Semua Bab My Pain Killer: Bab 51 - Bab 60
77 Bab
Memupus Bimbang
Tidak ada penolakan atau keberatan yang ditunjukkan Papa ketika Ares meminta restu. Rasanya bagai sebuah keajaiban. Ini seperti sebuah mimpi. Bahkan ketika Mama membiarkanku menghabiskan waktu berdua dengan Ares pun rasanya bagai sesuatu hal yang mustahil yang terjadi.Setelah mengurus tiket untuk keberangkatanku ke Jakarta besok, aku menyempatkan diri untuk mengajak Ares untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kota kelahiranku. Mengajaknya menikmati kuliner khas daerahku. Hal yang tak sempat kulakukan ketika dulu Rio datang ke kotaku dan meminta restu, sama seperti yang Ares lakukan saat ini. Di sepanjang perjalanan, kulihat wajah Ares tersenyum semringah. Rasanya baru kemarin dengan berat hati harus melepaskannya ketika dia menyerah dengan perasaannya. Kini kami kembali bersama. Memulai kembali petualangan baru yang membuat jantungku berlompatan tak karuan seperti saat bersamanya dulu.Ah! Ternyata hatiku
Baca selengkapnya
Harta Yang Paling Berharga
Ketakutan itu kembali muncul. Bagaimana jika sebenarnya Ares bukan orang yang tepat mendampingiku. Bagaimana jika sebenarnya Tuhan sudah memberi sinyal padaku enam tahun yang lalu, bahwa Ares memang tak layak untuk menjadi mendampingiku.Dia masih belum mampu melepas luka masa lalunya. Bagaimana mungkin dia akan mampu membantuku untuk mengobati luka masa laluku? Kami dua orang yang sama-sama membawa luka. Akankah sanggup melewati ujian yang lebih berat ketika berumah tangga kelak?"Nggak, gue anter ke hotel," tolaknya. Kali ini kecepatan mobilnya telah berkurang. Lalu kembali hening. Hanya suara deru ban mobil menjejak aspal, yang terdengar. Beruntung jalanan kali ini tidak terlalu macet, hingga tak perlu terjebak lama-lama dengan laki-laki yang tengah berjuang keras meredakan emosinya itu.*****Ares mengantarku ke hotel yang terletak tak jauh dari lokasi kantor rumah produksi yang menawarkan kerjasama pe
Baca selengkapnya
Menyelesaikan Masa Lalu
Lelah menjejak jelas di wajah Ares ketika dia datang menjemputku ke rumah Mama Yasmin. Kantung matanya menghitam dan sedikit sembab. Namun ia tetap berusaha menyembunyikannya dibalik senyum. "Kamu kurang tidur?" tanyaku khawatir."Iya, mikirin lo," sahutnya dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas, berusaha terlihat biasa."Res, aku minta maaf. Karena menganggap masalahmu sepele. Aku memang nggak ngerti gimana perasaan kamu tempo hari ...."Nggak apa-apa, Li. Kejadiannya sudah sembilan belas tahun yang lalu, harusnya gue sudah bisa berdamai dengan masa lalu. Padahal kemarin gue yang sok bijak ngajarin lo buat saling menguatkan," potongnya dengan senyum lemah."Sekarang, kamu beneran udah siap?" Aku menatap lekat wajah lelah yang berada di belakang kemudi.Ares mengangguk pelan."Harus. Gue nggak mungkin terus-teru
Baca selengkapnya
Satu Kepingan Puzzle
Ruangan seluas lima meter persegi ini mendadak senyap. Hanya bunyi detak pendulum jam antik di sudut ruang keluarga yang terdengar memecah sunyi. Tante Elisa berkali-kali menarik napas, membuangnya perlahan, seperti tengah mengumpulkan keberanian. Dia mengusap ujung mata dan ujung hidung yang telah memerah. "Ada hal yang perlu kalian ketahui ketika nanti menjadi orangtua." Tante Elisa mulai berbicara."Apalagi setelah menjadi orangtua. Tidak serta merta semua menjadi indah ketika kalian dikaruniai seorang anak. Justru terkadang dari sana lah dimulai tantangan sebenarnya dalam berumah tangga." Tante Elisa kembali menyusut airmatanya.Kali ini Ares mulai mengangkat wajah, menatap perempuan yang telah melahirkannya dengan wajah yang terlihat penuh kerinduan. Aku merasa bahwa Ares tak sepenuhnya membenci Tante Elisa. Kurasa kerinduan yang telah menumpuk sekian tahun, membuatnya berubah
Baca selengkapnya
Selamat Tinggal
Separuh beban terasa terangkat begitu aku melangkah keluar dari area pemakaman bersama Ares. Angin bertiup pelan ketika kami beberapa langkah meninggalkan kavling tempat peristirahatan Rio. Seolah mengucapkan salam selamat tinggal pada duka yang selalu terpatri setiap kali aku ke sini. Aku kembali menoleh ke belakang, menatap makam Rio dengan mengulas senyum. Terima kasih sudah mencintaiku begitu dalam, Rio, bisikku sebelum mengikuti langkah panjang Ares. "Sudah sampai mana progres proyek movie-nya, Li?" tanya Ares setelah beberapa lama kami saling diam semenjak keluar dari area pemakaman. "Minggu depan rencana mau tahap audisi talent." Aku mengulas senyum. Lagi-lagi semua terasa bagai mimpi. Ares ada di sampingku seperti harapanku sebelum bertemu Rio. Mengobrol tentang bakat yang dulu
Baca selengkapnya
My Pain Killer
"Itu tadi siapa, sih?" tanyaku sambil meletakkan potongan daging ke atas pemanggang yang ada di meja kami.  Semenjak bertemu dengan laki-laki di depan restoran Jepang tadi, Ares tak banyak bicara. Wajahnya tampak sedikit gusar. Tidak seperti Ares yang kukenal biasa. Caranya menggandeng tanganku juga terasa berbeda. Bahkan tak sekalipun dia menoleh padaku ketika berbicara.  "Nggak usah dibahas," ketus Ares ikut menyiapkan menu makan siang kami.  "Apa kamu memang merasa aku bekas Rio, makanya jadi ngerasa keganggu?" tanyaku sambil masih menyibukkan diri menyiapkan menu makan siang kami. Pertanyaan yang sedikit banyak membuat hatiku ciut. Khawatir Ares juga menganggap hal yang sama dengan orang yang tadi menegur kami.  Kulir
Baca selengkapnya
Ke Bandung Aku Kembali
Jam menunjukkan pukul 21.15 ketika mobil yang dikendarai Ares berhenti di depan kafe yang menjadi tempat kenangan kami dulu. Tidak banyak yang berubah, kecuali jumlah meja luar ruang yang makin bertambah.     Halaman yang dulu dijadikan lahan parkir, berubah menjadi tempat menerima pengunjung dengan payung-payung berwarna-warni yang digantung pada seutas kawat menghiasi bagian atasnya. Tak ketinggalan lampu-lampu kecil digantung dari dahan pohon sekitar kafe, terlihat seperti tetesan air hujan. Menambah semarak halaman tempat tersebut. Area parkir pengunjung dialihkan ke halaman rumah yang terdapat di samping kafe. Tak ada kendaraan roda dua yang menumpukan di halaman depan seperti dulu.      Kang Hilmi menyambut dengan wajah semringah ketika kami memasuki ruangan kafe. Seperti halnya suasana tempat itu, wajah pemilik ya pun tidak banyak beru
Baca selengkapnya
Hapus Ragumu
"Kita langsung ke penginapan aja?" tanyaku saat Ares memutar kemudi mobil ke arah berlawanan."Masih mau jalan dulu?" tanya Ares menoleh padaku."Ng-nggak, sih.""Nggak apa-apa kalau mau keliling dulu, masih belum terlalu malam," tukas Ares melambatkan laju mobil."Langsung nyari penginapan aja deh, udah ngantuk juga," pungkasku, karena kedua mata sudah terasa memberat. Halaman depan penginapan yang kami tuju tidak seramai penginapan yang berada di jalan utama. Hanya terdapat beberapa mobil yang terlihat terparkir di halamannya yang tidak terlalu luas tersebut. Bangunannya pun terlihat sederhana, hampir menyerupai rumah dengan penerangan yang tidak terlalu memadai di halamannya. Saat memasuki lobi, tak seorang pun yang terlihat di meja tinggi yang biasa dipergunakan oleh resepsi onus penerima tamu. Set
Baca selengkapnya
Tuhan Tidak Adil
Ares menarik rem tangan mobil sebelum mematikan mesin, ketika mobilnya berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua dengan desain minimalis, tetapi terlihat anggun. Pekarangan kecil rumah bercat putih itu dihiasi aneka kaktus dalam berbagai ukuran. Sebuah city car terparkir di carport yang terletak di samping pintu masuk.   Suasana lingkungan yang tenang, udara pegunungan yang sejuk dengan latar langit biru menambah kesan tenang pada rumah mungil itu. Aku mencari bel yang dulu terdapat di samping pintu pagar. Rupanya benda itu sudah tak lagi ada di sana. Digantikan oleh lonceng yang biasa kulihat dikalungkan pada leher kerbau di kampungku.   Setelah beberapa kali membunyikan lonceng yang terdengar agak berisik itu, pintu rumah bercat putih itu terbuka. Senyum semringah mengiringi langkah perempuan berbadan dua yang  baru saja keluar dari rumah tersebut.   "Lia! Kok nggak ngabarin mau ke sini?" pekik perempuan terseb
Baca selengkapnya
Yang Terlupakan
"Kok malah manyun?" Suara Ares membuyarkan lamunanku akan rasa iri yang terselip pada sosok cantik kakak iparku itu.   "Aku udah nggak percaya sama kata-kata tak ada manusia yang sempurna, Res," sahutku lirih mengalihkan tatapan dari luar jendela ke arah Ares. Wajah Ares tampak begitu bercahaya tertimpa matahari sore ini.   "Kenapa lagi, nih?" tanya Ares tertawa pelan, matanya masih terus memperhatikan jalanan di depan.   "Itu buktinya, Kak El. Sudahlah cantik, otak pinter, punya pekerjaan yang bergengsi, baik pula. Sempurna banget kan?" Kali ini aku memutar tubuh menghadap Ares.    "Terus, apa yang bikin lo manyun?" Ares mengerutkan keningnya. Menatap sekilas padaku seakan mencari jawaban dari kalimatku barusan.   "Kebalikan sama aku, Res. Sudahlah IQ mendekati jong
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status