Home / Horor / lantai tiga belas / jangan menoleh

Share

jangan menoleh

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-10 17:56:10

Dimas berdiri membeku di depan pintu besi besar bertuliskan “Ruang Pendingin”. Tangannya menggenggam erat tuas dingin yang berembun, tapi tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Nafasnya menggantung di udara, berasap, meski seharusnya ruangan itu belum terbuka.

Di belakangnya, langkah itu kembali terdengar.

Berat. Teratur. Menyeret. Makin dekat.

Guguk… guguk… gukkk…

Dimas memejamkan mata. Ia ingat pesan Sinta:

“Jangan menoleh… apapun yang kamu dengar.”

Tapi suara itu… kini bukan hanya langkah.

Ada suara bisikan—tak jelas kata-katanya, seperti suara orang berbicara dalam mimpi buruk, berulang-ulang, makin cepat, makin bising. Seolah banyak mulut berteriak langsung ke telinganya.

“JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK…”

Ia hampir menoleh. Tapi gigi bawahnya menggigit bibir sampai darah merembes. Ia menahan.

Dengan satu hentakan, Dimas memutar tuas. Suara logam tua berderit panjang, dan udara dingin seperti es menyembur keluar. Kabut tebal menyelimuti tubuhnya saat pintu membuka.

Hwaaaaarrrrhh…

Seketika suara-suara dari luar menghilang. Sunyi menggantung di udara. Yang tersisa hanya dengung rendah dan tiupan angin beku dari dalam ruangan.

Dimas melangkah masuk. Pintu menutup perlahan di belakangnya, otomatis, dan menutup dengan bunyi menggetarkan:

DUAARR!

Ia kini sendirian di lorong gelap yang disinari lampu berkedip redup. Tapi ada yang aneh—lorong ini… tidak biasa.

Dindingnya bukan semen. Bukan keramik.

Dinding ini… seperti daging.

Berurat. Lembap. Bergerak perlahan seolah sedang bernapas.

Dimas menahan napas. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi basah: pluk… pluk… pluk…

Langkahnya meninggalkan jejak di lantai. Jejak kaki berdarah—padahal kakinya tidak terluka. Ia mulai menyadari… daging di bawahnya seperti meresap ke dalam kulitnya, menyedot sesuatu.

"Ini bukan ruang pendingin biasa… Ini… lorong lain."

Ia menyusuri lorong itu perlahan, menyusuri dinding-dinding berdenyut. Di sisi kanan, ia melihat sesuatu yang tergantung di dinding: bingkai-bingkai foto.

Foto-foto tua, buram. Sebagian terbakar sebagian. Tapi wajah-wajahnya masih terlihat.

Pasien. Dokter. Perawat. Anak-anak.

Semua tersenyum dalam fotonya. Tapi dalam tiap foto… selalu ada sosok gelap berdiri di belakang mereka. Kabur. Hitam. Dengan mata merah menyala.

Dan perlahan, sosok itu tampak makin jelas… makin dekat dari satu foto ke foto berikutnya.

Dimas mempercepat langkah. Tapi lorong seperti tak berujung. Ia mulai kehilangan rasa di ujung jari-jarinya karena udara makin dingin. Napasnya jadi kabut tebal. Dan saat ia mencapai belokan lorong, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti:

Sebuah cermin tinggi.

Berbingkai logam berkarat, berdiri sendiri di tengah lorong. Tak ada pintu. Tak ada ruangan. Hanya cermin itu… di ujung lorong daging.

Ia mendekat perlahan.

Dan melihat dirinya sendiri—tapi berbeda.

Versi dirinya di dalam cermin sedang duduk di ruang jaga lantai enam. Terlihat tenang. Tapi matanya… kosong. Seolah ia tak memiliki jiwa.

Dimas mengangkat tangan—pantulan mengikutinya. Tapi ada sesuatu yang mengganggu. Ia menyadari satu hal mengerikan:

Sinta berdiri di belakang versi dirinya dalam cermin.

Tersenyum.

Senyuman itu bukan senyuman bahagia. Tapi senyum lelah… menyerah.

Lalu suara muncul di sekeliling lorong, bergema:

“Kalau kamu ingin keluar, kamu harus menggantikan dirimu sendiri.”

Suara itu… suara Sinta. Tapi lebih berat. Lebih dalam. Seolah berasal dari dalam tanah.

“Satu keluar… satu harus tinggal.”

Dimas memandangi cermin. Tangan versi dirinya di dalam cermin terangkat… dan menempel ke permukaan kaca. Dari baliknya, seolah ingin keluar.

“Jangan percaya.”

Suara lain berbisik di belakangnya. Lebih kecil. Lebih rapuh.

Sinta muncul dari lorong. Wajahnya pucat, rambut acak-acakan. Matanya sayu tapi basah.

“Dimas… jangan biarkan dia menggantikanmu.”

“Siapa… dia?” Dimas bertanya, tapi suaranya nyaris tak terdengar.

“Bayanganmu. Bagian dari lantai ini. Kalau kamu menyatu dengannya, kamu akan tetap di sini. Selamanya.”

“Lalu bagaimana aku keluar?”

“Lewat cermin. Tapi kau harus kuat. Jangan biarkan dia masuk duluan. Dan…” Sinta menatapnya tajam, “…jangan menoleh. Sekali pun. Bahkan jika aku berteriak. Bahkan jika kau mendengar suaraku memohon. Jangan menoleh.”

Cermin itu mulai bergetar.

Retakan muncul di permukaannya. Lalu terdengar suara dari dalam:

“AKU MAU KELUAR.”

Tangan pantulan Dimas meninju permukaan kaca, membuatnya pecah sebagian.

Lorong mulai bergetar. Dinding daging meronta. Suara jeritan terdengar dari segala arah—seribu suara dalam satu napas.

Sinta menarik lengan Dimas. “Sekarang! Masuk! Sebelum bayanganmu menyusul!”

Dimas melompat ke arah cermin.

Tepat saat ia masuk, sesuatu menarik kakinya—dingin, basah, dan tak berbentuk. Ia menendang, meronta, dan terjatuh ke lantai seberang.

Ia membuka mata.

Cahaya terang menyilaukan.

Ia… di lantai enam. Ruang jaga. Meja kerja. Kursi lipat.

Perawat di ujung ruangan menatapnya bingung. “Pak Dimas? Anda kenapa?”

Tapi Dimas tidak menjawab.

Karena saat ia melihat cermin kecil di dinding belakang…

Versi dirinya yang lain masih di sana.

Tersenyum… pelan…

Senyuman yang bukan miliknya.

Dan dari kejauhan…

Ia masih mendengar suara itu…

“Satu lagi… satu lagi… kami butuh satu lagi…”

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • lantai tiga belas   Dunia Mereka

    Langit pagi tampak tenang di kota. Burung-burung berkicau, udara dingin menyentuh dedaunan yang bergoyang perlahan. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang ibu duduk di ruang tamu dengan wajah pucat dan mata bengkak. Di pangkuannya, sebuah foto lama—foto Sinta.Sudah tiga hari sejak Sinta menghilang.Polisi, relawan, dan tim medis sudah menyisir rumah sakit tua itu, tapi tak ada satu pun jejaknya. Bahkan pintu ke ruang bawah tanah yang ditemukan oleh Fara—dan dulu sempat menjadi jalan keluar mereka—telah hilang. Tertutup tembok beton seolah tak pernah ada.Di sisi lain kota, Fara duduk terpaku di depan layar laptopnya. Matanya kosong, tangan gemetar, wajahnya pucat pasi. Di layar, muncul satu email misterius tanpa nama pengirim, hanya subjek: “Dia belum keluar.”Isi email hanya satu gambar:Sinta berdiri di lorong rumah sakit… dengan latar belakang yang gelap dan kabur. Di belakangnya, bayangan-bayangan samar anak-anak terlihat merangkak, tersenyum dengan wajah hancur.>

  • lantai tiga belas   Dunia yang Terlupakan

    Langit masih gelap ketika Fara dan Sinta sampai di depan bangunan tua itu. Rumah Sakit Sumber Asih berdiri seperti bangkai raksasa yang sudah lama ditinggalkan, namun menyimpan sesuatu yang masih… hidup. Bau karbol busuk, darah kering, dan daging membusuk langsung menyambut begitu mereka melangkah masuk. Bangunan itu telah berubah. Bukan hanya karena waktu—tapi karena batas antara dunia nyata dan dunia lain sudah hancur. Dindingnya kini berdenyut pelan seperti kulit manusia. Lantai seakan bernapas. Dan di kejauhan, mereka bisa mendengar jeritan yang datang dari arah yang tidak jelas. > “Kita ke lantai bawah. Ruang isolasi,” kata Fara mantap. Sinta menggenggam salib kecil di lehernya. Mulutnya komat-kamit membaca doa, tapi suaranya makin hilang—karena suara tawa dari anak-anak kecil mulai terdengar menggema. > “Kita sudah kembali…” “Ibu bilang jangan bawa mereka…” “Sekarang kita bisa main selamanya…” Lampu senter yang mereka bawa mulai berkedip, lalu padam. Fara menyalakan kore

  • lantai tiga belas   Menembus Kegelapan

    Pintu kamar Fara berderit tertutup rapat. Sinta berdiri mematung di tengah ruang tamu yang hanya disinari cahaya temaram dari lampu lorong. Udara berubah dingin, menusuk tulang, dan aroma menyengat dari alkohol rumah sakit mulai memenuhi ruangan. Suara itu terdengar lagi—lebih jelas, lebih dekat. > “Sinta… kenapa kamu tinggalkan aku…?” Ia menoleh perlahan. Di pojok ruangan, terlihat bayangan tubuh seseorang, membungkuk dan menggeliat tak wajar. Rambut panjang menutupi wajahnya. Seragam rumah sakit putih, lusuh dan bernoda, mengisyaratkan sosok itu bukan bagian dari dunia ini. Tubuh Sinta gemetar, matanya membelalak, dan napasnya tercekat. “Hi… Hilda?” gumamnya lirih. Tapi yang berdiri di sana bukan Hilda. Ketika sosok itu menegakkan tubuhnya, wajahnya perlahan terlihat—dan Sinta ingin menjerit. Bukan karena kengerian semata, tapi karena wajah itu seolah campuran dari banyak anak. Mata satu besar, satu kecil. Kulitnya tambal sulam, seperti bekas dijahit dari beberapa wajah yang

  • lantai tiga belas   Kamar Tujuh Belas

    Petir terakhir yang menyambar langit menyisakan keheningan mencekam. Fara masih menggenggam tubuh Sinta yang kaku dan dingin. Ia panik, menepuk-nepuk pipi sahabatnya.> “Sinta! Bangun! Jangan tinggalin aku!”Sinta tiba-tiba terbatuk keras, lalu membuka mata dengan napas terengah-engah.> “Aku… aku melihat mereka, Fara… anak-anak itu… mereka… masih di sana…”Fara membantu Sinta berdiri, tapi tiba-tiba mereka melihat sesuatu di dinding ruang tamu. Sebuah pintu—padahal sebelumnya tak pernah ada.Pintu tua dengan angka 17 terpaku di bagian atasnya. Lukisan kayunya dipenuhi goresan seperti cakaran, dan dari balik celahnya, terdengar suara ketukan pelan… tok… tok… tok…Sinta memegang tangan Fara erat.> “Itu… kamar yang tidak pernah selesai dibuka di rumah sakit dulu… Kamar Tujuh Belas.”> “Tapi ini rumahku,” kata Fara lirih.> “Mereka bawa kamarnya ke sini,” bisik Sinta. “Kita belum selesai…”Tanpa sadar, pintu itu terbuka perlahan. Kabut tipis merambat keluar seperti napas dingin dari dun

  • lantai tiga belas   Panggilan dari Bawah

    Langit Serang malam itu mendung. Angin menggugurkan daun-daun kering, menampar jendela rumah Fara seperti ingin menyampaikan pesan yang tak bisa diucapkan.Di kamar, Sinta terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu. Keringat membasahi pelipis. Mimpi itu lagi.Ia berada di lorong rumah sakit yang tak berujung. Lampu menyala satu per satu saat ia berjalan, dan dari balik tirai-tirai putih, suara rintihan anak-anak memanggil namanya.> “Sinta… tolong kami…”Tapi malam ini berbeda. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat bayangan tinggi besar, tubuh terbakar setengah, dengan wajah rusak menganga.Dr. Mardika.Masih hidup… atau lebih buruk—masih ada.Sinta duduk di tepi ranjang. Dari dapur, terdengar suara Fara berbicara pelan. Ia turun perlahan, dan mendapati sahabatnya itu menatap layar laptop dengan mata membelalak.“Far, kamu ngapain?” tanya Sinta.Fara menunjuk layar. Sebuah rekaman video dari kamera pengintai lama. Ia menemukannya di forum gelap—forum yang hanya bisa diakses dengan ko

  • lantai tiga belas   Luka yang Belum Kering

    Motor tua Pak Darmo meraung menembus jalanan kecil yang mengarah ke desa. Fara berpegangan erat pada sandaran belakang, sementara Sinta mendekap tubuh sendiri, matanya masih menyapu kabut tipis di belakang—tak percaya mereka berhasil keluar dari tempat itu.Tapi di dalam dada, ada yang belum tenang.Fara menoleh, napasnya belum stabil. “Pak… Bapak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana?”Pak Darmo tak menjawab langsung. Matanya lurus ke jalan, rahangnya mengeras.> “Kalian beruntung… bisa keluar. Banyak yang nggak sempat cerita. Banyak yang milih diam, atau… hilang waras.”Sinta memejamkan mata, bisikan suara anak-anak itu masih terngiang.> “Ibu… kenapa Ibu pergi…?”“Aku masih denger suara mereka…” gumamnya pelan.Pak Darmo melirik lewat kaca spion. “Wajar. Karena sebagian dari mereka mungkin… nyari kamu, Nduk.”Sinta tersentak. “Kenapa… aku?”Pak Darmo menarik napas panjang. Mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang sepi, hanya diterangi lampu minyak. Di dalamnya, sudah men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status