Sinta berdiri di depan gedung tua itu, napasnya menggumpal dalam udara pagi yang dingin. Rumah Sakit Umum Kartika menjulang di hadapannya, dindingnya kelabu kehijauan seperti lumut yang menempel pada ingatan masa lalu. Kota Salaka mungkin kecil dan tenang, tapi rumah sakit ini menyimpan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang bahkan sebelum ia melangkah masuk.
Hari itu adalah hari pertamanya sebagai perawat magang. “Bismillah,” gumamnya, menarik napas panjang. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kaca yang berat dan langsung disambut aroma khas antiseptik dan karbol yang menusuk hidung. Di dalam, suasana masih sepi. Jam dinding menunjuk pukul 06.30. Beberapa perawat senior lalu-lalang dengan tatapan lesu. Ada sesuatu yang terasa… berat. Seolah rumah sakit ini menahan napas, menyembunyikan sesuatu di balik lorong-lorong panjang dan lampu yang meredup setiap beberapa detik. “Perawat Sinta?” suara wanita paruh baya menyentaknya dari lamunan. “Saya Bu Rini. Kamu ikut saya ke ruang briefing, ya.” Sinta mengikuti wanita itu melewati koridor yang sepi, melewati ruang UGD, IGD, dan akhirnya masuk ke ruang kecil berisi lima kursi dan satu papan tulis. Di sana sudah ada dua perawat magang lain yang tampak sama gugupnya. Bu Rini menutup pintu, lalu berbicara dengan nada serius. “Saya nggak akan bertele-tele. Rumah sakit ini punya aturan sendiri. Di luar protokol medis, ada satu hal yang harus kalian tahu.” Ia menunjuk gambar denah rumah sakit yang tergantung di dinding. “Gedung ini punya dua belas lantai,” lanjutnya. “Tapi di lift kalian akan lihat ada tombol untuk lantai tiga belas.” Sinta saling pandang dengan perawat lain. “Itu… semacam kesalahan arsitek?” tanya salah satu dari mereka, seorang cowok bernama Iwan. Bu Rini menggeleng pelan. “Nggak. Itu lantai yang... tidak seharusnya ada. Dan kalian harus ingat: jangan pernah tekan tombol itu. Jangan sekalipun mencoba naik ke sana, apapun alasannya.” Sinta merinding. Tapi rasa penasarannya tumbuh liar. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi Bu Rini sudah beranjak dari kursi. “Mulai hari ini, kalian dibagi shift malam. Sinta, kamu di UGD. Iwan dan Mira di ruang isolasi lantai 5. Laporan mulai jam tujuh malam.” --- Malam pertamanya jaga datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Sinta duduk sendirian di ruang UGD, hanya ditemani suara detak jam dinding dan dengung lampu neon yang kadang berderak. Pasien terakhir sudah tertidur, dan tak ada aktivitas berarti. Ia membuka jurnal kecil untuk mencatat shift pertamanya, ketika telepon meja tiba-tiba berdering. Tring… Tring… Sinta terlonjak. Ia meraih gagang telepon. “Halo, UGD?” Tak ada suara. “Halo?” Lalu terdengar suara perempuan. Pelan, serak, dan nyaris tak terdengar. “Tolong… ke lantai tiga belas… kamar 1313… pasiennya pendarahan…” Klik. Telepon mati. Sinta menatap gagang telepon seperti menatap bom waktu. Jantungnya berdegup keras. Ia meletakkannya perlahan, berharap itu cuma salah sambung. Tapi… dia jelas mendengar: lantai tiga belas. Ia berdiri, berjalan pelan ke arah lift. Lorong menuju lift gelap sebagian. Ia ragu. Tapi rasa penasaran lebih besar daripada ketakutannya. Lift terbuka dengan bunyi gemeretak besi tua. Ia masuk dan menatap tombol-tombol di dalam. Ada. Tombol 13 menyala samar merah di antara tombol 12 dan 14. Tidak mungkin. Tangannya bergerak sendiri, menekan tombol itu. Lift menutup. Bergerak naik dengan gerakan lambat dan berat. Sinta bisa mendengar tiap detik berlalu. 10… 11… 12… 13. Denting lift berbunyi. Pintu terbuka perlahan… Dan ia langsung disambut hawa dingin yang menusuk tulang. Lantai itu gelap. Tidak ada cahaya lampu, hanya bayangan panjang yang bergerak liar di dinding. Dindingnya penuh retakan, cat mengelupas, dan ada jejak tangan berdarah mengarah ke ujung lorong. Sinta melangkah masuk. Setiap langkahnya bergema. Bau karat, jamur, dan darah menyengat. Di ujung lorong ada pintu bertuliskan 1313. Terbuka sedikit. Ia mendorongnya pelan. Ranjang rumah sakit berdiri di tengah ruangan, dan di atasnya… ada sosok perempuan. Tubuhnya dipenuhi darah, rambut panjang menutupi sebagian wajah, dan... wajahnya mirip dirinya sendiri. Sinta terpaku. Sosok itu membuka mata. Hitam. Kosong. Senyum lebar muncul di wajahnya. “Akhirnya kamu datang juga.” Tiba-tiba, sosok itu menjerit. Telinga Sinta berdengung, matanya berkunang, dan pandangannya menggelap. --- Sinta terbangun di ruang UGD. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Jam menunjukkan pukul 05.45 pagi. Di hadapannya berdiri Bu Rini dan dua satpam. “Kamu pingsan di depan lift,” kata Bu Rini tegas. “Apa yang kamu lakukan?” Sinta membuka mulut, ingin menjelaskan, tapi kata-katanya tercekat. Ia hanya bisa menunjuk ke arah lift. “Tombol lantai 13,” katanya. “Aku ditelepon dari sana… kamar 1313…” Bu Rini menatapnya lama, lalu menghela napas. “Tidak ada tombol 13 di lift ini, Sinta.” Ia berbalik dan menekan tombol lift. Pintu terbuka. Sinta menatapnya. Tidak ada tombol 13. Hanya 1 sampai 12, dan tombol darurat. Sinta membeku. Ia tahu apa yang ia lihat semalam. Ia mendengarnya. Ia menyentuh tombolnya. Tapi sekarang… semuanya seolah tak pernah ada. Dan di saku bajunya, ia menemukan sesuatu. Secarik kertas kecil, basah oleh darah kering. Tertulis: "Kamu sudah membuka pintunya. Kami akan menjemputmu kembali." ---Gelap itu seperti memakan segalanya.Fara terbangun duluan. Ia tidak tahu apakah ia tertidur atau hanya... terdiam dalam kehampaan. Tapi kini, ia mendengar suara napas. Sinta. Masih ada. Masih bernapas.Mereka terbaring di lantai yang dingin, di dalam ruang rawat UGD. Tapi... semuanya terlihat seperti semula.Lampu menyala. Tidak ada darah. Tidak ada tangisan anak kecil. Tidak ada retakan di dinding. Hanya... sepi.Sinta perlahan membuka mata. “Kita... hidup?”Fara berdiri, melangkah ke pintu. Ia dorong pelan, dan lorong rumah sakit menyambut mereka dengan suara mesin infus, langkah kaki perawat, dan suara pengumuman di speaker.Rumah sakit itu kembali normal.Tapi sesuatu terasa salah.Mereka berjalan perlahan menyusuri lorong, dan setiap orang yang mereka lewati — perawat, pasien, dokter — menatap mereka lama. Dengan tatapan kosong. Tanpa senyum. Seolah tahu sesuatu.Mereka tiba di meja resepsionis. Seorang perawat wanita duduk di sana, tersenyum... terlalu lebar.> “Selamat datang
Langit di luar rumah sakit tampak muram meski mentari pagi sudah terbit. Kabut menggantung tebal, membuat segala sesuatu terlihat pucat. Fara setengah memapah Sinta yang luka parah, tapi masih bisa berjalan pelan. Nafas mereka berat, tapi langkah mereka pasti.Gerbang rumah sakit itu terbuka lebar… tapi sepi. Tak ada mobil, tak ada suara. Seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang baru saja terjadi di dalam.Fara menoleh sekali lagi ke belakang. Bangunan rumah sakit itu masih utuh. Tak terbakar, tak runtuh… tapi terasa seperti makam raksasa. Tak ada lagi suara, tak ada lagi tangisan. Semuanya… diam.> “Akhirnya…” bisik Fara.Mereka berjalan menyusuri jalan aspal menuju halte yang dulu mereka lewati saat pertama kali datang. Tapi anehnya, jam di pergelangan tangan Fara... tidak bergerak.Sinta memegang lengan Fara. “Fa... kamu sadar nggak?”> “Apa?”> “Ini… tempatnya sama. Tapi... semuanya kayak... terlalu tenang.”Tiba-tiba, suara tawa anak kecil terdengar pelan di kejauhan.Fara r
Fara menatap Hilda dengan tubuh gemetar. “Satu dari kami harus tinggal...? Maksudmu... dikorbankan?”Hilda tidak menjawab. Matanya merah menyala, tapi kali ini penuh luka, bukan kebencian.Sinta perlahan berdiri, menggenggam tangan Fara erat. “Kalau itu yang harus terjadi… aku—”“Tidak!” Fara memotong cepat. “Kita cari jalan lain. Selalu ada jalan lain.”Tiba-tiba, dari balik kaca buram pintu darurat, para sosok tanpa wajah itu mulai berteriak—jeritan melengking yang menggetarkan dinding dan menyakitkan telinga. Cahaya di lorong mati total.Dan… lorong itu berubah.Dindingnya bukan lagi putih. Tapi jadi seperti koridor ruang bawah tanah — gelap, berlumut, dan berbau busuk.Hilda berbisik lagi, tapi kali ini suaranya lirih. “Ada satu lorong terakhir. Di ruang radiologi. Di sana kalian bisa temukan panel utama… dan pilihan kalian.”Lalu ia memudar… seperti kabut yang tertelan kegelapan.Fara dan Sinta saling menatap, lalu berlari. Lorong demi lorong mereka lewati, dihantui bayangan dan
Fara dan Sinta saling pandang. Suara tangisan masih bergema, kini bercampur isak tawa dari balik tembok. Udara menjadi lebih tebal, seolah setiap tarikan napas terasa seperti menghirup kabut kematian.Hilda masih bertengger di atas, wajah setengah hangusnya diam mengawasi mereka seperti penjaga gerbang neraka.Sinta melangkah mundur. “Aku… aku gak bisa, Far…”Fara menggeleng cepat. “Jangan. Kita berdua keluar. Harus.”Hilda perlahan turun, langkahnya ringan tapi penuh tekanan seperti bayangan tak kasatmata. Ia mendekati Sinta dan menyentuh bahunya.> “Jika kalian berdua mencoba kabur... lorong ini akan menelan kalian. Kalian akan menjadi seperti mereka…”Ia menunjuk ke balik kaca, tempat tubuh-tubuh pasien tanpa wajah kini mulai menghantamkan kepala ke dinding.Gedebuk. Gedebuk. Suara mereka bersahutan.Fara memejamkan mata, berusaha keras berpikir. Lalu matanya tertumbuk pada buku catatan Sinta yang masih dipegangnya erat — penuh coretan, diagram, dan catatan tangan Hilda sendiri.Sa
Fara mundur beberapa langkah, tubuhnya membeku di ambang pintu. Suara tawa itu makin keras, menyelinap ke dalam tulang-tulangnya. Tawa yang dulu sering ia dengar di balik pintu ruang kerja sang ayah — namun saat itu ia pikir hanya bagian dari stres kerja.Sinta menggenggam tangannya. “Fara… kita harus pergi. Sekarang!”Namun sebelum sempat bergerak, dinding ruang operasi mulai berubah. Gambar-gambar samar bermunculan — rekaman masa lalu, seperti proyeksi kabut. Fara melihat ayahnya... Dr. Mardika, mengenakan jas lab putih, sedang berdiri di tengah ruangan itu, bersama seorang gadis kecil — Hilda.“Percobaan ini akan menyelamatkan banyak nyawa,” suara Dr. Mardika terdengar berat, dingin. “Tapi kau harus kuat, Hilda.”Gadis kecil itu menangis, tubuhnya diikat ke meja operasi. Di sekeliling mereka, alat-alat medis kuno, jarum besar, dan larutan kimia tak dikenal.Fara menutup mulutnya, ngeri. “Tidak… Ayah… apa yang kau lakukan…”Bayangan itu berlanjut. Hilda berteriak, darah berceceran,
Sebelum semuanya kacau. Sebelum lantai tiga belas dikunci selamanya. Hilda adalah salah satu dokter muda paling bersinar di rumah sakit itu. Pintar, teliti, dan... terlalu penasaran. Ia mulai mencurigai Dr. Mardika sejak insiden kematian pasien aneh yang ditutup-tutupi. Mayat pasien itu, meski dinyatakan "gagal organ", ternyata menunjukkan luka simbolik aneh di dada—seperti pahatan. Tapi hasil otopsi diubah. "Ini bukan luka medis biasa," ujar Hilda kala itu saat menunjukkan fotonya ke perawat senior, tapi ia hanya dapat tatapan takut. Tak ada yang berani bicara. Malam itu, ia menyelinap ke ruang catatan medis lama. Di sana, ia menemukan berkas pasien dari tahun 1997, dan sebuah nama mencolok: “Proyek R13.” Disetujui oleh direktur saat itu—Dr. Mardika. Di bawahnya, terdapat nama-nama staf yang terlibat. Beberapa sudah meninggal secara misterius. Beberapa... menghilang. Hilda menelusuri lebih dalam. R13 ternyata bukan hanya sebutan untuk "lantai tiga belas" yang tidak pernah resm