Menjelang sore, Hanna berpamitan untuk pulang. Dia tidak pulang sendirian, melainkan bersama Alin pula. Karena hari ini jadwalnya anak ingusan itu untuk tidur di rumah neneknya. Kini aku dan Mas Arsan tengah mengantar Hanna dan Alin ke dalam mobil.
"Jangan nakal, nanti minggu sore Ayah jemput." ujar Mas Arsan pada Alin, sebelum akhirnya masuk ke mobil Hanna.
"Nggak usah, Mas. Biar nanti Hanna antar pulang Alin." si Hanna menimpali.
Kepalaku sontak menoleh padanya. Dia tersenyum tulus ketika selesai mengatakan itu. Seolah dia adalah manusia terbaik di dunia ini. Bukan senyumnya yang membuatku naik darah, melainkan matanya! Matanya menatap Mas Arsan dengan penuh rasa ingin. Ingin memiliki. Dia lakik gue, oy!
"Memangnya kamu nggaka sibuk, Hann?" tanya Mas Arsan.
"Sore aku luang kok. Yaudah kita berangkat sekarang, ya. Wasalamualaikum."
Ketika mobil Hanna sudah mulai menghilang dari pek
Tubuhku bergidik kegirangan ketika sekelebat bayangan perbuatan Mas Arsan semalam mampir pada pikiranku. Tidak bisa kupungkiri bahwa ciumannya memang memabukkan. Bukan lagi, bokk. Dia duda, jelas sekali dalam caranya menciumku, sangat lihai dan teratur. Tidak sepertiku yang ketika di ciumnya hanya terdiam membeku macam Patung.Semalam aku dan Mas Arsan akhirnya tidur satu ranjang, itupun dia memaksaku. Dan, kalian tahu? Selama malam itu aku sama sekai tidak bisa tidur bahkan memejamkan mata dalam waktu lebih dari 30 menit saja tidak bisa. Semua itu karena ulahnya yang tiba-tiba menciumku. Aku yang baru kali pertama berciuman bibir, jelas syok.Tapi tidak apa-apa. Aku suka ciumannya. Yah, walaupun tidak bisa kubalas dan kuimbangi. Karena memang aku tidak bisa berciuman bibir. Tidak tahu caranya, lebih tepatnya.Selain bodoh dalam mengendarai, aku juga bodoh dalam hal-hal romantis. Apa si
Mataku terbuka lebar, lagi-lagi ruangan serba putih yang kulihat. Aku bosan di tempat ini, aku ingin di rumah saja. Tapi semua orang tidak tahu keinginanku. Berbaring lemah di bangkar Rumah Sakit, itulah kegiatanku tiga hari terakhir ini.Ya, aku di rawat di Rumah Sakit. Bukan karena apa-apa, aku baik-baik saja. Hanya keluargaku yang terlalu berlebihan menanggapi pingsan yang aku alami hari lalu.Setelah pertengkaranku dengan Mas Arsan kala itu, aku memang memutuskan untuk pulang ke rumah. Menginap di rumah selama empat hari. Dan selama itu pula aku tidak pernah keluar dari kamar. Sekedar untuk makan pun tidak. Aku sama sekali tidak makan apapun di kamar dan itu berlangsung selama empat hari. Hingga akhirnya aku dehidrasi. Untungnya para kakak laki-lakiku mendobrak pintu kamarku hingga aku kini berada di Rumah Sakit.Mengenai Mas Arsan, lelaki yang sudah membuat hatiku terombang-amb
Alhasil akhirnya aku memilih pulang. Lagian, Mas Arsan sudah tahu aku ada dimana. Jadi daripada berlama-lama di Rumah Sakit mending sekalian pulang. Yah, walau setengah hati. Karena aku masih malas dengannya."Kamu masih marah sama saya?" tanya Mas Arsan. Melirik secuil padaku lantas kembali fokus pada jalanan.Segala pake tanya, lagi! Suka banget sih, sama basa-basi? Malas menjawab, aku lebih memilih menatap jalanan lewat kaca samping. Jujur saja, sampai saat ini aku masih terheran-heran sama dia. Kapan sih, dia bilang minta maaf padaku? Kapan?Ya, aku tahu jika perminta maafannya juga tidak akan bisa membuat semua kembali semula, tapi kan setidaknya bisa membuat gejolak amarah dalam hatiku jadi agak mengecil. Dia terlalu gengsi sebenarnya, sama kayak Alin."Lusa saya mau ke Jogjakarta, karena harus mengurus cabang restoran yang sebentar lagi akan dibuka." Mas Arsan kembali berceloteh.
Ketika mataku terbuka diesok hari, pemandangan kamar Alin bukanlah yang aku lihat melainkan kamar Mas Arsan. Dahiku mengernyit bingung. Semalam aku benar-benar tidur di kamar Alin, bahkan aku mengunci kamar Alin, karena saking marahnya pada Mas Arsan. Tapi, kenapa sekarang aku ada di kamar sialan ini?Mas Arsan jelas tidak bisa masuk ke kamar Alin dan membopongku pindah kesini. Tidak mungkin juga dia membobol pintu kamar Alin. Aku jelas tidak sepenting itu di hidupnya. Memang, siapa aku? Hanya wanita yang terpaksa dia nikahi karena kasihan pada Orangtuaku.Sekelebat bayangan kejadian semalam kembali menghampiriku. Masih teringat jelas ketika dia berkata dengan nada tinggi dan tiba-tiba menciumku kasar namun tanpa nafsu. Saat itu telah benar-benar dia lakukan, aku berfikir bahwa Mas Arsan adalah lelaki terkasar dalam hidupku. Bahkan, saat aku masih ada hubungan dengan Arman dulu, dia tidak pernah sekalipun m
Ini sudah lebih dari enam jam Alin menangis karena sakit gigi dan juga kepergian Ayahnya. Aku sendiri sudah muak dengan suara tangisnya. Dia sama sekali tidak mau berhenti sedetikpun. Kalaupun capek, suara tangisnya hanya sesekali memelan lalu kembali mengglegar.Ah! Seharusnya aku tidak perlu memberitahu Alin mengenai kepergian Mas Arsan ke Jogja. Pasti keadaannya tidak akan seperti ini. Alin tidak akan menangis selama ini. Suara tangisnya itu, lhoh!Seperti sekarang ini, suara tangis Alin sedang dalam volume rendah. Mungkin dia lelah. Lagian, dari bangun tidur pukul empat sore sampai sekarang nangis terus! Gimana nggak lelah, coba? Kulihat juga bibirnya sudah membengkak. Entah bagaimana matanya, karena Alin memangis dengan mata tertutup.Posisi Alin saat ini tengah berada di gendonganku. Bajuku yang belum ganti dari pagi sudah basah karena air mata dan ingusnya. Tapi aku abaikan
Berkali-kali aku mendecak bibir dengan sebal. Rasa nggak nyaman sekaligus malu kurasakan sejak bangun tidur. Kuhela napas setenang mungkin agar tubuh menjadi lebih baik. Entahlah, sejak bangun tidur dan menyadari bahwa semalam aku melakukan nafkah batin dengan Mas Arsan rasanya agak.. nggak nyaman. Aku heran pada diriku sendiri. Tidak mengerti dengan perasaan tidak nyaman ini.Sekali lagi aku menarik napas dalam dan kulepas pelan-pelan, lantas meraih cangkir teh di meja. Saat ini aku tengah duduk santai di kursi teras rumah“Hari ini kita pulang.”Tubuhku terkejut mendengar suara berat yang datang tiba-tiba itu. Hampir saja cangkir yang kugenggam melayang sia-sia. Untungnya aku segera menetralkan tubuh kembali. Dengan sedikit kemarahan, kutoleh kepala kearah sumber suara. Mas Arsan berdiri di samping. Tubuhnya sudah mengenakan pakaian santai, dia terlihat segar mungkin habis mandi.
Niat hati awalnya mau masak mie instan, tapi setelah membuka laci dapur disana sama sekali nggak ada makanan instan. Satu mie pun nggak ada. Aku lupa, kalau tadi siang cuma masak bahan makanan sisa-sisa di kulkas.“Kamu sedang apa?”Ah, lagi-lagi suara itu! Setelah mengomel tanpa suara, sambil berbalik badan aku memutar bola mata. Jengkel. Ya, kenapa sih dia selalu bicara tiba-tiba? Selalu!“Mau masak mie tapi nggak ada!” ketusku.“Makan malam diluar, mau? Sekalian belanja isi kulkas.” katanya.Kalau bukan karena perut udah lapar nggak ketulung, aku ogah menganggukan kepala. Duh!“Ayo,” tanpa kata lain dia menarik tanganku, membawaku keluar dari rumah.“Tapi aku belum ganti baju... Masa ke supermarket pake kaos begini, nanti dikira aku tuh jalan salam om-om.” cerocosku sambil terus berusaha melepas cekalan tangannya di per
Senyum bahagiaku belum luntur barang sedikitpun. Terserah mau bibir jadi kering atau dibilang kayak orang gila, aku nggak peduli. Yang penting aku senang. Senang karena sudah membuat Hanna pulang dari rumah ini.Yak, beberapa menit lalu, setelah dia menangkap basah aku dan Mas Arsan sedang ciuman, dia langsung pamit pulang. Nggak langsung sih sebenarnya, Hanna bantu aku cuci gelas dulu terus dia pamit. Katanya sih mau ke Surabaya, melihat butiknya yang lagi ada masalah.Berbeda denganku yang sekarang lagi bahagia, Mas Arsan sedang kebingungan sejak tadi karena harus mencari jawaban pas untuk pertanyaan Alin yang menanyakan mengenai kejadian tadi, waktu Mas Arsan sedang berduaan denganku.“Ayah.. jawab dong! Kok diem terus...!” Alin mulai merengek. Ini bukan kali pertama dia merengek, daritadi dia bahkan berteriak didepan Ayahnya yang tak kunjung memberi jawaban.Aku jadi k