"Selamat datang, Bu Sharen, Pak Andy, Pak Kevin, Pak Ghifari. Mari silakan masuk." Setelah menimbang-nimbang sejenak Vina, memutuskan untuk bersikap apa adanya saja menghadapi Ghifari. Tidak ada gunanya juga pura-pura tidak saling mengenal. Ia akan menunjukkan pada Ghifari arti sebuah kedewasaan. Selain itu ia ingin Ghifari tahu bahwa dirinya tidak takut padanya.
"Wah, Bu Vina sudah mengenal Pak Ghifari rupanya. Jadi saya tidak perlu susah-susah memperkenalkan kalian lagi bukan?" Sharen tertawa anggun khas sosialita. Tawa seperti ini memiliki banyak makna. Vina belum bisa menebak arti tawa Sharen. Oleh karenanya ia hanya membalas dengan senyum tipis saja.
"Bukan hanya kenal, Bu Sharen? Tapi sangat kenal. Iya kan, Din, Eh Vin?" imbuh Ghifari dengan suara di hidung.
Ghifari sengaja pura-pura salah menyebut namanya. Ia menyapa Dina alih-alih Vina.
Kini Vina sudah bisa menebak maksud kedatang
Vina berdiri gelisah di depan ruangan kerja Rajata. Semenjak pulang dari persidangan, Rajata sangat murung. Di kantor tadi, Rajata menjemput dan memintanya beristirahat saja di rumah. Alasan Rajata, ia takut kalau dirinya kelelahan. Setelah mengantarnya pulang ke rumah, Rajata kembali lagi ke kantor dan baru pulang pada pukul sepuluh malam. Itu pun Rajata langsung masuk ke ruang kerja dan tidak keluar-keluar lagi. Biasanya setelah pulang kantor, Rajata akan membersihkan diri dan makan dulu. Baru ia bekerja di ruangannya.Kini sudah pukul dua dini hari, namun Rajata belum juga keluar dari ruang kerjanya. Tidak biasanya Rajata seperti ini. Pasti telah terjadi sesuatu di persidangan, sampai Rajata mengurung diri seperti ini.Melihat keadaan Rajata yang seperti ini, Vina tidak berani mengusiknya. Padahal Vina sangat ingin mengetahui hasil dari persidangan tadi. Menilik dari bahasa tubuh Rajata, Vina menduga kalau hasilnya pasti tidak baik. Makanya
"Lain kali kamu jangan melakukan hal seperti itu lagi ya, Vin? Tiba-tiba menghilang tanpa kabar, dan tahu-tahu akan menikah saja. Ayahmu hampir saja membuat laporan ke pihak yang berwajib, sebelum akhirnya Rajata menelepon. Membuat kejutan sih boleh saja. Tapi jangan sampai keterlaluan seperti itu. Kamu membuat Ayah dan Ibu ketakutan setengah mati, Vina."Bu Misna mengomeli Vina. Setelah menghilang sekian lama karena menikah, untuk pertama kalinya anak dan menantunya pulang. Melihat anak gadisnya dalam keadaan baik-baik saja, Bu Misna sangat lega. Tetapi tetap saja ada rasa jengkel di hatinya. Bu Misna teringat pada saat Vina menghilang beberapa bulan lalu. Dirinya, suaminya serta Suci kelabakan mencari keberadaan Vina. Suci menelepon ke semua teman Vina yang yang ia kenal, sementara suaminya menyusuri jalan-jalan yang biasa Vina lalui dengan mengendarai gerobak bakso hingga tengah malam buta. Namun semua usaha mereka tidak membuahkan ha
Vina berjalan hilir mudik di rumah kontrakan Suci. Pikirannya kacau karena terus menduga-duga hubungan antara Rajata dengan perempuan cantik tadi. Apalagi jika mengingat anak laki-laki kecil yang memanggil mommy pada wanita tersebut. Jangan-jangan anak laki-laki itu adalah anak mereka berdua. Terjebak oleh prasangkanya sendiri, Vina kian gelisah."Lebih baik lo duduk dulu, Vin. Ini minum dulu biar hati lo adem." Suci menuntun Vina duduk di sofa. Setelahnya ia menggenggamkan segelas air dingin ke tangan Vina. Ia tidak menyangka kalau cuti yang ia ambil untuk mengajak Vina hang out akan berakhir seperti ini."Minum, Vin. Minum. Biar hati dan kepala lo dingin dulu," desak Suci lagi.Seperti robot, Vina meneguk air dingin di dalam gelas hingga tandas. Setelahnya ia beranjak dari sofa, dan berjalan mondar-mondir dengan mulut komat-kamit.Suci menepuk keningnya. T
"Ditiup-tiup dulu baksonya, Vin? Masa masih berasap begitu kamu telan saja? Apa tidak panas?" Rajata ngeri melihat istrinya melahap bakso seperti orang yang tidak makan seminggu. Padahal bakso tersebut masih mengeluarkan asap, pertanda masih sangat panas.Saat ini mereka sedang makan malam. Vina tiba-tiba saja tidak berselera dengan menu yang dimasak oleh Ceu Titin. Vina ingin makan bakso. Baksonya juga bakso spesial. Yaitu Bakso Pak Kumis, gerai bakso ayahnya. Lebih tepatnya Bakso Pak Kumis cabang jalan Aksara, yang pulang perginya saja memakan waktu tiga jam. Itu pun kalau mengebut. Padahal ada gerai bakso yang sama, di mana lokasinya hanya lima belas menit dari kediaman mereka. Namun Vina bersikeras ingin bakso yang berasal dari gerai yang ada di jalan Aksara. Tidak boleh memakai jasa gojek lagi. Harus Rajata sendiri yang membelinya. Alhasil mereka baru bisa makan malam pada pukul sembilan malam, di mana rasa lapar Rajata sudah sampai di titik nadir.
"Kak Dina apa kabar?" Vina menumpangkan tangan di atas jemari kakaknya. Mencoba memberi kehangatan pada tangan dingin Dina. Saat ini Vina tengah duduk di bangku panjang Rumah Sakit Jiwa, tempat Dina dirawat."Baik, Vin," jawab Dina lirih. Setelahnya Dina kembali membisu. Dina tidak mau memandang Vina. Namun Dina balas meremas jemari Vina erat di pangkuannya. Ada kegembiraan tak terucapkan dalam eratnya genggaman tangannya. Vian tersenyum lega. Dina tidak lagi menunjukkan penolakan terhadap sentuhan. Biasanya Dina menolak siapa pun yang mencoba berinteraksi skin to skin dengannya."Tapi Mbak tidak betah di sini, Vin. Mbak kepingin pulang," keluh Dina sedih. Ia memang sudah sangat tidak betah di rumah sakit ini. Sebagian besar rekan-rekannya sangat agresif. Pemarah, suka memukul, terkadang mereka menangis dan tertawa secara bersamaan. Ia takut berdekatan dengan mereka semua. Makanya ia lebih memilih menyendiri, entah di kamar atau di tam
Rajata tengah memeriksa laporan keuangan bulan lalu, saat ponselnya bergetar. Rajata melirik layar ponsel yang ia letakkan di atas meja. Pesan whatsapp dari nomor yang tidak dikenal. Rajata tidak mengindahkannya. Ia memang jarang memeriksa baik itu panggilan ataupun chat dari nomor yang tidak ia kenal.Namun ada satu hal yang membuatnya tertarik. Di layar ponselnya, nomor yang tidak dikenal tersebut mengirimkan beberapa file photo. Rajata menghentikan kegiatannya memeriksa deretan angka-angka di laptop. Ia membuka kacamata anti radiasinya. Mengusap mata lelahnya sebentar sebelum menjangkau ponsel di atas meja. Rajata sadar, bahwa siapa pun yang memberinya pesan ini bermaksud memancingnya agar membuka pesan. Dan si pengirim pesan asing ini berhasil. Ia tertarik membukanya.Rajata menenangkan diri sejenak sebelum menekan kata sandi ponselnya. Menilik cara si pemberi pesan yang misterius seperti ini, pasti gambar atau chat apa
Vina yang masih termenung dengan ponsel di tangan, kaget saat ponselnya kembali bergetar. Firasatnya mengatakan kalau Sarah kembali menghubunginya. Mungkin sarah ingin memamerkan keberhasilannya memikat Rajata."Ha--""Vina, ini saya. Dokter Lita dalam perjalanan menjemputmu. Kamu siap-siap ya? Sebentar lagi ia pasti akan sampai.""Menjemputku ke mana, Mas?""Ke rumah, Sarah. Saya akan menjelaskan semuanya nanti. Pokoknya kamu ke sini saja dulu."Telepon kemudian ditutup saat terdengar suara manja Sarah menawarkan minuman. Benak Vina memikirkan kejanggalan dalam masalah ini. Rajata ke rumah Sarah. Namun Rajata juga memintanya menyusul ke sana. Kalau Rajata memang ingin menjalin hubungan kembali dengan Sarah, untuk apa Rajata memintanya datang bukan? Rajata pasti mempunyai rencana lain. Vina jadi penasaran karenanya.Vina bergegas ke kamar untuk me
"Mas, coba jawab dengan jujur. Apa Mas tidak punya perasaan apa-apa setelah Mbak Sarah mengungkapkan soal kepergiannya dulu."Setelah berkendara hampir lima belas menit lamanya, Vina mengungkapkan apa yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia sudah tidak tahan diam-diaman seperti ini."Tidak, Vin. Mungkin kalau dulu Sarah langsung mengatakan alasannya, saya bisa sedikit memahaminya. Karena Sarah toh tidak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan," jawab Rajata dengan pandangan lurus ke depan. Lalu lintas sore ini lumayan padat."Sedikit memahami," Vina mengangguk-anggukkan kepalanya. Pura-pura mengerti padahal ia kesal atas jawaban Rajata."Itu artinya Mas akan menerima Mbak Sarah kalau dulu ia berterus terang tentang jati dirinya. Begitu ya, Mas?" cecar Vina lagi. Ia tidak puas dengan jawaban ambigu Rajata."Tidak seperti itu juga analoginya, Vin. Memahami bukan