Lahat ng Kabanata ng The Secret Admire's Love: Kabanata 21 - Kabanata 30
60 Kabanata
Basket
Kami memulai sesi pertemuan hari ni dengan bermain basket sebagai salam perkenalan kami. Ada sekitar sepuluh siswa yang datang hari ini. Menurut pak Yuda yang sempat mampir sebelum permainan perkenalan ini dimulai, yang datang adalah siswa kelas 11, pemain inti tapi itu belum semua hadir, ada beberapa yang belum datang. Untuk jadwal kelas 8 baru akan dimulai besok. Pengaturan jadwal setelah ini kedepannya akan mengikuti jadwalku.Dari kesepuluh yang hadir ditambah dengan diriku dan Ivan, maka dibentuk dua kelompok. Aku berada di grup Ring dan Ivan memimpin grup Basket. Kejar-kejaran angkapun terjadi. Yang awalnya gedung olahrga hanya berisi kami, 12 orang, tanpa disadari sudah dipenuhi banyak penonton. Teriakan - teriakan memberi semangat terdengar saling bersahutan. Keringat menetes di keningku, kaos oblongku basah kuyup. Tidak berbeda dengan yang lain. Kami terus menggenjot adrenalin penonton lewat atraksi jump shoot yang memang menjadi keahlianku dan atraksi long
Magbasa pa
Pria Pincang
Pertemuan di markas bersama para pengawalku memberikan banyak informasi untukku. Gerombolan preman yang dulu menghajarku dan Ivan ternyata direkrut menjadi pengawal Oom Johan, saudara sepupu ayah, tak terkecuali pemuda dengan tato pegasus di punggungnya. Aku tidak tahu ada kesalahan apa yang sudah dilakukan ayah  hingga  oom Johan begitu dendam pada ayah. Dendam? Aku menyangsikan bila rasa itu adalah rasa dendam, karena setahuku ayah tidak pernah berkhianat terhadap siapapun. Justru ayahlah yang dikhianati saudara-saudarannya tak terkecuali, oom Johan. Mungkin, rasa itu bukan dendam tapi lebih ke rasa iri dan dengki.Tentang pemuda bertato pegasus. Seingatku  ia adalah keponakan dari oom Johan. Jadi bila dikatakan aku dan dia ada hubungan saudara, jawabnya tidak. Itu seingatku tapi entah Ibu. Yang lebih tahu soal ini Ibu. Erick melaporkan bahwa mereka merekrut preman-preman itu dengan iming-iming selain gaji besar juga dijanjikan kesempatan untuk m
Magbasa pa
Gerakan Mencurigakan
Erick dan Ivan meninggalkan ruang kerjaku dan berjalan kembali menuju markas.Hari beranjak petang  dan mulai merayap malam. Besok masih ada jadwal kuliah umum di auditorium, dan aku sudah berniat bolos ketimbang bertemu dengan cewek yang seperti kemarin bikin kesal. Dimarahin gimana, didiamkan tambah banyak saja tingkahnya, bikin emosi jiwa.  Aku tidak begitu suka dengan perempuan yang model begitu. Aku suka yang biasa, seperti Hira. Iya, seperti Hira. Diamnya justru kusuka. Kata-kata yang ia keluarkan hanya untuk sesuatu yang memang perlu ia ucapkan, senyum dan tawanya tidak mudah juga untuk dilihat dan didengar. Perempuan yang tidak mudah untuk ditaklukkan.Aku beranjak dari dudukku, meninggalkan kursi kebesaranku, mengambil ponselku dan mencari nama pak Yuda di daftar kontak. Ketemu. Aku langsung saja menekan angka yang muncul di layar ponselku. Aku meminta ijin untuk melihat rekaman cctv yang terpasang diparkiran sepeda motor dan gerbang jal
Magbasa pa
Petunjuk CCTV
Ada apa?" tanyaku setelah menghabiskan kopi pahitku."Tuan, sebaiknya kita mengawal Nona Hira pagi ini. Beni mendapat info sudah ada gerakan mencurigakan di sekitar tempat tinggal Hira, sejak beberapa hari terakhir," lapor Erick. Tubuhku meremang. Dadaku mendadak berdegup tak beraturan mendengar nama Hira disebutkan."Rekaman cctv. Berikan aku rekaman cctv yang terpasang di komplek perumahan dan lingkungan sekitar," pintaku pada Erick."Ini Tuan Muda, sudah saya persiaokan," ujar Erick saat menyerahkan flash disk kepadaku.Aku bergegas masuk ke ruang kerjaku dan menghidupkan laptop. Setelah menunggu beberapa saat, kupasangkan flashdisk di laptop.Aku mulai memutar rekaman cctv satu minggu yang lalu. Tidak ada kejadian yang mencolok, hanya beberapa kendaraan yang lewat seperti biasa, itupun warga sekitar.Hari kedua, tidak jauh berbeda, hanya ketambahan 2 motor yang lewat berulang kali, itupun di depan gang jalan masuk menuju kom
Magbasa pa
Hira Yang Malang
Aku berlari menghampiri tubuh Hira yang sudah tergeletak  lemah di tengah-tengah perempatan jalan. Aku tidak berani menyentuhnya, aku mencari-cari ponselku dan segera menekan panggilan darurat, meminta dikirimkan ambulance karena ada korban tabrak lari. Aku hanya mampu mengusap pipi Hira yang tidak tergores apapun. Darah tampak mengalir dari hidungnya meski tidak banyak. Hira termasuk pengendara motor yang sangat taat hukum, karena ia mengenakan semua perlengkapan standar untuk menaiki kendaraan motor. Aku melihat Erick yang setengah berlari menyusulku. "Telpon Harun. Suruh dia kesini dengan membawa ambulance dalam waktu 5 menit!" perintahku dengan nada bicara sedikit bergetar. Tangan kananku terus memegang titik nadi yang terletak di leher Hira yang masih berdenyut. Panggilan darurat yang tadi aku lakukan tidak juga membawa hasil. Aku sempat hendak menggendong Hira dan membawanya langsung dengan mobilku, tapi aku tidak berani karena aku t
Magbasa pa
Menjadi Kakimu Untuk Melangkah
Kini, tinggallah aku, Erick dan Hira di kamar ini. Gadis itu masih tertidur efek dari obat bius yang di berikan Harun saat operasi tadi. Aku menatap ke arah matanya yang kini ditutupi perban. Hatiku miris. Tidak dapat kusembunyikan kesedihan dan kekesalanku."Rick, bagaimana keadaan Ivan?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari wajah Hira."Sudah dilakukan operasi pengangkatan proyektil, Tuan. Kini, Ivan masih belum sadar." Erick menjawab sambil melihat jam tangannya."Seharusnya sekarang sudah sadar, Tuan," Erick meralat jawabannya tadi. "Kau tengoklah, Ivan. Lihat seberapa parah lukanya. Minta dokter Erwin yang merawatnya hingga sembuh," titahku pada Erick."Baik, Tuan. Mengenai nona Hira..." tanya Erick terputus."Biar aku yang akan menyampaikan pada oom Gunawan. Sekarang, pergilah," usirku padanya. Erick menundukkan kepalanya mengundurkan diri dan segera pergi meninggalkan kamar Hira.Tinggalah aku sendiri, menatap Hira
Magbasa pa
Menunggu Hasil
Hari ketiga di rumah sakit. Aku masih menunggu Hira di sini. Kemarin aku tidak bisa menemaninya. Hanya datang sebentar lalu pergi lagi dan baru datang dinihari ini tadi. Oom Gunawan dan Tante Ratih tampak lelah, karena Hira kembali histeris bila mengingat penglihatannya yang tidak lagi berfungsi. Lumrah, dan tidak bisa disalahkan. Kehilangan penglihatan secara mendadak. Aku duduk dengan memperhatikan wajah Hira yang tidak lagi pucat seperti tiga  hari yang lalu. Cantik, gumamku pelan sambil membenarkan letak selimut Hira. Aku duduk di samping tempat tidur Hira. Hari ini, Harun akan mengadakan beberapa tes untuk melihat berapa besar kemungkinan mata Hira dapat kembali sembuh. Meskipun kemungkinan untuk sembuh itu hanya ada beberapa persen saja, aku akan menyuruh Harun untuk mencarikan dokter terbaik yang bisa menyembuhkan Hira.Sentuhan lembut di tanganku membuatku terjaga dari lelapku. Aku tanpa sadar membiarkan rohku menjelajah dunia lain karena k
Magbasa pa
Sakit Di Sudut Terdalam
Baru saja aku memasukkan satu suapan ke dalam mulutku, terdengar dering ponselku. Aku melihat nama pemanggil. Erick. "Halo," jawabku sambil berusaha menelan isi di dalam mulutku dengan sedikit tergesa. "Kalau tidak ada perubahan, hari ini pulang. Langsung saja ke kastil, lakukan semua persiapan. Mungkin Hira akan aku bawa kesana." Kumatikan ponsel itu, lalu kulanjutkan lagi makan siangku. Aku merasa Ibu terus mengawasiku. Beliau tampak tersenyum dalam sendu. Aku menghentikan suapanku, melangkah mendekat ke arahnya. "Ada apa,Bu?" Aku duduk bersimpuh di depannya. Dibelainya rambutku, sama seperti waktu aku kecil dulu, hal yang dilakukan Ibu bila tiba-tiba  teringat Ayah. Aku tahu. Beliau sedang menangis dalam diam, sambil terus mengusap rambutku, berulang membenarkan letak rambutku. Aku hanya diam dan terus menikmati belaiannya.  "Ayo cepat dihabiskan makannya. Nanti Hira kamu suapin juga." Titah Ibu menghentikan usapan di rambutku lal
Magbasa pa
Tempat Rahasia
Aku menatap buku-buku jari tangan dokter muda dihadapanku, yang saling terkait satu dengan yang lain. Aku memang sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk dari perkembangan penglihatan Hira. Namun, rasa kecewa tetap saja datang menghampiriku. Ingin rasanya membuang semua yang ada di depanku, tapi itupun tidak akan membawa perubahan pada Hira.  "Tapi, Hira tetap bisa pulang hari ini kan?" tanyaku menatap laki-laki berkacamata di depanku. "Bisa, Tuan. Tapi kontrol dan pengawasan akan tetap saya lakukan dengan kunjungan setiap hari," jelasnya dengan nada penuh penekanan. "Karena saya ingin lebih cepat memperoleh kepastian pengobatan yang tepat untuk Nona Hira sebelum semuanya menjadi terlambat meski kemungkinannya hanya beberapa persen saja. Terkadang yang kecil persentasenya ini bisa mendatangkan keajaiban," sambungnya. "Lakukan yang terbaik dan secepat mungkin. Bila memerlukan sesuatu, katakan saja pada Erick." Aku bangkit dari dudukku dan beranjak
Magbasa pa
Mood Buruk
Ivan berjalan dengan tertatih ke arahku. Tak tega melihatnya, aku langsung berjalan cepat menyongsongnya dan mengajaknya duduk di kursi yang ada di depan kamar Hira. Di belakangnya tampak Rony berjalan menyusul. "Mengapa kamu perbolehkan pria ini turun dari kasurnya?" tanyaku pada Alex yang baru saja sampai di dekat kursi yang barusan kami duduki. "Ah, Ivan bandel, Tuan Muda. Terus saja mengoceh ingin bertemu dengan Tuan,"Lapor Alex yang di sambut kekehan sumbang Ivan. "Kau ini. Lukamu belum sembuh benar. Jadi, jangan suka bandel. Nanti aku suruh bayar sendiri tagihan rumah sakitmu." Ancamku. Ivan langsung terdiam. "Ada apa menyusulku kemari? Jangan katakan kalau kau sudah merindukan diriku." Ivan terbatuk tapi kemudian menganggukkan kepalanya.  "Aku ditelpon Beni tadi, katanya kau tidak akan kembali ke kastil gara-gara Mr. Smith membawa anak perempuannya. Aku hanya ingin minta ijin, boleh tidak aku menyelidiki modus perempuan itu
Magbasa pa
PREV
123456
DMCA.com Protection Status