Semua Bab Married Young: Bab 11 - Bab 20
37 Bab
11. Gagal Ciuman
      Usai melangsungkan ijab qabul, sorenya aku dan Pak Arsan di boyong ke hotel yang sudah kami sepakati untuk dijadikan gedung pernikahan. Sudah berjam-jam aku dirias oleh dua perias pengantin.Duduk di depan cermin dengan dua orang yang sedang menghias diriku. Sudah berkali-kali bola mataku memutar lantaran jengah melihat penampilanku sendiri di cermin. Aku tidak suka dirias begini, lebih baik merias diri sendiri lebih nyaman dan tahu mana yang terbaik untukku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Yakali, mau jadi pengantin masa rias sendiri.“Mbak, udah belum sih? Saya pegal ini!” keluhku pada dua orang perias, berjenis kelamin perempuan.“Sebentar lagi, Mbak. Sabar ya...” jawab salah satunya, sedang fokus mencepol rambut pendekku. Mungkin dia agak kesulitan karena tambutku kependekan.“Lagian, resepsinya kan masih beberapa jam lagi! Kenapa saya harus di rias sekarang co
Baca selengkapnya
12. Siapa Dia?
  Lepas satu minggu, aku, Mas Arsan dan Alin menginap di rumah Mama, hari ini kami akan pindah ke rumahnya Mas Arsan. Aku baru tahu semalam, kalau Mas Arsan ternyata sudah punya rumah sendiri. Kukira dulu dia dan istrinya tinggal di rumah Mama mertua.“Alin, kamu mandi dulu gih, aku mau beresin barang-barang dulu.” kataku pada Alin yang kini masih santai berguling-guling di tempat tidur. Sedang Mas Arsan, dia sudah lebih dulu ke rumahnya untuk mengangkut barang-barang secara bergantian.“Alin nggak mau mandi disini!”Mulutku komat-kamit mendengar tukasannya. Di rumahku saja dia berani membangkang, gimana kalau di rumahnya dia sendiri? Mungkin aku akan dijadikan babunya.“Yaudah terserah, paling juga Ayah kamu bakal marahnya ke kamu bukan aku.” kataku menantang.Kulihat dia bergegas turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Senyumku melebar. Dengan ancaman, dia akan luluh.
Baca selengkapnya
13. Ngerumpiin Hanna
    “Aku mau berangkat sekolah sama Teh Hanna!” Alin berteriak semakin keras ketika Mas Arsan melarangnya untuk jangan merepotkan Hanna.Namun anak itu bersikeras ingin berangkat sekolah dengan Hanna dan bukannya denganku yang menjadi Ibunya.“Iya, iya... Teteh anter kamu sekolah. Sekarang, mandi ya?” ucap Hanna.Si Alin langsung antusias. Dia turun dari meja makan dan berlarian masuk ke kamar.“Han, apa nggak merepotkan nunggu Alin sampai pulang? Kamu harus jaga butik, kan?” ujar Mas Arsan. Dari suaranya, menurutku sangat ramah. Berbeda jika sedang berbicara denganku, agak terpaksa dan ketus. Membuatku memutar bola mata dan lebih memilih menulikan pendengaran.Kepala Hanna tergeleng dengan senyum tidak pernah luntur pada bibirnya. Kenapa dia murah senyum sekali dengan suami orang? Mau nikung? Uh!“Nggak kok, Mas. Ada karyawan juga.” jawabnya.
Baca selengkapnya
14. Pertengkaran Alin
     Hari ini, jadwalku untuk pergi ke rumah Mama. Sebenarnya bisa saja aku kesana sebulan sekali, tapi Mas Arsan memintaku untuk dua minggu sekali, harus di sempatkan. Aku hanya menuruti ucapannya saja tanpa mau membantah, walau dalam hati kesal setengah mati. Bagaimana tidak kesal, dia menyuruhku untuk berkunjung ke rumah Orangtuaku tapi dirinya sendiri tidak ikut.Dan, disinilah aku sekarang. Usai menjemput Alin, tujuanku langsung ke rumah Mama. Mataku terus mewanti-wanti kegiatan Luna dan Alin yang tengah asyik bermain masak-masakan dibawah karpet, sedang aku duduk diatas sofa. Jujur saja, aku takut mereka akan bertengkar. Pasalnya keduanya sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah.Ponselku berdering nyaring diatas sofa. Segera aku meraihnya dan melihat nama Mas Arsan tertera di layar ponsel, dia menelfonku.“Halloo?” sapaku.“Assalamualaikum,”
Baca selengkapnya
15. Baikan
      Mas Arsan masih marah padaku sampai detik ini. Padahal kejadiannya sudah lebih dari tiga hari. Selama tiga hari itu pula, kami jarang bicara. Sebenarnya sudah menjadi hal biasa jika aku dan Mas Arsan jarang bicara, tapi kali itu aku merasa sanggat canggung secanggung-canggungnya.Bahkan dia lebih sering berlama-lama duduk di kursi kerjanya sampai larut malam. Aku yang menunggunya di tempat tidur sambil menjaga Alin sampai ikutan mengantuk dan akhirnya tidur. Padahal setiap akan tidur, ada beberapa hal yang mau aku bicarakan padanya. Tapi dia selalu saja menghindar dengan melarutkan malamnya di kursi kerja sambil menunggu aku tidur duluan baru dia beranjak dari duduknya dan ikut tidur.Bagun tidur pun begitu. Dia sengaja mengawalkan alarmnya dan solat subuh sendiri, padahal biasanya kami solat subuh dan maghrib selalu berjamaah.Sarapan apalagi! Jika disuruh sarapan pasti alasannya s
Baca selengkapnya
16. Parasit
      Dulu, waktu masih duduk di bangku pendidikan, aku sangat menanti-nanti tanggal merah tiba. Karena disaat tanggal merah, sekolah akan di liburkan. Tapi untuk sekarang, hari ini, Jum'at, 25 April, aku jadi benci tanggal merah.Mungkin aku tidak akan sebenci dan semarah ini pada tanggal merah, kalau saja hari ini si Han—, ah aku malas untuk memanggil namanya, anggap saja dia si pelakor sok alim itu tidak berkunjung ke rumah Mas Arsan. Masih mending berkunjungnya mengingat waktu, lah ini! Pukul tujuh pagi dia sudah datang dan membawa buah tangan yang isinya bubur untuk sarapan.Aku yang pagi ini sudah membuat sarapan, jadi nambah naik pitam. Alhasil sarapan buatanku di abaikan oleh Mas Arsan dan Alin. Mereka lebih memilih menyantap bubur pemberian Han—, ah... Si pelakor sok alim, maksudku. Akhirnya aku ikut memakan bubur sambil menatap sendu pada nasi goreng sosis buatanku.“Buburnya be
Baca selengkapnya
17. Cemburu?
Menjelang sore, Hanna berpamitan untuk pulang. Dia tidak pulang sendirian, melainkan bersama Alin pula. Karena hari ini jadwalnya anak ingusan itu untuk tidur di rumah neneknya. Kini aku dan Mas Arsan tengah mengantar Hanna dan Alin ke dalam mobil."Jangan nakal, nanti minggu sore Ayah jemput." ujar Mas Arsan pada Alin, sebelum akhirnya masuk ke mobil Hanna."Nggak usah, Mas. Biar nanti Hanna antar pulang Alin." si Hanna menimpali.Kepalaku sontak menoleh padanya. Dia tersenyum tulus ketika selesai mengatakan itu. Seolah dia adalah manusia terbaik di dunia ini. Bukan senyumnya yang membuatku naik darah, melainkan matanya! Matanya menatap Mas Arsan dengan penuh rasa ingin. Ingin memiliki. Dia lakik gue, oy!"Memangnya kamu nggaka sibuk, Hann?" tanya Mas Arsan."Sore aku luang kok. Yaudah kita berangkat sekarang, ya. Wasalamualaikum."Ketika mobil Hanna sudah mulai menghilang dari pek
Baca selengkapnya
18. Broken Heart
       Tubuhku bergidik kegirangan ketika sekelebat bayangan perbuatan Mas Arsan semalam mampir pada pikiranku. Tidak bisa kupungkiri bahwa ciumannya memang memabukkan. Bukan lagi, bokk. Dia duda, jelas sekali dalam caranya menciumku, sangat lihai dan teratur. Tidak sepertiku yang ketika di ciumnya hanya terdiam membeku macam Patung. Semalam aku dan Mas Arsan akhirnya tidur satu ranjang, itupun dia memaksaku. Dan, kalian tahu? Selama malam itu aku sama sekai tidak bisa tidur bahkan memejamkan mata dalam waktu lebih dari 30 menit saja tidak bisa. Semua itu karena ulahnya yang tiba-tiba menciumku. Aku yang baru kali pertama berciuman bibir, jelas syok. Tapi tidak apa-apa. Aku suka ciumannya. Yah, walaupun tidak bisa kubalas dan kuimbangi. Karena memang aku tidak bisa berciuman bibir. Tidak tahu caranya, lebih tepatnya. Selain bodoh dalam mengendarai, aku juga bodoh dalam hal-hal romantis. Apa si
Baca selengkapnya
19. Bertemu Dengannya
      Mataku terbuka lebar, lagi-lagi ruangan serba putih yang kulihat. Aku bosan di tempat ini, aku ingin di rumah saja. Tapi semua orang tidak tahu keinginanku. Berbaring lemah di bangkar Rumah Sakit, itulah kegiatanku tiga hari terakhir ini.Ya, aku di rawat di Rumah Sakit. Bukan karena apa-apa, aku baik-baik saja. Hanya keluargaku yang terlalu berlebihan menanggapi pingsan yang aku alami hari lalu.Setelah pertengkaranku dengan Mas Arsan kala itu, aku memang memutuskan untuk pulang ke rumah. Menginap di rumah selama empat hari. Dan selama itu pula aku tidak pernah keluar dari kamar. Sekedar untuk makan pun tidak. Aku sama sekali tidak makan apapun di kamar dan itu berlangsung selama empat hari. Hingga akhirnya aku dehidrasi. Untungnya para kakak laki-lakiku mendobrak pintu kamarku hingga aku kini berada di Rumah Sakit.Mengenai Mas Arsan, lelaki yang sudah membuat hatiku terombang-amb
Baca selengkapnya
20. Pulang
Alhasil akhirnya aku memilih pulang. Lagian, Mas Arsan sudah tahu aku ada dimana. Jadi daripada berlama-lama di Rumah Sakit mending sekalian pulang. Yah, walau setengah hati. Karena aku masih malas dengannya."Kamu masih marah sama saya?" tanya Mas Arsan. Melirik secuil padaku lantas kembali fokus pada jalanan.Segala pake tanya, lagi! Suka banget sih, sama basa-basi? Malas menjawab, aku lebih memilih menatap jalanan lewat kaca samping. Jujur saja, sampai saat ini aku masih terheran-heran sama dia. Kapan sih, dia bilang minta maaf padaku? Kapan?Ya, aku tahu jika perminta maafannya juga tidak akan bisa membuat semua kembali semula, tapi kan setidaknya bisa membuat gejolak amarah dalam hatiku jadi agak mengecil. Dia terlalu gengsi sebenarnya, sama kayak Alin."Lusa saya mau ke Jogjakarta, karena harus mengurus cabang restoran yang sebentar lagi akan dibuka." Mas Arsan kembali berceloteh.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status