Home / Romansa / cinta yang terpisah / BAB 1: PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA

Share

cinta yang terpisah
cinta yang terpisah
Author: Rara

BAB 1: PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA

Author: Rara
last update Last Updated: 2025-03-12 21:14:22

Hujan turun deras membasahi jalanan kota Jakarta sore itu. Vika berlari kecil, mencoba menghindari hujan dengan mendekap tasnya erat-erat. Langkahnya terburu-buru menuju halte bus terdekat. Namun, nasib berkata lain. Sebuah genangan air yang dalam tidak dapat dihindarinya, membuat sepatunya basah kuyup.

"Astaga! Hari ini benar-benar sial," gerutunya pelan.

Saat ia tiba di halte, napasnya masih tersengal. Dari sudut mata, ia melihat seorang pria berdiri di sana, juga berteduh. Pria itu tinggi, dengan wajah tegas dan tatapan tajam. Ia mengenakan kemeja putih yang sedikit basah di bagian bahu, mungkin terkena percikan hujan. Tanpa sadar, Vika memperhatikannya.

"Kau basah kuyup," suara pria itu membuat Vika tersentak.

Vika mengerjap, merasa malu karena tertangkap basah sedang memperhatikan orang asing. "Iya, genangan air sialan ini membuat sepatuku seperti kolam renang mini," jawabnya sambil tersenyum kecil.

Pria itu tersenyum tipis. "Aku Aldo, kebetulan kita satu halte. Sepertinya bus tidak akan datang dalam waktu dekat. Apa kau ingin naik taksi saja?"

Vika ragu sejenak. Ia bukan tipe orang yang mudah percaya pada orang asing, tapi ada sesuatu dalam tatapan Aldo yang terasa tulus. "Aku lebih suka menunggu bus," jawabnya akhirnya.

Hening sejenak di antara mereka. Hujan semakin deras, menciptakan suara ritmis yang menenangkan. Vika menggigil sedikit, membuat Aldo tanpa berpikir panjang membuka jaketnya dan menyodorkannya padanya.

"Pakai ini, kau kedinginan."

Vika terkejut. "Ah, tidak usah. Aku baik-baik saja."

"Tidak apa-apa, aku masih kuat menahan dingin," ujar Aldo sambil tetap menyodorkan jaketnya.

Vika akhirnya menerimanya dengan ragu. "Terima kasih, Aldo."

Saat itu juga, tanpa mereka sadari, ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka. Sebuah perasaan yang masih samar, namun perlahan-lahan akan mengubah hidup mereka.

Hujan terus turun dengan deras, membuat suasana semakin dingin. Vika merapatkan jaket yang dipinjamkannya oleh Aldo. Wangi khas maskulin dari jaket itu menyelusup ke hidungnya, memberikan kehangatan di tengah cuaca yang dingin.

"Kau sering naik bus dari sini?" tanya Aldo, mencoba mencairkan suasana.

Vika mengangguk. "Ya, setiap hari aku pulang dari kantor lewat sini. Kadang aku juga mampir ke kafe dekat sini kalau sedang ingin bersantai."

Aldo tersenyum. "Aku juga sering ke kafe itu. Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya, hanya saja kita tidak sadar."

Vika tertawa kecil. "Mungkin saja. Jakarta ini terasa luas, tapi kadang dunia begitu sempit."

Percakapan mereka terus mengalir. Vika merasa nyaman berbicara dengan Aldo, sesuatu yang jarang ia rasakan terhadap orang baru. Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Hujan mulai mereda, menyisakan rintik-rintik kecil di atas aspal yang basah.

Tak lama kemudian, bus yang mereka tunggu akhirnya tiba. Aldo mengangguk ke arah Vika. "Sepertinya ini busmu."

Vika menghela napas pelan, sedikit kecewa karena kebersamaan singkat mereka harus berakhir. "Iya, terima kasih untuk jaketnya. Akan kukembalikan lain kali."

Aldo tersenyum. "Tidak perlu buru-buru. Mungkin itu bisa menjadi alasan untuk kita bertemu lagi."

Vika merasakan jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka Aldo akan mengatakan hal seperti itu. Ia hanya tersenyum sebelum menaiki bus. Dari jendela, ia melihat Aldo masih berdiri di halte, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Saat bus mulai berjalan, Vika bersandar di kursinya. Ia tidak bisa menghilangkan senyum di wajahnya. Entah kenapa, ada sesuatu dalam pertemuan itu yang terasa begitu berbeda.

Dan mungkin, pertemuan itu bukanlah kebetulan.

Keesokan harinya, Vika tidak bisa berhenti memikirkan Aldo. Ia bahkan membawa jaketnya ke kantor, berharap bisa bertemu dengannya lagi. Namun, ia merasa bodoh karena tidak bertanya di mana Aldo bekerja atau bagaimana cara menghubunginya.

Saat jam makan siang tiba, ia memutuskan untuk pergi ke kafe yang ia sebutkan kepada Aldo kemarin. Mungkin saja Aldo benar-benar sering ke sana.

Saat ia memasuki kafe, matanya langsung tertuju pada seseorang yang duduk di sudut ruangan. Aldo.

Seolah merasakan tatapannya, Aldo menoleh dan tersenyum. "Vika! Kau di sini?"

Vika tersenyum canggung. "Aku memang sering ke sini. Kau juga?"

Aldo mengangguk. "Ya, dan sepertinya aku beruntung hari ini."

Vika merasa pipinya sedikit memanas. Ia berjalan mendekat dan duduk di kursi di depan Aldo. "Aku membawa jaketmu."

Aldo tertawa kecil. "Aku tidak berpikir kau akan secepat ini ingin mengembalikannya."

"Aku tidak suka berhutang," kata Vika sambil menyerahkan jaket itu.

Aldo menerimanya dengan senyum. "Baiklah, kalau begitu aku ingin berterima kasih. Bagaimana kalau aku mentraktirmu makan siang?"

Vika berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Kenapa tidak?"

Siang itu mereka menghabiskan waktu bersama, mengobrol lebih banyak tentang diri masing-masing. Vika mengetahui bahwa Aldo bekerja di gedung yang sama dengannya, hanya berbeda lantai. Mereka membicarakan banyak hal, dari pekerjaan hingga hal-hal kecil yang mereka sukai.

Vika merasa semakin nyaman dengan Aldo. Ia menyukai cara Aldo berbicara, bagaimana ia mendengarkan dengan penuh perhatian, dan bagaimana ia membuatnya merasa dihargai.

Saat mereka selesai makan, Aldo menatap Vika dengan serius. "Vika, aku senang bisa mengenalmu lebih jauh."

Vika tersenyum. "Aku juga, Aldo."

Aldo tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Mungkin kita bisa sering bertemu seperti ini?"

Vika terdiam. Ia tidak menyangka Aldo akan mengatakannya dengan begitu langsung. Tapi, jauh di dalam hatinya, ia juga menginginkannya.

"Aku tidak keberatan," jawabnya pelan.

Aldo tersenyum lebar. "Bagus. Karena aku ingin mengenalmu lebih baik."

Vika tidak bisa menahan senyumnya. Ia merasa, pertemuan di halte kemarin mungkin bukan sekadar kebetulan. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Dan ia tidak sabar untuk melihat ke mana cerita ini akan membawanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • cinta yang terpisah   Bab 26 : Simfoni kegelapan dan akar tersembunyi

    Udara di Pulau Senyap terasa membeku, meskipun suhu tropis Ambon. Bisikan aneh dari dalam hutan, suara berat yang seperti mantra, menusuk relung hati Vika, Aldo, dan Lila. "Kalian tidak seharusnya datang ke sini." Itu adalah peringatan, bukan pertanyaan. Mereka dikepung oleh sosok-sosok yang nyaris tak terlihat dalam kegelapan, bergerak senyap seperti bayangan.Aldo segera mengaktifkan mode malam pada perangkat pengawasannya. Layar kecil itu menampilkan beberapa siluet yang mengelilingi mereka. Mereka tidak bersenjata api, tetapi memegang tongkat panjang yang tampak kokoh. Yang lebih mengkhawatirkan adalah cara mereka bergerak—terkoordinasi sempurna, nyaris tanpa suara, seperti robot. Aura dingin yang mereka pancarkan bukan hanya sugesti, melainkan seperti gelombang energi yang nyata."Siapa kalian?" teriak Vika, mencoba memecah ketegangan, namun suaranya terdengar pecah di tengah keheningan mencekam.Sebagai jawaban, salah satu sosok maju selangkah. Ia tinggi, mengenakan jubah gelap

  • cinta yang terpisah   Bab 25: Gelombang Pasang Konsekuensi dan Jejak Baru

    Udara pagi di Teluk Ambon terasa lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban dari peristiwa semalam. Kemenangan atas Adnan, dengan dinonaktifkannya malware dan terbukanya seluruh jaringannya melalui kesaksian Hendra serta rekaman Ratih, adalah sebuah masterstroke. Namun, seperti riak di permukaan air, setiap tindakan besar selalu diikuti oleh gelombang konsekuensi yang tak terduga. Adnan mungkin telah kalah dalam pertempuran strategis, tetapi kekalahan itu belum tentu berarti akhir dari segalanya. Di ruang kendali markas rahasia, Profesor Dimas sibuk dengan layar-layar komputer, memastikan setiap data yang diambil dari jaringan Adnan telah diamankan dan diklasifikasi. Wajahnya serius, sesekali mengernyitkan dahi. Pak Wijoyo menerima laporan tanpa henti dari timnya, yang kini bergerak cepat menindaklanjuti informasi dari Hendra dan data yang baru didapatkan. Sejumlah penangkapan senyap sedang dilakukan di berbagai kota besar di Indonesia dan bahkan beberapa di luar negeri, berkat

  • cinta yang terpisah   Bab 24 : Simpul-simpul terurai dan bayangan yang tak pernah padam

    Fajar menyingsing di Teluk Ambon, namun kegelapan yang meliputi mereka jauh lebih pekat daripada malam yang baru saja berlalu. Penangkapan Hendra adalah sebuah kemenangan, sebuah langkah maju yang signifikan. Namun, kemenangan itu datang dengan harga yang mahal: risiko pengkhianatan yang tak terduga, dan pengungkapan kebenaran yang semakin kompleks tentang peran Ratih dan Bapak Suryo. Rekaman pengakuan yang kini dipegang Ibu Kirana, dan kesaksian Hendra, ibarat dua bilah pedang yang siap menembus jantung jaringan Adnan, namun juga berpotensi melukai mereka yang ada di dalamnya. Di markas kepolisian yang dijaga ketat, Hendra duduk di ruang interogasi, wajahnya masih memucat ketakutan dan amarah. Pengkhianatan Adnan telah menghancurkan fondasi kepercayaannya. Pak Wijoyo dan timnya, didampingi Ibu Kirana, dengan cermat menggali setiap informasi dari Hendra. Informasi yang ia berikan adalah kunci yang sangat berharga. Hendra mengungkapkan detail tentang skema pencucian uang melalui prope

  • cinta yang terpisah    Bab 23: Bayangan yang Bergerak dan Langkah Sang Pion

    Udara di safe house terasa tegang, penuh dengan antisipasi yang membara setelah pengungkapan rekaman pengakuan Ratih dan Bapak Suryo. Cahaya matahari pagi yang menerobos celah tirai seolah tak mampu mengusir bayangan dilema yang masih menyelimuti mereka. Liontin kunci, yang kini disimpan Ibu Kirana, telah membuka pintu ke kebenaran yang jauh lebih gelap dari yang mereka bayangkan. Ratih, bukan hanya korban, melainkan seorang pemain catur ulung yang mengorbankan segalanya demi keadilan. "Jadi, ibuku... dia sengaja masuk ke sarang Adnan untuk mengumpulkan bukti?" Lila berbisik, suaranya bercampur antara rasa bangga, kesedihan, dan keterkejutan. "Dia tahu rahasia kematian anak Suryo, dan dia menggunakannya sebagai leverage?" Vika mengangguk, menatap Lila dengan empati. "Ratih sangat cerdas, Lila. Dia tidak hanya ingin membongkar Adnan, dia ingin melindungi banyak hal. Rekaman itu membuktikan dia sedang membangun sebuah kasus dari dalam, selangkah demi selangkah." Aldo menambahkan,

  • cinta yang terpisah   Bab 22 : Pengkhianatan tersembunyi dan keadilan

    Malam di Teluk Ambon terasa begitu panjang, diwarnai dengan ketidakpastian dan beban moral yang membelenggu. Di sebuah safe house rahasia yang disediakan Pak Wijoyo, jauh dari hiruk pikuk kota, Vika, Aldo, dan Lila duduk mengelilingi meja, diterangi cahaya lampu redup. Di tengah mereka, tergeletak liontin kunci kusam yang didapatkan dari Pak Harun. Liontin itu, yang tadinya mereka kira adalah kunci menuju keadilan, kini menjelma menjadi kunci ke dalam jurang dilema yang tak berujung. Pak Harun sendiri, kini dalam perawatan intensif di rumah sakit, kondisinya kritis setelah insiden di gang sempit. Keadaannya menjadi pengingat pahit akan betapa berbahayanya permainan Adnan. "Rekaman ini..." Vika memulai, suaranya pelan, seolah takut mengganggu kesunyian. "Ini bisa jadi pedang bermata dua. Menjatuhkan Adnan, tapi juga menghancurkan banyak orang, termasuk nama baik Ratih." Aldo menatap liontin kunci itu, jemarinya membelai ukiran samar di permukaannya. "Kakek buyutku dan Ratih... mereka

  • cinta yang terpisah   Bab 21 : Lorong Gelap Rahasia dan Kunci Pengorbanan

    Malam di Teluk Ambon telah menyingkap wajah aslinya—bukan lagi pesona bahari yang memikat, melainkan sebuah tirai gelap yang menyelimuti rahasia dan ancaman. Di dalam rumah mewah Adnan yang kini disesaki tim forensik dan polisi, ketegangan menggantung di udara seperti bau amis darah. Ultimatum Adnan menggema, bukan hanya sebagai ancaman, tetapi sebagai sebuah jebakan moral yang mengikat erat Vika, Aldo, dan Lila. Mereka kini memahami: pertarungan ini bukan lagi sekadar perebutan warisan atau keadilan semata, melainkan sebuah permainan catur rumit dengan taruhan yang menghancurkan. Vika, Aldo, dan Lila berdiri di hadapan Adnan yang telah diborgol, namun seringai licik tak pernah lepas dari wajahnya. Tatapan matanya yang tajam dan dingin memancarkan keyakinan bahwa ia telah memenangkan pertempuran ini, bahkan dalam kekalahan sekalipun. Ia tahu, mereka kini terjebak di antara dua pilihan pahit: mengungkap jaringannya yang luas dengan risiko kekacauan global dan aib bagi Ratih, atau memb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status