Maaf baru bisa up! Semoga sukaaa!
Jam sudah menunjukan pukul satu siang, setengah jam lagi pelajaran terakhir selesai dan semua siswa akan membubarkan diri dari sekolah, kecuali yang memiliki jadwal ekskul dan lainnya.
Ailee terdiam memegangi ponselnya saat ia mendapatkan pesan kedua yang di kirimkan oleh Milan, Kakak kelas sekaligus orang yang disukainya.
"Lo kenapa?" Tanya Naima.
Ailee memperlihatkan pesan yang di kirimkan oleh Milan kepada teman sebangkunya itu.
"Wow, gila sih! Gue gak nyangka Kak Milan bisa kirim pesan kayak gitu." Ucap Naima tak percaya.
"Angga udah tahu?" Ailee mengangguk sebagai jawaban.
"Gue udah share chat ini ke dia, dia juga kaget." Ucap Ailee dan mereka pun kembali fokus mencatat materi yang guru mereka berikan.
Ailee kembali terdiam.
From: 082**********
Kok kemarin gak di bales? Gue kasih tahu aja syaratnya biar lo bisa pikirin dulu.
Lo bantu tim basket sekolah kita dengan cara lo ikut dan rekam saat cowok lo latihan. Gimana? Intinya lo kasih tahu aja gue, semua yang tim basket Leon lakuin, siapin buat lomba nanti. Gue tunggu jawaban lo.
Ailee mengusap wajahnya frustasi. Ia ingin sekali bergabung dengan ekskul cheers di sekolahnya ini, namun syarat ini? Ah yang benar saja. Ailee tidak akan bisa melakukan hal seperti itu. Lagi pula Zuco tidak pernah mencari tahu perihal sekolahnya, lalu bagaimana bisa ia melakukan hal buruk seperti itu hanya demi kepentingannya dan Milan sudah pasti.
"Sialan." Umpat Ailee.
"Sabar, tinggal pikiran aja Lee. Katanya lo gak suka sama Leon, ini kesempatan loh. Kalau Leon tahu, dia bakalan marah dan lo bisa lepas dari dia." Ujar Naima yang membuat Ailee kembali terdiam.
Ia semakin bingung saja, di satu sisi ia tidak bisa melakukan itu pada seseorang yang tidak bersalah sama sekali. Tapi di sisi lain, Naima benar.
"Aish... Harus kumaha ini..." Bingungnya.
Sampai akhirnya ia menghabiskan satu jam pelajaran terakhir dengan pikiran yang sama sekali tidak fokus. Ia terus menimang jawaban yang akan ia berikan dengan mempertimbangkan apa yang Naima katakan.
Ia berdiri di depan kelasnya yang sudah kosong dengan terus bergumam.
Sampai akhirnya Angga datang."Gak pulang?" Tanya Angga.
Ailee menatapnya dengan penuh kebingungan. "Ga, gue bantu Kak Milan aja kali yah, selain gue bisa deket sama dia, bisa masuk tim cheers, gue juga bisa jauh dari Zuco. Gimana?"
"Sejak kapan sih lo mikirin diri lo sendiri kayak gini?"
Ailee mendesah lemah, ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Okay lo bisa jauh dari si Zuco itu, tapi apa lo bisa hidup dengan rasa bersalah? Zuco gak tahu apa-apa Lee, yang dia tahu cuma dia suka sama lo, kalian pacaran, udah itu aja. Kalo pun lo nyari tahu tentang basket sekolahnya dia, dia bakalan kasih. Gue yakin." Ujar Angga. "Dia udah bucin banget sama lo." Tambahnya.
"Ya berart--"
"Bukan berarti lo bisa manfaatin dia, dengan lo ngasih bocoran ke Milan, fix sekolah ini beneran gak ada harga dirinya. Masa iya lomba kayak gitu, gak sportif banget." Potong Angga.
Ailee terdiam. "Ya terus kalo gue tolak, gimana caranya biar Zuco gak ngintilin gue?"
"Lo gak punya pacar, apa salahnya biarin dia jagain lo, ngasih lo perhatian dan lain-lain. Daripada lu gabut, lumayan kali ada yang ngajak jalan, di jajanin pula."
Ailee memutar bola mata sebal. "Nyebelin banget. Sana pulang!" Ailee mendorong tubuh Angga agar pergi.
"Lo mau ke mana dulu? Kasian kali si Zuco udah jemput,"
"Ya suruh balik aja, gue juga gak minta di jemput." Sahut Ailee.
Angga menahan lengan Ailee yang hendak berlalu. "Mau ke mana dulu, jawab."
"Mau nemuin kak Milan,"
"Mau jawab apa?" Tanya Angga.
"Gak bisa, ini lomba, kalaupun harus menang ya itu haru kerja keras sendiri. Seneng?" Angga tersenyum bangga.
"Ya udah, sana. Kalau ada apa-apa, telpon gue. Bye!!"
Merekapun berjalan dengan arah yang berlawanan. Ailee menggigit bibir bawahnya membayangkan wajah kecewa Milan saat mengetahui dirinya tidak bisa melakukan persyaratan yang diberikannya.
Sampai akhirnya Ailee berdiri di depan ruangan serba guna.
Ceklek.
Damn.
Ia kira hanya akan ada dirinya dan Milan, tapi ternyata seluruh tim cheers pun ada di sana, di tambah dengan dua lelaki yang merupakan sahabat dari Milan itu sendiri.
"H-hai..." Sapa Ailee pelan, kemudian ia berjalan masuk dengan menggigit bibir bawahnya kaku.
Ailee berdiri di hadapan semua yang duduk di atas meja dengan memandang ke arahnya. Rasa takut mulai datang menghampirinya, namun tak sengaja ia melihat senyuman Milan yang dengan mudahnya mengurangi rasa takut itu sendiri.
"Jadi, gimana?" Tanya Milan.
Ailee menghela nafas panjang dan membuangnya dengan kasar untuk mengumpulkan keberanian.
"Aku... Maaf aku gak bisa." Jawab Ailee. Seketika suasana semakin tegang dari sebelumnya. Sebelumnya Milan masih tersenyum ke arahnya, sedangkan sekarang, tak ada satupun.
Ailee menunduk, "maaf Kak, aku gak bisa. Kita harus menang dengan cara kita sendiri, akan memalukan kalau kita curang Kak, menang pun gak akan bangga." Ucapnya seberani mungkin, karena itu yang seharusnya mereka lakukan.
Milan tersenyum hambar, "okay, it's okay." Ucapnya. "Kalo gitu, gue duluan." Tambahnya.
"Lo mau ke mana?" Tanya Dhira pada Milan.
"Balik, Ailee juga udah ngasih jawabannya. Guys, gue duluan! Bye!" Pamitnya, begitupun dengan dua sahabatnya.
Ailee terdiam, urusannya hanya dengan Milan dan sudah selesai. Ia pun tersenyum ramah pada semuanya, kemudian ia berbalik dan hendak berlalu pulang.
Namun tiba-tiba saja Dhira memanggil namanya, membuat Ailee kembali berdiri di tempatnya semula."Ailee, wait!"
"Ya? Ada apa Kak?" Tanya Ailee sopan.
Dhira melipat kedua lengannya di depan dada dan menatap Ailee dengan senyuman tipis namun terlihat sangat menyeramkan di wajah juteknya.
"Jadi, lo gak akan ngasih bocoran apapun ke Milan?"
Ailee terdiam, kemudian mengangguk pasti.
"Terus apa jaminannya kalau lo gak bakalan ngasih bocoran apapun ke pacar lo itu?"
"Hah? Ya tuhan... Kak, aku beneran gak kepikiran buat jadi mata-mata atau apa--"
"Terus lemari es atas nama Zulleon Corner yang pagi tadi di anterin ke rumah lo, lo bayar pake apa?" Tanya seseorang yang dulu sempat menjadi teman Ailee, Vina. Teman masa kecilnya sebelum ia tumbuh menjadi gadis yang sombong.
Ailee mengernyit heran. "Maksud lo apa, Vin? Lemari es apa?"
"Anjir, sok polos." Desis Vina yang membuat Ailee menatapnya tak percaya.
Ailee sudah tidak tahu harus mengatakan kalimat seperti apa lagi, mereka sudah terlalu tidak menyukainya, hanya akan membuang ludah saja untuk menjelaskan karena kebenaran belum tentu bisa diterima oleh ego mereka.
"Aku pamit yah, takut gak ada ang-- aakhh! Awsh..." Ringisnya saat Dhira menarik seragamnya dengan cukup keras hingga lengan Ailee terbentur sudut meja.
"Kak apa-apaan sih? Saya ke sini karena Kak Milan bukan buat jawabin pertanyaan bodoh kayak tadi." Kesal Ailee.
Dhira tersenyum miring. "Berani lo sana gue?" Tekannya.
"Ini bukan masalah berani atau enggak, masalahnya itu aku sama Kak Dhira dan anak cheers lainnya gak punya problem apapun, kan? Terus buat apa?"
Dhira menggeram tertahan, kemudian ia genggam dagu Ailee cukup keras, hingga kuku gadis itu meninggalkan bekas di sana.
"Bantu Milan dan lo akan aman sekolah di sini," ucapnya.
"Awsh.. itu bukan membantu, memberi boc--bocoran itu merusak, bukan cuma moral Kak Milan yang bak-"
BRUGH!
Dhira mendorong tubuh Ailee hingga gadis itu membentur papan tulis.
Kemudian Vina berjalan menghampiri Ailee yang tengah meringis merasakan ngilu pada punggungnya."Lo tahu kan, gue udah lama suka sama Milan. Gue akan bantu dia bagaimana pun caranya, udah lama dia mau dapet kejuaran antar sekolah ini." bisik Vina.
Ailee terdiam. "Lo yang suka, kenapa gue yang jadi mata-mata? Sehat?" Sahut Ailee terkekeh hambar yang membuat Vina semakin geram.
Vina melirik Dhira sekilas dan kembali menatapku saat mendapatkan anggukan kecil dari ketua cheers itu.
Dan, WREEK!
Vina menarik seragam yang Ailee kenakan, hingga beberapa kancing atasnya terlepas. Dengan cepat Ailee merapatkan seragamnya agar menutupi bagian depannya lagi.
"Lo!"
"Apa? Lo mau apa?!" Sentak Vina yang kini menekan punggung Ailee pada papan tulis. "Lo mau minta bayaran berapa? Gue beliin deh lemari es yang gede,"
Mata Ailee tiba-tiba saja berkaca-kaca. "Gue udah bener-bener kecewa sama lo."
"Gue gak peduli, kita cuma temen kecil doang."
Ailee mendorong tubuh Vina dengan keras. "Gue gak butuh duit lo." Tekannya seraya berlalu melewati Vina dengan memegangi seragamnya yang sudah terbuka karena 3 kancing atasnya entah berjatuhan kemana.
"Yakin? Bentar lain UAS, lo harus lunasin tunggakan Ailee..."
"Bukan urusan lo, gue masih mampu bayar tanpa bantuan lo." Sahut Ailee.
Dhira menghadang langkah Ailee dengan berdiri di hadapannya. "Milan butuh bantuan lo, setidaknya lo lakuin buat dia, buat dia merasa lebih baik dengan membawa nama sekolah kita dikejuaraan."
Ailee memutar bola mata jengah. "Kak, maaf tapi kalau skill pemain sekolah kita bagus, mereka bakalan menang dengan cara mereka sendiri." Ucap Ailee yang kecewa dengan apa yang seniornya minta kepadanya.
Dhira mengangguk pelan dan,
BYURR!
Satu botol air penuh meluncur membasahi tubuh Ailee.
"Ambil gunting, di tas gue!" Ujar Vina, kemudian seseorang memberikan sebuah gunting kepadanya. "Kak Dhira, pegangin dia! Yang lain bantu Kak Dhira!" Ujar Vina.
Ailee panik, ia berusaha untuk berlari ke arah pintu, namun seseorang menarik kakinya hingga ia tersungkur membuat dagunya membentur lantai.
Sakit. Hati juga fisik.
"Kak Dhira... Tolong lepasin ak--Vina! Vina jangan gue mohooon..." Mohon Ailee dengan air mata yang sudah mulai membasahi wajahnya.
Kreek!
Suara gunting itu terdengar jelas ditelinga Ailee, mereka benar-benar menggunting roknya dengan Ailee yang terus memberontak.
"Diem sialan! Kalau gunting ini kena paha mulus lo, bisa lebih sakit!" Ujar Vina yang sudah benar-benar melupakan pertemanan masa kecil merek, bahkan mereka masih bertetangga, yang membedakan hanya keadaan Ailee yang sudah tidak sebaik dulu.
Menangis, Ailee hanya bisa menangis dengan terus berusaha melepaskan diri dari pegangan beberapa siswa pada tubuhnya. Ia benar-benar kecewa pada semua yang telah melakukan hal jahat ini kepadanya, bahkan hanya karena hal kecil saja.
"Hiksss..." Ailee memejamkan matanya dan, "Zuco..." Lirihnya dalam hati, hanya nama itu yang ia ingat untuk saat ini.
Vina tersenyum puas melihat Ailee menangis memeluk kedua lututnya dengan keadaan yang sudah tidak karuan melebihi seseorang yang sudah diperkosa.
"Lo seksi dengan potongan pinggir rok lo yang sampe atas ini, andai gue tega, udah gue gunting juga tuh celana pendek lo ini nih! Biar celana dalam lo kemana-mana hahaha!" Ujae Vina seraya menendang kaki Ailee.
Ailee mengusap air matanya dengan kasar, kemudian berusaha untuk menyatukan roknya yang hampir putus itu kembali, padahal ia tahu itu hal yang percuma.
"Kalo lo gak mau bantu Milan, gue bak--"
BRAKH!
Ailee terperanjat saat pintu tiba-tiba saja terbuka, ia langsung menyembunyikan wajahnya, malu, ia malu jika harus dilihat orang dalam keadaan yang seperti ini.
"Ailee..."
Suara itu. Ailee kembali mengangkat wajahnya. "Zuco..." Lirihnya bersamaan dengan air mata yang kembali mengalir begitu saja.
Zuco langsung berlari menghampiri Ailee, kemudian ia lepas jaket yang dikenakannya, ia ikatkan pada pinggang ramping Ailee untuk menutupi gadisnya itu. Roknya sudah benar-benar tidak karuan dan basah.
Zuco beralih menatap siswi-siswi yang berada di sana dengan tajam. "Kalian sudah mencari korban yang salah." Tekannya.
Zuco memegang kedua bahu Ailee. "Hey, sayang... liat aku,"
Ailee mengeratkan pelukannya pada diri sendiri dan perlahan menatap Zuco tepat pada matanya.
Zuco menutup matanya sejenak, kemudian ia raih tubuh Ailee ke dalam pelukannya. "Kalian semua akan membayarnya." Tekan Zuco.
Dalam hitungan detik semua berhambur keluar meninggalkan Zuco dan Ailee yang kini menangis sangat kencang dalam pelukan kekasihnya itu.
Zuco hendak melepaskan pelukannya, namun Ailee menahannya. "Seragam aku... Mereka hiksss..."
"It's okay," Zuco melepaskan pelukannya, kemudian ia melepas seragam sekolahnya. "Pakai ini, double aja pake seragam aku."
Ailee terdiam saat Zuco memakaikan seragamnya, "untung cewek semua dan untung kamu masih pakai tanktop." Ucapnya.
Zuco tak sengaja melihat paha putih Ailee yang memerah. "Ini, kamu berdarah? Yang lukanya sebelah mana?" Tanya Zuco panik.
Reflek ia mengalingkan jaketnya yang menutupi paha Ailee sedikit. "Sialan. Siswi-siswi sialan. Kita harus lapor polisi biar kejadian kayak--"
"Jangan... Gak pa-pa." Lirih Ailee.
"Kenapa bisa berdarah sayang?"
"Kena guntingnya," jawab Ailee. "Aku, aku gak mau sekolah..." Lanjut Ailee.
Zuco mengusap air mata gadisnya itu dengan lembut. "Pindah sekolah, mulai besok kita satu sekolah, aku akan jaga kamu." Ucapnya seraya mengecup bibir Ailee sekilas.
"Kita pulang, sini aku gendong." Ucap Zuco.
Ailee menggelengkan kepalanya. "Kamu gak pake baju,"
"Kan seragam aku di pake kamu, jaket juga. Ayo gak pa-pa, aman kok."
"Ya udah, pake lagi aja jake--"
"Terus? Gimana kalau di luar ada cowok? Aku gak mau--"
"Okay, gendong." Zuco tersenyum senang.
Dengan sekali angkat, Zuco memangku Ailee ala bridal, membuat Ailee refleks mengalungkan lengannya pada leher Zuco. Tubuh polos Zuco membuat Ailee malu sendiri.
"Maaf karena aku udah telat buat nolong kamu, kita ke rumah aku dulu, aku obatin dulu, terus kamu juga gak bisa pulang dalam keadaan kayak gini. Soal siswi-siswi tadi, aku akan urus mereka."
"Zuco, aku--"
"Syut... Tunggu sampe rumah dulu ya sayang, kamu butuh istirahat..." bisik Zuco.
Ailee kembali terdiam dengan menatap wajah tampan Zuco yang terlihat menahan rasa kesal, Ailee masih beruntung Zuco datang menyusulnya, jika tidak? Entahlah ia harus diam di sana sampai kapan.
"I'm sorry... Harusnya aku datang lebih awal," ucap Zuco yang masih menyalahkan dirinya sendiri.
"Makasih karena kamu udah dateng, sayang."
Senyuman Zuco terukir dengan sempurna mendengar panggilan yang sangat langka Ailee katakan. Ia pun mempercepat langkahnya menuju mobil.
Ailee menggeliat pelan. Seluruh tubuhnya terasa berat, dan saat mencoba sedikit bergerak, rasa ngilu-ngilu samar di bagian bawahnya membuatnya mengerutkan dahi. Ia menghela napas, mengumpulkan nyawa dan tenaga untuk menghadapi hari setelah digempur semalaman. Semalam… Pipinya langsung memanas saat ingatan itu muncul di kepalanya. Perlahan, Ailee membuka mata dan mendapati tempat di sebelahnya kosong. "Oh? Jam berapa sekarang?" Gumamnya pelan. Matanya kemudian bergerak, memindai sekitar untuk mencari keberadaan pelaku yang membuatnya tak berdaya. Lalu di sofa dekat jendela, di sana, Zuco terluhat duduk dengan santai, mengenakan kaos polo berwarna midnight blue yang membuat warna kulitnya semakin cerah saja. Rambutnya masih sedikit basah, sepertinya baru selesai mandi. Namun, wajahnya terlihat serius, fokus menatap layar iPad yang ia pegang. "Sejak kapan dia jadi makin ganteng dan manly gini?" Pikir Ailee, "Whatever, yang penting adalah dia suami aku. He's mine. That handsome face
Pesta pernikahan dari putra bungsu keluarga Corner diselenggarakan dengan sangat mewah. Dekorasi bunga putih dari berbagai jenis bunga asli menghiasi setiap sudut ballroom Crystal Palace, memberikan suasana romantis, elegan dan mewah sesuai tema yang memang Ailee putuskan bersama Zuco.Para tamu terlihat menikmati semua rentetan acara yang meriah dan khidmat dengan alunan musik lembut yang mengisi latar. Suara gelak tawa, dentingan gelas dan ucapan selamat yang terus Ailee dan Zuco terima diseiring perayaan pernikahan."Pah, Bu, kami ke meja yang lain dulu. Temen-temen duduk di meja sana," ucap Zuco, izin memisahkan diri.Jhonatan mengangguk, "Sure, ini pesta kalian, do as you wish, nak."Ailee menggenggam tangan suaminya, lalu berjalan beriringan. Ia masih sedikit tak percaya bahwa hari bahagia mereka akhirnya tiba. Gaun putih yang anggun berkilau, dan cincin di jarinya terasa seperti mimpi. Tapi genggaman hangat dan senyuman yang Zuco berikan membuatnya sadar bahwa ini semua adalah
"Zuco gak jadi dateng? What is that mean?" Suara itu mengalihkan bunda Mika, Ibunya Ailee dan Tuan besar Jhonatan, calon Ayah mertua Ailee yang tampak sedang kebingungan. Mereka berdua langsung menghadap ke arah Ailee yang sedang memeluk toga juga ijazah tanda bahwa dia sudah menjadi sarjana untuk Sastra inggris, S.S., Ing. "Bunda, ada apa? Kalian ngobrolin apa? Pah, ini beneran Zuco gak bakalan dateng? Acara wisudanya udah selesai, aku kira dia telat tapi... Dia gak dateng?" Tanya Ailee memastikan dengan suara yang bergetar, ia merasa kecewa. Ailee menunduk, menatap cincin yang tersemat dijari manisnya. Rasa bahagia yang memenuhi hatinya perlahan memudar, tergulung rasa rindu yang tidak jadi tersalurkan. Dengan gontai dia berjalan ke bangku taman, lalu duduk dengan tatapan sendu. "Lee, jangan cemberut gitu dong, ini kan hari wisuda kamu. Kamu harusnya bahagia, lihat yang lain. Semuanya foto-foto, ayo kita ambil foto bareng!" Ajak Bunda Mika berusaha menghibur sang putri. Jhonat
Zuco's BorderlineDeskripsi:S E Q U E L dari Zuco's Obsession💫_________________________________________Zuco menatap Ailee dengan tersenyum manis."Kuliah, pulang. Dan... Jauhin cowok tadi. Okay?""Zuco, aku gak--""Jangan aneh-aneh. Nurut aja."Ailee terlalu bahagia, sampai dirinya lupa bahwa pernikahan adalah awal. Dengan ekspektasi yang tinggi tentang kebahagiaan, mereka berdua harus berjuang untuk saling melengkapi dan menyatukan perbedaan serta meminimalisir perdebatan.*****Di Wattpad yah... Sudah update sejak kemarin. Malam ini update lagi yeaay!!Jangan lupa tinggalkan jejak di sana. Share ke temen-temen. Dan jangan lupa juga mampir ke cerita Didit.Judul: Ice CreamKisah si manja nan keras kepala Aruna bersama kekasihnya yang cold.Seru kok, gak perc
Ekspresi wajah Zuco terlihat sangat jelas menunjukkan kesedihan. Bahkan bukan hanya itu, ada rasa takut serta khawatir yang sedang dirinya rasakan. Dari posisi duduk, berdiri hingga mondar mandir sudah dirinya lakukan untuk mengurangi rasa cemas.Bagaimana tidak, setengah jam lagi pesawatnya akan berangkat dan sampai saat ini Ailee belum juga menunjukkan keberadaannya."Dek, sabar dong. Duduk dulu, mungkin jalanan macet." Ucap Jhonatan.Zuco melirik jam di tangannya. "Ailee bilang dia bakalan nyusul, tapi kok gak dateng.""Belum, Zuco. Bukan gak dateng." Sebagai seorang Ayah, Jhonatan terus berusaha menenangkannya sedari tadi.Zuco menggigit bibir bawahnya. "Is she okay? Gak terjadi apa-apa kan sama Ailee?" Tanyanya pada Jhonatan."Enggak, nak.""Tapi aku telpon gak di angkat, chat juga gak dibaca Pah. Aku khawatir," ucapnya gelisah.Zuco kembali me
Zuco terlihat merebahkan diri di sofa ruang keluarga dengan TV yang hanya dinyalakan untuk menemani dirinya saja. Rumahnya terlalu besar untuk ditinggali 2 orang dan beberapa asisten rumah tangga yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.Hari ini Zuco menyelesaikan Ujian Nasional pertamanya, dengan Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran pembuka.Zuco tampak menatap langit-langit rumahnya yang tinggi dengan memeluk bantal sofa."Zuco..."Mata Zuco membulat sempurna. "Ailee..." Gumamnya seraya bangun dari posisi rebahannya.Zuco tersenyum senang ketika melihat Ailee tersenyum ke arahnya. Kemudian duduk di dekatnya."Dih nyengir," ucap Ailee.Zuco menggigit bibir bawahnya. Kemudian tertunduk."Kenapa? Gak seneng yah aku ke sini? Ganggu yah?"Zuco menggelengkan kepalanya. "I miss you..."&