Home / Horor / lantai tiga belas / lorong tak berujung

Share

lorong tak berujung

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-10 17:44:38

Dimas tak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam.

Lorong lantai tiga belas itu... tidak seperti lantai biasa. Panjangnya tidak masuk akal. Saat ia berjalan, langkahnya menggema, tapi dinding tak pernah mendekat. Setiap beberapa meter, cahaya lampu di atas berkedip—ritmis, seakan berdetak.

Detak… yang perlahan menyerupai suara jantung. Bukan jantungnya.

Seseorang… atau sesuatu… sedang hidup di lorong ini.

Ia menoleh ke belakang—pintu masuk telah menghilang. Dinding di belakangnya kini menyatu seperti tak pernah ada pintu di sana.

“Tenang... tenang... ini cuma... bangunan tua…” gumam Dimas, mencoba menenangkan diri.

Tapi jantungnya justru berdebar lebih keras saat terdengar suara lain… langkah kaki yang bukan miliknya. Berat, lambat, berulang.

Dimas berhenti. Langkah itu juga berhenti.

Ia mulai berlari.

Dan di tengah lari itu, ia melihatnya—ruang 1313.

Pintu itu terbuka sedikit.

Lampu di dalamnya berpendar merah. Tapi kali ini, ada suara dari dalam. Bukan jeritan. Bukan tawa.

Doa.

Seseorang sedang berdoa dalam bahasa yang asing. Berulang-ulang. Dengan nada memohon… atau memperingatkan?

Dimas mendorong pintu. Suara berhenti.

Ruangan itu kosong.

Hanya ada ranjang… dan cermin tinggi yang diselubungi kain putih kotor. Dimas mendekat perlahan. Hawa dingin menusuk kulitnya, seolah ruangan ini bukan di dunia yang sama lagi.

Ia menarik kain itu.

Dan melihat dirinya sendiri di cermin.

Tapi pantulan itu… tidak bergerak.

Wajahnya tampak lebih pucat. Matanya merah. Bibirnya tersenyum… sendiri.

Dimas memundurkan diri. Tapi pantulan itu tetap berdiri.

Lalu, ia melihat sesuatu muncul di belakang pantulan, dari sudut cermin. Sosok gelap… tinggi… wajahnya tertutup rambut. Tangannya panjang dan patah, menempel ke lantai.

Dan perlahan… sosok itu muncul di belakang Dimas.

Bukan di cermin.

Di dunia nyata.

Napas Dimas memburu. Ia tak berani menoleh. Tapi ia mendengar bisikan:

“Kamu sudah terlalu jauh... terlalu dalam... keluar tidak akan mudah.”

Seketika lampu padam.

Semua menjadi hitam pekat.

Hanya suara yang tersisa—napas berat, suara kaki diseret, dan suara-suara lain. Banyak. Seperti satu rumah sakit penuh makhluk bergentayangan kini berada di lorong itu.

Dimas berlari membabi buta, menyusuri lorong tanpa ujung, berteriak minta tolong. Tapi suara teriakannya terpantul kembali seperti gema—atau lebih tepatnya, ditertawakan.

Saat ia berhenti, kelelahan dan ketakutan, ia menyadari satu hal:

Lorong itu… berulang.

Ia selalu kembali ke titik yang sama: cermin tinggi di ruang 1313.

Dan setiap ia kembali, pantulannya berubah.

Wajahnya kini rusak—mata robek, kulit melepuh, bibir menganga penuh cacing.

Di kali keempat ia kembali ke ruangan, ia melihat pantulannya berdiri di luar cermin, menatapnya dari belakang.

“AKU... DI DALAM SINI…” tulis pantulan itu di permukaan cermin dengan darah.

---

Sementara itu, di lantai bawah, dokter kepala rumah sakit mulai menyelidiki keanehan yang terus meningkat. Tiga perawat menghilang dalam seminggu. Seorang pasien ditemukan tergantung di kamar mandi tanpa ada alat bantu apa pun. Dan catatan kepegawaian kembali rusak—nama-nama staf yang dulunya ada, kini dicoret otomatis.

Tapi yang paling aneh adalah laporan dari anak magang yang sedang bersih-bersih gudang arsip.

Ia menemukan lemari tua, terkunci.

Saat dibuka, di dalamnya hanya ada satu benda:

Foto besar berbingkai. Gambar seorang perawat perempuan berdiri di depan cermin. Rambutnya menutupi wajah. Tapi di permukaan cermin, ada tulisan:

“Lantai 13 harus tetap terkunci.”

Di bawahnya ada cap nama:

Sinta A.

---

Kembali di lorong atas, Dimas mulai kehilangan arah. Ruang dan waktu tidak lagi masuk akal.

Ia mendengar suara ibunya memanggil dari balik pintu. Lalu suara anak kecil tertawa. Lalu dirinya sendiri… menyanyi lagu masa kecil yang tidak pernah ia nyanyikan lagi sejak SD.

Semuanya berputar di kepalanya.

Ia jatuh berlutut. Menangis.

Tapi lalu… ia mendengar suara seseorang mendekat.

Langkah ringan. Kunci berdering.

Dan dari kegelapan, muncul seseorang membawa lampu petromaks.

“Sinta…?” bisik Dimas.

Perempuan itu menatapnya. Tapi kali ini, mata Sinta terlihat normal. Lelah. Dan… sedih.

“Dimas… kamu harus pergi. Sebelum terlalu terlambat.”

“Terlambat apa?!”

Sinta menunduk.

“Karena kamu sudah mulai jadi bagian dari lantai ini. Semakin lama kamu di sini, semakin kecil kemungkinan kamu pulang.”

“Tapi aku mau nolong kamu!” Dimas setengah berteriak.

Sinta menggeleng. Air mata menetes di pipinya.

“Aku sudah tidak bisa ditolong. Tapi kamu masih bisa keluar. Ambil jalur belakang. Lewat lorong pendingin. Tapi jangan menoleh... apa pun yang kamu dengar.”

Sinta menyerahkan petromaks, lalu berbalik. Ia melangkah menjauh, kembali ke dalam bayangan. Sosoknya memudar, seolah menyatu dengan dinding.

Dan Dimas berdiri sendiri… di tengah suara-suara yang mulai bergema lagi.

Jeritan.

Tawa.

Bisikan.

Dan satu suara yang terus mengulang:

“Satu lagi… satu lagi… kita butuh satu lagi.”

---

Bab ini berakhir dengan Dimas menemukan pintu besi besar bertuliskan “Ruang Pendingin” dan mulai membuka tuasnya perlahan… saat suara langkah berat dari belakang mulai terdengar lagi.

Dan ia ingat pesan Sinta.

“Jangan menoleh.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • lantai tiga belas   Pengganti

    Gelap itu seperti memakan segalanya.Fara terbangun duluan. Ia tidak tahu apakah ia tertidur atau hanya... terdiam dalam kehampaan. Tapi kini, ia mendengar suara napas. Sinta. Masih ada. Masih bernapas.Mereka terbaring di lantai yang dingin, di dalam ruang rawat UGD. Tapi... semuanya terlihat seperti semula.Lampu menyala. Tidak ada darah. Tidak ada tangisan anak kecil. Tidak ada retakan di dinding. Hanya... sepi.Sinta perlahan membuka mata. “Kita... hidup?”Fara berdiri, melangkah ke pintu. Ia dorong pelan, dan lorong rumah sakit menyambut mereka dengan suara mesin infus, langkah kaki perawat, dan suara pengumuman di speaker.Rumah sakit itu kembali normal.Tapi sesuatu terasa salah.Mereka berjalan perlahan menyusuri lorong, dan setiap orang yang mereka lewati — perawat, pasien, dokter — menatap mereka lama. Dengan tatapan kosong. Tanpa senyum. Seolah tahu sesuatu.Mereka tiba di meja resepsionis. Seorang perawat wanita duduk di sana, tersenyum... terlalu lebar.> “Selamat datang

  • lantai tiga belas   Keluar, Tapi Tidak Lepas

    Langit di luar rumah sakit tampak muram meski mentari pagi sudah terbit. Kabut menggantung tebal, membuat segala sesuatu terlihat pucat. Fara setengah memapah Sinta yang luka parah, tapi masih bisa berjalan pelan. Nafas mereka berat, tapi langkah mereka pasti.Gerbang rumah sakit itu terbuka lebar… tapi sepi. Tak ada mobil, tak ada suara. Seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang baru saja terjadi di dalam.Fara menoleh sekali lagi ke belakang. Bangunan rumah sakit itu masih utuh. Tak terbakar, tak runtuh… tapi terasa seperti makam raksasa. Tak ada lagi suara, tak ada lagi tangisan. Semuanya… diam.> “Akhirnya…” bisik Fara.Mereka berjalan menyusuri jalan aspal menuju halte yang dulu mereka lewati saat pertama kali datang. Tapi anehnya, jam di pergelangan tangan Fara... tidak bergerak.Sinta memegang lengan Fara. “Fa... kamu sadar nggak?”> “Apa?”> “Ini… tempatnya sama. Tapi... semuanya kayak... terlalu tenang.”Tiba-tiba, suara tawa anak kecil terdengar pelan di kejauhan.Fara r

  • lantai tiga belas   Tawaran Terakhir

    Fara menatap Hilda dengan tubuh gemetar. “Satu dari kami harus tinggal...? Maksudmu... dikorbankan?”Hilda tidak menjawab. Matanya merah menyala, tapi kali ini penuh luka, bukan kebencian.Sinta perlahan berdiri, menggenggam tangan Fara erat. “Kalau itu yang harus terjadi… aku—”“Tidak!” Fara memotong cepat. “Kita cari jalan lain. Selalu ada jalan lain.”Tiba-tiba, dari balik kaca buram pintu darurat, para sosok tanpa wajah itu mulai berteriak—jeritan melengking yang menggetarkan dinding dan menyakitkan telinga. Cahaya di lorong mati total.Dan… lorong itu berubah.Dindingnya bukan lagi putih. Tapi jadi seperti koridor ruang bawah tanah — gelap, berlumut, dan berbau busuk.Hilda berbisik lagi, tapi kali ini suaranya lirih. “Ada satu lorong terakhir. Di ruang radiologi. Di sana kalian bisa temukan panel utama… dan pilihan kalian.”Lalu ia memudar… seperti kabut yang tertelan kegelapan.Fara dan Sinta saling menatap, lalu berlari. Lorong demi lorong mereka lewati, dihantui bayangan dan

  • lantai tiga belas   Tukar Nyawa

    Fara dan Sinta saling pandang. Suara tangisan masih bergema, kini bercampur isak tawa dari balik tembok. Udara menjadi lebih tebal, seolah setiap tarikan napas terasa seperti menghirup kabut kematian.Hilda masih bertengger di atas, wajah setengah hangusnya diam mengawasi mereka seperti penjaga gerbang neraka.Sinta melangkah mundur. “Aku… aku gak bisa, Far…”Fara menggeleng cepat. “Jangan. Kita berdua keluar. Harus.”Hilda perlahan turun, langkahnya ringan tapi penuh tekanan seperti bayangan tak kasatmata. Ia mendekati Sinta dan menyentuh bahunya.> “Jika kalian berdua mencoba kabur... lorong ini akan menelan kalian. Kalian akan menjadi seperti mereka…”Ia menunjuk ke balik kaca, tempat tubuh-tubuh pasien tanpa wajah kini mulai menghantamkan kepala ke dinding.Gedebuk. Gedebuk. Suara mereka bersahutan.Fara memejamkan mata, berusaha keras berpikir. Lalu matanya tertumbuk pada buku catatan Sinta yang masih dipegangnya erat — penuh coretan, diagram, dan catatan tangan Hilda sendiri.Sa

  • lantai tiga belas   Dosa yang Tertinggal

    Fara mundur beberapa langkah, tubuhnya membeku di ambang pintu. Suara tawa itu makin keras, menyelinap ke dalam tulang-tulangnya. Tawa yang dulu sering ia dengar di balik pintu ruang kerja sang ayah — namun saat itu ia pikir hanya bagian dari stres kerja.Sinta menggenggam tangannya. “Fara… kita harus pergi. Sekarang!”Namun sebelum sempat bergerak, dinding ruang operasi mulai berubah. Gambar-gambar samar bermunculan — rekaman masa lalu, seperti proyeksi kabut. Fara melihat ayahnya... Dr. Mardika, mengenakan jas lab putih, sedang berdiri di tengah ruangan itu, bersama seorang gadis kecil — Hilda.“Percobaan ini akan menyelamatkan banyak nyawa,” suara Dr. Mardika terdengar berat, dingin. “Tapi kau harus kuat, Hilda.”Gadis kecil itu menangis, tubuhnya diikat ke meja operasi. Di sekeliling mereka, alat-alat medis kuno, jarum besar, dan larutan kimia tak dikenal.Fara menutup mulutnya, ngeri. “Tidak… Ayah… apa yang kau lakukan…”Bayangan itu berlanjut. Hilda berteriak, darah berceceran,

  • lantai tiga belas   Konspirasi Dr. Mardika (Dalam Ingatan Hilda)

    Sebelum semuanya kacau. Sebelum lantai tiga belas dikunci selamanya. Hilda adalah salah satu dokter muda paling bersinar di rumah sakit itu. Pintar, teliti, dan... terlalu penasaran. Ia mulai mencurigai Dr. Mardika sejak insiden kematian pasien aneh yang ditutup-tutupi. Mayat pasien itu, meski dinyatakan "gagal organ", ternyata menunjukkan luka simbolik aneh di dada—seperti pahatan. Tapi hasil otopsi diubah. "Ini bukan luka medis biasa," ujar Hilda kala itu saat menunjukkan fotonya ke perawat senior, tapi ia hanya dapat tatapan takut. Tak ada yang berani bicara. Malam itu, ia menyelinap ke ruang catatan medis lama. Di sana, ia menemukan berkas pasien dari tahun 1997, dan sebuah nama mencolok: “Proyek R13.” Disetujui oleh direktur saat itu—Dr. Mardika. Di bawahnya, terdapat nama-nama staf yang terlibat. Beberapa sudah meninggal secara misterius. Beberapa... menghilang. Hilda menelusuri lebih dalam. R13 ternyata bukan hanya sebutan untuk "lantai tiga belas" yang tidak pernah resm

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status