak ke sana dalam waktu singkat."

Namun, prajurit itu menggelengkan kepala. "Kami menemukannya hanya beberapa jam setelah pertemuan itu, dan jejaknya sangat aneh. Tidak seperti makhluk biasa. Kami khawatir jika ada bahaya lebih besar yang mendekat."

Baizhu tampak ragu sejenak, menatap ke arah Fabio, yang masih berjalan dengan Thalysa. Fabio bisa merasakan ketegangan di udara—Baizhu jelas tidak ingin meninggalkan dirinya begitu saja, apalagi setelah mereka menemukan satu-satunya orang yang selamat dari pertarungan dengan Nyxaroth. Namun, tanggung jawab terhadap pasukannya jelas lebih mendesak.

Thalysa yang berdiri di samping Fabio, menatap dengan tenang, seolah mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya. "Baizhu, aku rasa tidak perlu ikut campur. Biarkan mereka yang ahli menangani masalah di hutan itu."

Baizhu berbalik, sedikit kaget dengan kata-kata Thalysa. "Aku tidak bisa meninggalkan keadaan yang tidak pasti begitu saja. Makhluk-makhluk itu bisa berbahaya. Kita harus memastikan semuanya aman."

Thalysa menatap Baizhu dengan senyum tipis di wajahnya, yang terlihat seperti sebuah kemenangan yang sudah dia rencanakan sejak awal. "Kau akan kembali ke markas, bukan? Di sana, mereka membutuhkan komando dan bantuanmu." Suaranya lembut, namun penuh penekanan. "Tidak ada yang bisa kau lakukan di sini, selain memastikan tempat ini tetap aman. Aku akan menemani Fabio berkeliling ibu kota. Aku bisa mengurusnya dengan baik."

Baizhu menatap kakaknya, matanya bergetar dengan ketegangan. "Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan... Baiklah, jika itu yang kau inginkan." Suara Baizhu terdengar sedikit tertekan, seolah merasa dipaksa untuk menerima kenyataan.

Thalysa, dengan sikap yang penuh ketenangan dan dominasi, mendekat ke Baizhu dan menepuk bahunya dengan lembut. "Kau tahu, Baizhu, terkadang kepercayaan itu datang dengan cara yang berbeda. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada Fabio. Kau bisa percaya padaku."

Baizhu menghela napas panjang, merasa seolah-olah ia tidak punya pilihan lain. “Kau menang kali ini, kakak.”

Dengan pandangan penuh kekesalan namun tak berdaya, Baizhu memberi isyarat kepada pasukannya untuk bersiap. "Aku akan pergi ke markas sekarang. Tapi pastikan dia tidak berada dalam bahaya, Thalysa," katanya dengan nada yang lebih lembut, meskipun ada sedikit keengganan.

Thalysa mengangguk, seolah-olah sudah tahu bahwa ini adalah hasil yang akan didapatkan. "Tentu, Baizhu. Pergilah, dan jagalah orang-orangmu."

Baizhu berpaling, wajahnya menunjukkan ekspresi kalah yang jarang ia tunjukkan, dan segera melangkah meninggalkan tempat itu dengan pasukannya.

Setelah Baizhu pergi, Thalysa menoleh ke arah Fabio dengan senyum kecil di wajahnya, seolah-olah merayakan kemenangan kecil. "Baizhu selalu begitu keras kepala, tetapi aku tahu cara untuk mempengaruhinya. Sekarang, kita bisa berkeliling lebih lama tanpa gangguan."

Fabio yang merasa sedikit terkejut dengan interaksi antara saudara itu, hanya bisa mengangguk pelan. "Jadi... kamu benar-benar bisa membuatnya mundur begitu saja?"

Thalysa tertawa kecil, nadanya penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. "Terkadang, kekuatan bukan hanya tentang memaksakan kehendak. Itu tentang memahami orang yang ada di sekitarmu. Baizhu terlalu keras kepala untuk tahu kapan harus mundur, tapi aku tahu cara untuk membuatnya merasa aman."

Fabio tidak bisa menahan rasa kagumnya terhadap wanita ini, yang jelas memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap Baizhu, meskipun mereka berdua tampaknya sangat berbeda. Thalysa tersenyum tipis, menuntun langkah Fabio lebih jauh ke jalan yang lebih luas, yang mengarah ke bagian-bagian ibu kota yang belum ia lihat.

"Sudah waktunya untuk melihat lebih dalam tentang dunia ini, Fabio. Kerajaan Thalos bukan hanya benteng dan sihir. Ada lebih banyak yang bisa kau pelajari di sini."

Dengan langkah pasti, Thalysa melangkah lebih jauh, dan Fabio, meskipun masih kebingungan dan penuh pertanyaan, mengikuti di belakangnya, siap untuk menggali lebih dalam lagi rahasia-rahasia yang tersimpan di balik tembok-tembok kerajaan yang besar ini.

Setelah Baizhu pergi dengan pasukannya, Thalysa melirik Fabio dengan senyum tipis yang mengisyaratkan bahwa hari ini akan menjadi petualangan yang berbeda. "Sekarang, kita bisa menikmati suasana kota tanpa gangguan. Aku akan menunjukkan padamu lebih banyak tentang Thalos—tentang kehidupan di sini, di luar semua masalah besar yang kita hadapi."

Fabio mengangguk, merasa sedikit lebih lega setelah perdebatan antara Thalysa dan Baizhu. Meskipun dunia ini asing baginya, setidaknya sekarang dia bisa mulai melihat kehidupan sehari-hari yang berlanjut, meski dunia di luar ibu kota ini penuh dengan ancaman dan kekacauan.

Thalysa melangkah dengan langkah ringan, membimbing Fabio melalui jalan-jalan kota yang ramai. Ibu kota Thalos dipenuhi dengan jalan-jalan yang luas dan trotoar berbatu yang tertata rapi. Bangunan-bangunan tinggi, sebagian besar terbuat dari batu hitam dan granit, berderet di kedua sisi jalan, menandakan kekuatan kerajaan yang telah bertahan lama. Namun, meskipun kerajaan ini diliputi sejarah kelam, ada kehidupan yang berjalan dengan alami—kehidupan yang berfokus pada kelangsungan dan pemulihan.

Thalysa berhenti di sebuah kios makanan kecil yang ramai. Dari dalam kios, aroma harum berbagai hidangan menggoda hidung Fabio—terutama bau roti panggang yang baru keluar dari oven dan daging bakar yang menggelegar. Di sekitar kios, banyak orang berkumpul, menikmati makanan sambil bercakap-cakap dengan penuh keakraban.

"Ini adalah salah satu tempat favoritku," kata Thalysa, melirik Fabio dengan senyum lembut. "Di sini, makanan sederhana bisa terasa begitu istimewa. Di tengah dunia yang hancur, ini adalah cara orang-orang di Thalos merayakan kehidupan mereka."

Thalysa memesan beberapa potong roti panggang yang disajikan dengan daging bakar dan saus berwarna merah pekat. Fabio, yang masih terkejut dengan keramahan tempat ini, mengikuti Thalysa dan menerima hidangan yang ditawarkan padanya.

Fabio memandang makanan itu dengan rasa ingin tahu, lalu mengambil sepotong kecil roti. Begitu menggigitnya, rasa gurih dan lezat langsung memenuhi mulutnya. "Ini... luar biasa," katanya tanpa bisa menahan kekagumannya.

Thalysa tertawa lembut, menikmati ekspresi Fabio yang terkesan. "Bahkan di tengah semua kehancuran, orang-orang di Thalos tahu bagaimana menghargai hal-hal sederhana yang tetap bisa membuat kita bahagia," kata Thalysa sambil menggigit sepotong roti. "Makanan ini adalah salah satu dari banyak hal yang membuat kota ini terasa hidup."

Mereka melanjutkan perjalanan mereka, berkeliling lebih jauh lagi, dan Fabio mulai merasakan suasana kota yang tak terduga. Dari kios makanan ke pasar yang lebih besar, di mana pedagang menawarkan barang-barang langka seperti rempah-rempah dan kain berwarna-warni. Beberapa pedagang menggunakan sihir untuk menunjukkan kekuatan produk mereka—seperti seorang pedagang kain yang dengan mudah memanipulasi sutra halus dengan sihir angin untuk menunjukkan betapa ringan dan kuatnya kain tersebut. Fabio terkagum-kagum, tidak hanya oleh keterampilan mereka dalam berbisnis, tetapi juga bagaimana sihir telah menyatu begitu alami dalam kehidupan sehari-hari.

"Ini benar-benar mengagumkan," ujar Fabio, matanya mengikuti gerakan pedagang kain yang memanipulasi kain dengan angin.

Thalysa mengangguk. "Sihir seperti itu digunakan oleh banyak orang untuk kehidupan sehari-hari mereka—untuk pertanian, perdagangan, dan bahkan seni. Tapi juga ada sisi gelapnya, seperti yang kita lihat di hutan beberapa waktu lalu. Tidak semua orang menggunakan sihir dengan cara yang baik."

Mereka berlanjut ke bagian lain dari kota yang lebih tenang, di mana taman-taman hijau yang luas memberikan ruang bagi warga untuk bersantai dan menikmati udara segar. Anak-anak sedang bermain di sekitar pohon-pohon besar, sementara beberapa orang tua duduk di bangku menikmati pemandangan.

"Kehidupan seperti ini adalah apa yang kami coba pertahankan di Thalos," Thalysa melanjutkan. "Kami tahu bahwa meskipun dunia luar penuh bahaya, di sini, kami mencoba menjaga ketenangan dan kedamaian. Kami berusaha menjaga keseimbangan."

Fabio mengangguk pelan, meresapi kata-kata Thalysa. Dalam perjalanan singkat ini, dia mulai melihat lebih banyak sisi dari kerajaan yang terlupakan oleh banyak orang. Meskipun berada di tengah kehancuran dunia, Thalos tampak sebagai tempat yang berusaha menemukan kembali arti dari kehidupan—dengan cara-cara sederhana, namun penuh harapan.

"Terima kasih telah mengajakku berkeliling," kata Fabio setelah beberapa saat, merasa lebih terhubung dengan tempat ini, meskipun dia tahu sedikit tentang apa yang sebenarnya terjadi di luar tembok-tembok ini. "Ini... lebih indah dari yang kukira."

Thalysa tersenyum, matanya berbinar dengan rasa bangga terhadap kota ini. "Tentu saja. Thalos adalah tempat yang luar biasa. Namun, seperti segala sesuatu di dunia ini, ia juga penuh dengan rahasia dan ancaman yang tersembunyi. Kita hanya perlu tahu di mana mencari."

Dengan langkah ringan, mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui ibu kota yang indah ini, menikmati kedamaian yang sementara, namun penuh dengan misteri yang masih harus dipecahkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Retore

    Langit Abyysal tak pernah benar-benar gelap, tapi juga tak pernah membawa cahaya. Ia membusuk, seperti luka terbuka yang tidak pernah sembuh. Asap kelabu menggantung tanpa arah, dan bumi di bawah kaki Fabio terasa tidak nyata—seolah setiap langkah hanya membawanya lebih dalam ke dalam kehampaan, bukan ke permukaan.Namun kali ini, ia tidak mencoba masuk lebih dalam. Ia mencoba keluar.Di belakangnya, masih terdengar napas panik Thalysa dan suara serak K yang mencoba menahan luka barunya. Mereka hanya selangkah lagi dari mulut Abyysal, satu loncatan dari kebebasan, dari dunia nyata, dari cahaya yang meski semu, tetap lebih hangat daripada kekosongan ini.Lalu udara berhenti.Tidak, bukan hanya udara—waktu berhenti. Suara berhenti. Gerak berhenti. Bahkan detakan jantung Fabio pun terasa tercekik, digenggam oleh sesuatu yang tak kasatmata.Lalu terdengar suara itu."Lambat sekali, adikku."Langkah-langkah lembut seperti serpihan pasir yang berguguran. Fabio berbalik, dan di ambang kabut

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 3: Desa Nyxaroth

    Matahari tidak benar-benar bersinar di atas Benua Iblis—yang menggantung di langit hanyalah semburat merah darah yang tersaring debu dan ampas waktu. Langit tampak seperti luka yang belum sembuh. Di bawahnya, tiga sosok berjalan menuruni lereng berbatu menuju sebuah lembah tersembunyi, dibatasi oleh tebing-tebing tinggi yang menjulang seperti gigi raksasa. Di sanalah, Desa Karowai berdiri—jika tempat ini bisa disebut ‘berdiri’.Fabio dan Thalysa diam membisu. Sejak perjalanan dimulai, K tidak banyak bicara, dan mereka pun tak mendesaknya. Gurun yang mereka lewati seperti menelan suara, dan setiap langkah hanya disertai oleh desir angin yang membawa bisikan. Seperti tangisan yang sudah lama mati, namun belum benar-benar menghilang.Desa Karowai bukanlah desa dalam pengertian manusia. Tidak ada bangunan rapi, tidak ada rumah berbentuk. Yang ada hanyalah struktur batu besar yang menyembul dari tanah seperti tulang-tulang purba, tempat Nyxaroth dari berbagai bentuk bersandar, bermeditasi,

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 2: Ramalan Lainnya

    Langit Benua Iblis masih menggantung kelabu ketika mereka meninggalkan tempat perkemahan sementara. Pasir kasar bergesekan di bawah sepatu mereka, dan angin dingin dari utara sesekali membawa bau tanah terbakar yang tidak bisa dijelaskan asalnya. “Dari sini, kita akan berjalan ke arah utara selama setidaknya empat jam,” ucap K dengan nada pasti, matanya menatap lurus ke depan. "Barulah kita sampai di desaku." Langkah mereka perlahan, namun mantap, membelah jalur sunyi yang hanya ditandai jejak-jejak makhluk yang telah lama berlalu. Tidak ada rambu, tidak ada jalan. Hanya reruntuhan dan patahan batu yang menjadi penanda bahwa peradaban pernah mencoba tinggal di tanah yang tak kenal ampun ini.Perjalanan mereka tidak benar-benar tenang. Beberapa kali, mereka harus menghadapi mutan Nyxaroth yang mengendap dari balik pasir atau merayap dari celah tanah. Tidak ada bentuk yang konsisten—beberapa memiliki kulit sekeras baja, yang lain lidah bercabang dan penglihatan yang menusuk jiwa. Salah

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 1: Nyxaroth dari Karowai

    Malam di gurun Benua Iblis tak pernah ramah. Udara dingin menggigit kulit, dan pasir yang tertiup angin menggores wajah seperti jarum halus. Di kejauhan, langit hitam yang tak berbintang menggantung diam—seolah-olah langit sendiri menahan napas, menunggu sesuatu untuk pecah. Fabio dan Thalysa menyalakan api kecil, cukup untuk memberi cahaya dan sedikit kehangatan, namun tidak cukup besar untuk menarik perhatian. Atau begitulah mereka kira. Hanya dalam sekejap mata, kesunyian itu terkoyak. Bayangan tak bernama melintas di sekitar mereka, samar dan cepat. Thalysa sudah berdiri dengan sihir di ujung jarinya, sementara Fabio mencabut pedangnya, tubuhnya kaku seperti batu, matanya menyapu gurun yang hening. Ia melihatnya—cahaya samar dari kristal merah yang bersinar dari dalam pasir, bergerak seirama napas makhluk yang tidak pernah seharusnya ada. “Bunglon?” Thalysa berbisik, kaget melihat kulit makhluk itu berubah-ubah, menyatu dengan gurun. “Nyxaroth,” jawab Fabio datar. “Tapi… berb

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Codex Benua Tengah: Etherian dan Tanah Para Dewa

    Benua Tengah, yang sering dijuluki sebagai "Etherian" atau "Tanah Para Dewa", merupakan wilayah yang sangat luas dan kaya akan keragaman geografis, budaya, serta spiritualitas. Dalam sejarah panjang Aetherian, Benua Tengah telah lama dianggap sebagai pusat peradaban tertua dan tempat kelahiran para kerajaan besar yang mengukir dunia dengan sihir, teknologi kuno, dan pemikiran tinggi. Julukan “Tanah Para Dewa” tidak sekadar simbolik; melainkan mencerminkan keyakinan kuno bahwa para makhluk agung pertama—baik dari langit maupun dari dalam Aether itu sendiri—pernah menjejakkan kaki di tanah ini, membentuk jejak kekuasaan yang masih terasa hingga hari ini.Secara geografis, Benua Tengah terbagi menjadi berbagai zona ekologis dan struktural yang memberikan tantangan sekaligus kekayaan tersendiri bagi para penghuninya. Di bagian utara terdapat pegunungan tinggi seperti Krinci dan Deretan Pegunungan Thalon, yang membentang dari barat hingga timur, membentuk tulang punggung benua dan menjadi

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Codex Benua Iblis: Etherian dan Tanah Tanpa Harapan

    Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zaman

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status