Dimas berdiri membeku di depan pintu besi besar bertuliskan “Ruang Pendingin”. Tangannya menggenggam erat tuas dingin yang berembun, tapi tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Nafasnya menggantung di udara, berasap, meski seharusnya ruangan itu belum terbuka.
Di belakangnya, langkah itu kembali terdengar. Berat. Teratur. Menyeret. Makin dekat. Guguk… guguk… gukkk… Dimas memejamkan mata. Ia ingat pesan Sinta: “Jangan menoleh… apapun yang kamu dengar.” Tapi suara itu… kini bukan hanya langkah. Ada suara bisikan—tak jelas kata-katanya, seperti suara orang berbicara dalam mimpi buruk, berulang-ulang, makin cepat, makin bising. Seolah banyak mulut berteriak langsung ke telinganya. “JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK…” Ia hampir menoleh. Tapi gigi bawahnya menggigit bibir sampai darah merembes. Ia menahan. Dengan satu hentakan, Dimas memutar tuas. Suara logam tua berderit panjang, dan udara dingin seperti es menyembur keluar. Kabut tebal menyelimuti tubuhnya saat pintu membuka. Hwaaaaarrrrhh… Seketika suara-suara dari luar menghilang. Sunyi menggantung di udara. Yang tersisa hanya dengung rendah dan tiupan angin beku dari dalam ruangan. Dimas melangkah masuk. Pintu menutup perlahan di belakangnya, otomatis, dan menutup dengan bunyi menggetarkan: DUAARR! Ia kini sendirian di lorong gelap yang disinari lampu berkedip redup. Tapi ada yang aneh—lorong ini… tidak biasa. Dindingnya bukan semen. Bukan keramik. Dinding ini… seperti daging. Berurat. Lembap. Bergerak perlahan seolah sedang bernapas. Dimas menahan napas. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi basah: pluk… pluk… pluk… Langkahnya meninggalkan jejak di lantai. Jejak kaki berdarah—padahal kakinya tidak terluka. Ia mulai menyadari… daging di bawahnya seperti meresap ke dalam kulitnya, menyedot sesuatu. "Ini bukan ruang pendingin biasa… Ini… lorong lain." Ia menyusuri lorong itu perlahan, menyusuri dinding-dinding berdenyut. Di sisi kanan, ia melihat sesuatu yang tergantung di dinding: bingkai-bingkai foto. Foto-foto tua, buram. Sebagian terbakar sebagian. Tapi wajah-wajahnya masih terlihat. Pasien. Dokter. Perawat. Anak-anak. Semua tersenyum dalam fotonya. Tapi dalam tiap foto… selalu ada sosok gelap berdiri di belakang mereka. Kabur. Hitam. Dengan mata merah menyala. Dan perlahan, sosok itu tampak makin jelas… makin dekat dari satu foto ke foto berikutnya. Dimas mempercepat langkah. Tapi lorong seperti tak berujung. Ia mulai kehilangan rasa di ujung jari-jarinya karena udara makin dingin. Napasnya jadi kabut tebal. Dan saat ia mencapai belokan lorong, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti: Sebuah cermin tinggi. Berbingkai logam berkarat, berdiri sendiri di tengah lorong. Tak ada pintu. Tak ada ruangan. Hanya cermin itu… di ujung lorong daging. Ia mendekat perlahan. Dan melihat dirinya sendiri—tapi berbeda. Versi dirinya di dalam cermin sedang duduk di ruang jaga lantai enam. Terlihat tenang. Tapi matanya… kosong. Seolah ia tak memiliki jiwa. Dimas mengangkat tangan—pantulan mengikutinya. Tapi ada sesuatu yang mengganggu. Ia menyadari satu hal mengerikan: Sinta berdiri di belakang versi dirinya dalam cermin. Tersenyum. Senyuman itu bukan senyuman bahagia. Tapi senyum lelah… menyerah. Lalu suara muncul di sekeliling lorong, bergema: “Kalau kamu ingin keluar, kamu harus menggantikan dirimu sendiri.” Suara itu… suara Sinta. Tapi lebih berat. Lebih dalam. Seolah berasal dari dalam tanah. “Satu keluar… satu harus tinggal.” Dimas memandangi cermin. Tangan versi dirinya di dalam cermin terangkat… dan menempel ke permukaan kaca. Dari baliknya, seolah ingin keluar. “Jangan percaya.” Suara lain berbisik di belakangnya. Lebih kecil. Lebih rapuh. Sinta muncul dari lorong. Wajahnya pucat, rambut acak-acakan. Matanya sayu tapi basah. “Dimas… jangan biarkan dia menggantikanmu.” “Siapa… dia?” Dimas bertanya, tapi suaranya nyaris tak terdengar. “Bayanganmu. Bagian dari lantai ini. Kalau kamu menyatu dengannya, kamu akan tetap di sini. Selamanya.” “Lalu bagaimana aku keluar?” “Lewat cermin. Tapi kau harus kuat. Jangan biarkan dia masuk duluan. Dan…” Sinta menatapnya tajam, “…jangan menoleh. Sekali pun. Bahkan jika aku berteriak. Bahkan jika kau mendengar suaraku memohon. Jangan menoleh.” Cermin itu mulai bergetar. Retakan muncul di permukaannya. Lalu terdengar suara dari dalam: “AKU MAU KELUAR.” Tangan pantulan Dimas meninju permukaan kaca, membuatnya pecah sebagian. Lorong mulai bergetar. Dinding daging meronta. Suara jeritan terdengar dari segala arah—seribu suara dalam satu napas. Sinta menarik lengan Dimas. “Sekarang! Masuk! Sebelum bayanganmu menyusul!” Dimas melompat ke arah cermin. Tepat saat ia masuk, sesuatu menarik kakinya—dingin, basah, dan tak berbentuk. Ia menendang, meronta, dan terjatuh ke lantai seberang. Ia membuka mata. Cahaya terang menyilaukan. Ia… di lantai enam. Ruang jaga. Meja kerja. Kursi lipat. Perawat di ujung ruangan menatapnya bingung. “Pak Dimas? Anda kenapa?” Tapi Dimas tidak menjawab. Karena saat ia melihat cermin kecil di dinding belakang… Versi dirinya yang lain masih di sana. Tersenyum… pelan… Senyuman yang bukan miliknya. Dan dari kejauhan… Ia masih mendengar suara itu… “Satu lagi… satu lagi… kami butuh satu lagi…” ---Setelah kejadian malam itu, Sinta dan Fara terus mencoba mencari jawaban di balik misteri rumah sakit tua itu. Meski sudah berjanji untuk menjaga rahasia lantai 13, rasa penasaran menggerogoti mereka perlahan.Di suatu sore yang kelabu, Fara kembali ke ruang kendali. Monitor-monitor di sana masih menyala samar, meski listrik sudah stabil. Ada satu layar yang tak pernah mati — menampilkan pintu terkunci dengan kode keamanan yang rumit.Sinta berdiri di sampingnya, menggenggam buku catatannya erat.“Jika kita bisa membuka pintu ini, mungkin kita bisa mengakhiri semuanya,” kata Fara penuh tekad.Namun, tiba-tiba terdengar suara berbisik dari balik dinding:> “Jangan buka... jangan buka...”Keduanya menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.Jantung mereka berdetak makin cepat.“Ini belum selesai,” bisik Sinta.Dan bayangan di balik pintu itu, seakan menunggu mereka untuk datang kembali.Fara menatap layar yang menampilkan pintu besi besar dengan lampu indikator merah menyala. Kode akses yang mun
Cakar logam Dr. Mardika menghantam dinding, menciptakan percikan api dan debu beterbangan. Fara mendorong Sinta dan Hilda ke sisi lain lorong, mencari tempat berlindung. Nafas mereka memburu, keringat dan darah bercampur di wajah masing-masing. “Terus lari!” teriak Fara, meski lututnya hampir goyah. Tapi makhluk itu lebih cepat. Dr. Mardika melompat di dinding seperti laba-laba, berputar dan mendarat tepat di depan mereka. Wajahnya mengelupas, menampakkan tengkorak yang masih menyala dengan urat-urat mesin menyembul keluar. > “Kalian pikir bisa mematikan semua ini begitu saja?” suaranya terdengar dari berbagai speaker di sepanjang lorong, menggema seperti mimpi buruk. Lampu emergency di atas mulai padam satu per satu, menciptakan bayangan panjang dan pekat yang menggerayangi setiap sudut ruangan. Tiba-tiba, suara anak-anak terdengar lagi—kali ini bukan tangis... tapi nyanyian lirih. Nyanyian itu seolah mantra yang membekukan udara. Sinta memeluk Hilda lebih erat, merasakan haw
Gelap itu seperti memakan segalanya.Fara terbangun duluan. Ia tidak tahu apakah ia tertidur atau hanya... terdiam dalam kehampaan. Tapi kini, ia mendengar suara napas. Sinta. Masih ada. Masih bernapas.Mereka terbaring di lantai yang dingin, di dalam ruang rawat UGD. Tapi... semuanya terlihat seperti semula.Lampu menyala. Tidak ada darah. Tidak ada tangisan anak kecil. Tidak ada retakan di dinding. Hanya... sepi.Sinta perlahan membuka mata. “Kita... hidup?”Fara berdiri, melangkah ke pintu. Ia dorong pelan, dan lorong rumah sakit menyambut mereka dengan suara mesin infus, langkah kaki perawat, dan suara pengumuman di speaker.Rumah sakit itu kembali normal.Tapi sesuatu terasa salah.Mereka berjalan perlahan menyusuri lorong, dan setiap orang yang mereka lewati — perawat, pasien, dokter — menatap mereka lama. Dengan tatapan kosong. Tanpa senyum. Seolah tahu sesuatu.Mereka tiba di meja resepsionis. Seorang perawat wanita duduk di sana, tersenyum... terlalu lebar.> “Selamat datang
Langit di luar rumah sakit tampak muram meski mentari pagi sudah terbit. Kabut menggantung tebal, membuat segala sesuatu terlihat pucat. Fara setengah memapah Sinta yang luka parah, tapi masih bisa berjalan pelan. Nafas mereka berat, tapi langkah mereka pasti.Gerbang rumah sakit itu terbuka lebar… tapi sepi. Tak ada mobil, tak ada suara. Seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang baru saja terjadi di dalam.Fara menoleh sekali lagi ke belakang. Bangunan rumah sakit itu masih utuh. Tak terbakar, tak runtuh… tapi terasa seperti makam raksasa. Tak ada lagi suara, tak ada lagi tangisan. Semuanya… diam.> “Akhirnya…” bisik Fara.Mereka berjalan menyusuri jalan aspal menuju halte yang dulu mereka lewati saat pertama kali datang. Tapi anehnya, jam di pergelangan tangan Fara... tidak bergerak.Sinta memegang lengan Fara. “Fa... kamu sadar nggak?”> “Apa?”> “Ini… tempatnya sama. Tapi... semuanya kayak... terlalu tenang.”Tiba-tiba, suara tawa anak kecil terdengar pelan di kejauhan.Fara r
Fara menatap Hilda dengan tubuh gemetar. “Satu dari kami harus tinggal...? Maksudmu... dikorbankan?”Hilda tidak menjawab. Matanya merah menyala, tapi kali ini penuh luka, bukan kebencian.Sinta perlahan berdiri, menggenggam tangan Fara erat. “Kalau itu yang harus terjadi… aku—”“Tidak!” Fara memotong cepat. “Kita cari jalan lain. Selalu ada jalan lain.”Tiba-tiba, dari balik kaca buram pintu darurat, para sosok tanpa wajah itu mulai berteriak—jeritan melengking yang menggetarkan dinding dan menyakitkan telinga. Cahaya di lorong mati total.Dan… lorong itu berubah.Dindingnya bukan lagi putih. Tapi jadi seperti koridor ruang bawah tanah — gelap, berlumut, dan berbau busuk.Hilda berbisik lagi, tapi kali ini suaranya lirih. “Ada satu lorong terakhir. Di ruang radiologi. Di sana kalian bisa temukan panel utama… dan pilihan kalian.”Lalu ia memudar… seperti kabut yang tertelan kegelapan.Fara dan Sinta saling menatap, lalu berlari. Lorong demi lorong mereka lewati, dihantui bayangan dan
Fara dan Sinta saling pandang. Suara tangisan masih bergema, kini bercampur isak tawa dari balik tembok. Udara menjadi lebih tebal, seolah setiap tarikan napas terasa seperti menghirup kabut kematian.Hilda masih bertengger di atas, wajah setengah hangusnya diam mengawasi mereka seperti penjaga gerbang neraka.Sinta melangkah mundur. “Aku… aku gak bisa, Far…”Fara menggeleng cepat. “Jangan. Kita berdua keluar. Harus.”Hilda perlahan turun, langkahnya ringan tapi penuh tekanan seperti bayangan tak kasatmata. Ia mendekati Sinta dan menyentuh bahunya.> “Jika kalian berdua mencoba kabur... lorong ini akan menelan kalian. Kalian akan menjadi seperti mereka…”Ia menunjuk ke balik kaca, tempat tubuh-tubuh pasien tanpa wajah kini mulai menghantamkan kepala ke dinding.Gedebuk. Gedebuk. Suara mereka bersahutan.Fara memejamkan mata, berusaha keras berpikir. Lalu matanya tertumbuk pada buku catatan Sinta yang masih dipegangnya erat — penuh coretan, diagram, dan catatan tangan Hilda sendiri.Sa