Semua Bab Malam Pertama yang Tertunda: Bab 41 - Bab 50
80 Bab
Bab. 41. Menimbang-Nimbang Keputusan
Di pertigaan jalan saat Arzan seharusnya belok ke arah kiri untuk pergi ke pasar, ia justru belok ke kanan. Dari sana ia melaju cepat karena sundulan emosi yang bergejolak, memenuhi isi kepalanya. Sesekali ia memukul setang, kesal karena harga dirinya benar-benar hilang di mata keluarga Laksmi. Namun, di sisi lain, ia merasa jahat karena sudah mengantarkan Nafisa pulang dengan alasan lain. Alasan yang belum diberitahukannya pada Nafisa.Perjalanan menuju rumah ibunya tinggal sebentar lagi. Akan tetapi, ia tak cukup sabar untuk segera sampai. Ingin bersimpuh, memohon ampun di kedua kaki wanita yang melahirkan dan mengurusnya dengan penuh ikhlas dan sabar. Ingin mengadu perihal nasib yang ternyata tidak berpihak banyak padanya.Begitu sampai di rumah Mariam yang di kelilingi pohon mangga, Arzan langsung berlari dan mencari sosok ibunya di dalam. Barulah setelah mengubek hampir ke setiap penjuru ruang, ia menemukan perempuan berharganya itu tengah membakar sampah di halam
Baca selengkapnya
Bab. 42. Emosi yang Meluap
Matahari sudah beranjak naik, memberi hawa panas dari sinarnya yang semakin terik. Namun, itu tak menghentikan keluarga Laksmi yang sedari pagi sibuk mengolah bumbu untuk memasak besok. Semakin gesit agar bisa secepatnya beristirahat.Di tengah kesibukannya, seluruh keluarga masih menghawatirkan kondisi Nafisa. Mereka takut kalau sampai adik bungsunya mengulangi hal semacam tadi. Mengamuk, atau bahkan lebih dari sekadar itu. Tak terkecuali Laksmi, wanita tua itu berulang kali masuk dan memastikan anaknya di dalam kamar.Seperti sekarang, saat Laksmi hendak menyuapi Nafisa makan. Ia membawa sepiring nasi, semangkuk sayur lodeh, dan dua potong ayam goreng dalam nampan ke kamar. Dilihatnya Nafisa masih meringkuk menghadap jendela kamar, membelakangi pintu.“Neng, makan dulu, ya.” Laksmi meletakan nampannya di sisi ranjang, cukup jauh dari kaki Nafisa. “Ibu bawa sayur sama goreng ayam.”Hening. Nafisa tak menjawab atau bergerak, bergeming menatap ke luar jendela
Baca selengkapnya
Bab. 43. Cinta yang Berduka
 “Mudah saja bagi mereka—menyimpulkan sesuatu tanpa tahu dan merasakan bagaimana hinaan dapat menghancurkan benteng pertahanan—untuk berkata sabar. Padahal, untuk bisa menerima hal semacam itu, tidak hanya sabar yang harus dipertebal. Dan, Arzan tidak memiliki apa pun untuk bisa mempertahankan kesabarannya.” ***Tiga hari terlewat sejak acara syukuran khitanan anak dari Ridho, kakak ketiga Nafisa. Selama itu pula Nafisa diam terpuruk, menunggu Arzan yang tak kunjung datang untuk membawanya kembali pulang. Tidak ada kegiatan khusus, atau mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, sampai malas mengisi perut kalau saja tidak ada janin di dalamnya. Tanpa ada teman bicara, karena kakak-kakaknya kembali pulang, sehari setelah syukuran selesai. Hanya sesekali menjawab telepon dari mereka yang menanyakan kabar, itu pun kalau Nafisa mau angkat bicara. Kalau tidak, kakaknya akan kembali menutup telepon.Dalam hati, wanita
Baca selengkapnya
Bab. 44. Semerawut
“Silakan diminum,” titah Nafisa begitu sampai di ruang tamu dan meletakkan nampan di meja.“Terima kasih, Neng.” Ustaz Zaki dan Farhat menjawabnya bersamaan sambil tersenyum. “Berhubung ada yang ingin saya katakan, ada baiknya Neng duduk dan ikut mendengarkan.”Nafisa yang semula penuh dengan semangat, tiba-tiba mengernyit heran seraya duduk di kursi bersama Asep. Ia berpikir, bertanya-tanya, apa gerangan yang akan dikatakan guru dari suaminya itu sampai terlihat tegang.Hening sesaat.Arzan yang duduk di tengah-tengah Farhat dan Ustaz Zaki terlihat tegang. Kedua tangannya menangkup, menyelip di antara lutut dengan wajah sedikit menunduk, melihat kedua kakinya yang tiba-tiba terasa lemas. Dalam hati, tak henti-henti ia memohon agar Tuhan menguatkannya, terutama Nafisa yang duduk menunggu bersama Asep.“Sebelumnya saya minta maaf karena sudah mengganggu dan merepotkan.” Ustaz Zaki mulai bicara. Tatapan
Baca selengkapnya
Bab. 45. Seolah Terhipnotis
  “Udah sadar belum?”Begitu sampai di ruang tamu, Arzan langsung mendapati satu pertanyaan dari ayahnya. Ia menggeleng, seraya kembali duduk di kursi sambil menangkup mulut. Air mukanya tiba-tiba memanas, mana kala ingat kalau Nafisa pingsan gara-gara dirinya.Ustaz Zaki menepuk pundak Arzan, menguatkannya dengan berkata, “Sabar, Zan. Doakan saja yang terbaik untuknya.”“Ya, Ustaz,” desahnya seraya menarik dan membuang napas perlahan, lalu bersandar di sandaran kursi dengan kedua tangan terkulai di atas paha. Ia memejamkan mata sejenak.Belum lama Arzan duduk di ruang tamu, kembali Asep menyusul dan duduk di hadapannya dengan raut wajah yang sama. Ayah dari empat anak itu masih terlihat cemas, khawatir akan kesehatan Nafisa. Namun, ia merasa perlu untuk menyelesaikan urusan yang tadi sempat terjeda.“Maaf, Pak Asep.” Ustaz Zaki memulai obrolan lagi. “Gimana keadaan Naf
Baca selengkapnya
Bab. 46. Sepucuk Surat
 “Melupakan bukanlah hal yang mudah dilakukan. Semakin kuat kita berusaha menghindar, semakin melekat pula kenangan dalam ingatan.”***  Suara detak jarum jam terdengar berirama. Bergerak tanpa henti, menggiring waktu ke waktu yang terasa semakin lambat, saat ingatan tiba-tiba saja memutarkan kejadian tempo kemarin, waktu Arzan datang membawa talak, lalu meninggalkanku dalam keadaan rapuh dan tak berdaya.Mengingat semua itu membuat emosinya terhadap Laksmi kian meradang. Ia sering kali menolak untuk bertemu, atau bahkan bicara dengan ibunya. Membuat Aseplah yang kerap membujuk makan, sampai mengantarnya memeriksa kandungan ke bidan desa. Kadang, ia pun memilih pergi dengan menaiki angkutan umum, saat Asep tak bisa mengantarkannya dengan motor. Seperti saat ini.Namun, beruntung, beban pikiran yang ditanggungnya selama beberapa bulan tidak mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungan. Bayinya itu berk
Baca selengkapnya
Bab. 47. Hidup Dalam Kesendirian
Dua bulan sudah Nafisa hidup dalam kesendirian. Tanpa ucapan selamat pagi, atau kecupan sebelum dan sesudah tidur. Ia hanya tinggal menunggu waktu untuk menyandang status janda, yaitu bubar idahnya jika bayi yang ada dalam kandungan dilahirkan.Namun, seperti yang sudah-sudah, ia tak kan menyerah dengan mudah layaknya membalik telapak tangan. Gagal menghubungi Arzan lewat nomor telepon yang telah diganti, ia beralih dengan mengirim pesan lewat Messenger akun Facebook. Gagal menghubunginya lewat Messenger karena diblok langsung, ia beralih lagi dengan menitipkan sepucuk surat setiap akhir pekan lewat teman wanitanya yang hendak pergi ke pasar. Entah dibaca atau tidak, tapi setidaknya, Nafisa tahu dari temannya itu kalau Arzan benar-benar menerima surat darinya.Sejak saat itu, walau tak pernah mendapat balasan, mengirim surat berisi perkembangan dari bayinya pun menjadi kegiatan rutin setiap minggu. Dengan semangat ia akan mencatat, menuliskan apa saja yang dikatakan bida
Baca selengkapnya
Bab. 48. Di Bawah Curah Hujan
Hari berganti hari, minggu ke minggu bahkan terasa seperti berbulan-bulan oleh Arzan yang tak kunjung bisa melupakan Nafisa. Terlebih saat Nafisa kerap mengirimkan surat padanya. Surat tentang bagaimana perkembangan bayi mereka. Ada rindu yang kemudian menyelusup, bersemayam di dada, sampai tak jarang membuatnya susah untuk terlelap.Seperti malam ini, setelah minggu yang lalu lagi-lagi Nafisa mengirim surat. Ia berusaha pejamkan mata, seraya tidur telentang dengan kedua kaki tumpang-tindih. Sembari memegang surat yang baru saja ia baca, setelah lama hanya membiarkannya tergeletak di meja, ia melipat kedua tangan di dada.Napasnya berembus teratur. Tenang dan nyaman menikmati bayangan yang tiba-tiba berputar dalam lamunan. Nafisa terlihat cantik dengan pakaian muslim berwarna serba putih. Mantan istrinya itu tersenyum, lalu tertawa begitu mengejar seorang anak lelaki berusia dua tahunan di sebuah taman. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya mereka berdua sampai h
Baca selengkapnya
Bab. 49. Niat Baik
"Penyesalan memang sering kali datang terlambat. Akan tetapi, menyesal jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.”***“Jadi, gimana?” Di ruang makan, Mariam kembali menyinggung soal apa yang dikatakan Arzan. Dia melirik anaknya itu sekilas sebelum kembali menyantap nasi goreng spesial buatan Fitri, dengan resep yang dulu diajarkan Nafisa.“Gimana apanya, Bu?” Farhat yang mendengarnya langsung bertanya, penasaran dengan apa yang dimaksud oleh istrinya itu. Dia menunggu, menarik tubuh dari yang semula condong ke depan dengan sikut bertumpu di atas meja, menjadi duduk tegak dan menyandarkan diri di sandaran kursi. Setelah meletakkan sendok di piring, matanya menoleh melihat Mariam.“Ini tentang Arzan, Yah.” Mariam menjelaskan. Membuat kedua anak perempuannya yang juga ada di sana mesem-mesem.“Loh, kok jadi aku?” Arzan mengangkat wajah, menatap ibu, ayah, dan kedua adiknya bergantian. Namun, ia s
Baca selengkapnya
Bab. 50. Kompak
Arzan yang melihatnya tiba-tiba berdeham. Membuat Nafisa akhirnya menarik diri, lalu tersenyum dan menangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai tanda salam untuk tamu lelakinya. Namun, belum sepat ia mengajak tamunya masuk, Laksmi muncul di ambang pintu.“Bu Mariam?” Wanita tua itu pun semringah seraya berjalan cepat, untuk menyalami kedua tamu yang sejujurnya susah lama ditunggu-tunggu. “Apa kabarnya? Mari, masuk.”“Alhamdulillah, Bu Laksmi.” Mariam menimpali, sambil melangkah masuk mengikuti si empunya rumah. “Gimana kabar sebaliknya?”Sama halnya dengan Mariam, bahkan, Laksmi terlihat jauh lebih sehat dibanding beberapa bulan yang lalu. Ibu dari Nafisa itu tampak cerah dan segar, sampai tersirat jelas aura positifnya dari setiap gerakan tubuh.“Ya, seperti ini. Alhamdulillah lagi diberi kesehatan penuh sama Allah, Bu Mariam.” Laksmi berbalik badan begitu sampai di ruang tamu. “Silakan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status