All Chapters of My Pain Killer: Chapter 21 - Chapter 30
77 Chapters
Kepingan Puzzle
Warna jingga telah memenuhi langit ketika kami memasuki area mall. Gugusan awan tipis kelabu membuat jingganya terlihat lebih berwarna. Sebenarnya aku tak begitu menyukai senja. Karena ia mengingatkanku akan sebuah kepasrahan. Tak peduli betapa kuatnya sang mentari membakar siang, pada akhirnya dia pasrah untuk takluk pada malam yang menenggelamkan cahayanya. Sama seperti diriku, tak peduli seberapa kuatnya keinginanku untuk terus menggambar, pada akhirnya aku harus pasrah menjadi anak yang disisihkan karena tak dapat mewujudkan harapan kedua orangtuaku."Damn! Keduluan lagi!" Suara Rio menyentakkanku. Meninggalkan kilasan kekecewaan di balik lembayung senja.Sore ini pengunjung mall sepertinya cukup ramai. Terlihat dari tempat parkir yang hampir semuanya terisi penuh. Kulirik wajah Rio, ia terlihat sedikit gusar. Entah putaran keberapa kali yang dia lakukan, masih saja belum ada lahan parkir yang kosong.
Read more
Apakah Akan Baik-baik Saja?
Aku mengerjap tak percaya menatap isi dus pemberian Rio. Seperangkat pen tablet seri terbaru. Gadget yang berfungsi sebagai alat untuk menggambar ilustrasi yang nantinya dihubungkan pada komputer. Memang alat yang kuidam-idamkan semenjak beberapa bulan terakhir, untuk menunjang pekerjaanku membuat desain."Halo, By? Kenapa? Kangen, ya?" Terdengar suara Rio terkekeh menyahut dari ujung sambungan telepon setelah tiga kali aku mencoba menghubunginya."Uhm ... ini nggak salah kamu kasih aku hadiah barang mahal gini?" tanyaku mengabaikan candaannya."Itu yang kamu pengen dari kemaren, kan? Apa aku salah beli?" Dia balik bertanya."Iya, tapi ini terlalu berlebihan.""Nggak, kok, By. Itu cuma ....""Maksud aku, kamu masih belum kerja. Beliin aku barang mahal kayak gini, nggak enak sama orangtua kamu.
Read more
Hanya Butiran Pasir
Menjelang sore, kosan mulai sepi. Tania pergi bersama Bayu—pacarnya. Beberapa penghuni kos yang lain juga tampaknya menghabiskan minggu sore mereka di luar kos. Sepertinya hanya aku penghuni yang tersisa.Rio tadi mengabarkan bahwa dia akan datang ke tempatku sore, karena masih ada rapat koordinasi untuk pelaksanaan Bunkasai yang tinggal dua minggu lagi. Maka aku bebas menggunakan waktu tanpa kehadirannya.Seharian aku berkutat di depan laptop, mencoba pen tablet pemberian Rio. Sambil mendengarkan musik dan turut bernyanyi sesekali. Bahagia yang kurasa tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Benda yang telah kuidam-idamkan semenjak lama kini ada di dalam genggaman.Alat ini memang sangat memudahkanku dalam membuat desain. Rasanya seperti menggambar langsung pada kertas. Bedanya, hasil goresan tanganku langsung bisa muncul di layar laptop. Menghemat waktu dan tenaga, dan hasilnya ju
Read more
Rasa Yang Mengakar Kuat
Setelah selesai makan malam dan mengantarku kembali ke kos, Rio langsung pamit pulang. Tampaknya dia juga sudah lelah seharian mengurus segala persiapan untuk acara Bunkasai.  Biasanya, dia masih betah berlama-lama bersamaku meski sudah larut dan kusuruh pulang berkali-kali.  Rintik rinai kecil mulai turun ketika dia hendak pergi. Rio bergegas masuk mobil. Aku hanya menatapnya dari pinggiran teras yang berbatasan langsung dengan lapangan parkir. "Istirahat, ya, By. Jangan begadang lagi malam ini. Mata kamu udah kayak mata panda," ujarnya sebelum menginjak pedal gas dan mengulas senyum tipis.  "Hai, wakatta. Arigatou Rio-kun. Ja mata ashita.*" Aku menjawab dengan gaya sok imut, menirukan para cewek Jepang berbicara. "Ha-ha, sudah mulai berani ngegodain, ya!" kekehnya, kemudian melambai dan melajuk
Read more
Melepaskan
Aku baru saja hendak beranjak meninggalkan area panggung biru, ketika tanganku ditarik seseorang. Tanpa melihatnya, aku sudah tau tangan milik siapa."Res?" Aku berbalik menatap si pemilik tangan."Li, ngobrol sebentar, yuk!" Ares melepaskan genggamannya. Ekspresinya sesantai biasa. Tak terlihat canggung meski sudah lama kami tidak saling bicara. Hatiku membuncah bahagia, demi mendengar dia berbicara kembali denganku. Sudah hampir satu bulan dari terakhir kali aku berbicara dan bertatap muka dengannya. Tak pernah menyangka akan kembali mendengarnya memanggil namaku.Aku menjawab dengan anggukan. Ares mengajakku menepi dari hingarnya panggung biru, menuju selasar gedung yang menghadap taman. Dia duduk di salah satu bangku, menepuk sisinya yang kosong sambil menatapku dengan seulas senyum. Aku duduk perlahan di sampingnya, tak mau melepaskan tatapan dari
Read more
Bertemu Kak Daren
Sesuai rencana, hari ini aku bersiap menemui Kak Daren. Dia mengabarkan bahwa kereta yang ia tumpangi akan sampai di Bandung pukul dua siang. Rio sudah datang dari pagi ke tempatku. Seperti biasa, mengajak sarapan bersama dan merecokiku yang masih berkutat dengan beberapa desain yang masih belum beres."By, Kakakmu orangnya gimana?" tanya Rio tiba-tiba.Aku menghentikan kegiatanku, berbalik menghadapnya. Memikirkan kata yang tepat untuk menggambarkan Kak Daren."Uhm, standar kebanyakan anak FK, lah ya. Nggak terlalu banyak ngomong. Ngomongnya juga agak kaku. Ntar lihat sendiri, deh."Rio tercenung."Kira-kira aku bisa nyambung sama kakak kamu, nggak?" tanyanya kembali."Nggak nyambung juga nggak apa-apa. Aku aja susah nyambungnya," kekehku kembali menatap bayanganku di cermin."Tapi kok Ares bisa?" Pertanyaannya sontak membuatku membeku. Perlahan aku k
Read more
Lengan Yang Nyaman
Bandung pagi ini diguyur hujan. Membuatku makin malas untuk keluar dari gulungan selimut. Rasa hangat yang diberikannya bagai daya magis yang tak mampu kutepis. Aku benar-benar mencintai selimut lebih dari apapun untuk saat ini. Bahkan bunyi perut yang minta diisi pun kuabaikan. Aku kembali memejamkan mata, menikmati kenyamanan selimut dan kasur, sejoli yang amat kucintai. Hari ini sudah memasuki liburan semester. Aku bisa bebas seharian menikmati waktu bermesraan dengan kedua sejoli ini. Rio semalam mengabarkan bahwa dia akan menemani Kak Daren. Dan kemungkinan dia tidak akan mengunjungiku hari ini. Entah pelet apa yang dia gunakan hingga bisa meluluhkan hati kakakku yang dinginnya melebihi es di kutub utara itu. Atau malah sebaliknya? Kak Daren yang mau membuka diri karena dia merasa membutuhkan Rio. Aku tidak tau hipotesa mana yang
Read more
Wisuda Kak Daren
Rio tampak beberapa kali menyeka keringatnya, padahal pendingin udara di dalam mobil sudah diatur maksimal. Aku saja sudah menggigil kedinginan, pakaian yang kupakai juga sudah cukup tebal. Aku sengaja memilih kaos turtle neck dengan blazer berbahan semi wool untuk mengurangi rasa dingin kota Bandung pagi ini. "Kamu nggak apa-apa?" tanyaku mengusap lengannya. Hal yang jarang kulakukan, tapi melihat gelagatnya yang tak biasa, membuatku jadi khawatir."Ha-ha, aku gugup," balasnya dengan senyum kaku. Entah kemana rasa percaya diri cowok ini menguap. Selama ini dia selalu terlihat santai kemana pun kami pergi, baik ketika hendak bertemu dengan teman lama, maupun dengan orang baru. Baru kali ini kulihat wajahnya segugup ini. "Biasa aja, sih. Yang bakal kamu temui nanti manusia biasa juga, b
Read more
Dia Yang Memperjuangkanku
Suasana hening menyekap. Tidak ada yang berani angkat suara. Yang terdengar hanya suara obrolan hangat pengunjung lain dari meja sebelah kami. Di mejaku, semua sibuk dengan hidangan yang ada di piring masing-masing. Rio terlihat makin gelisah. Berkali-kali kulihat dia melirik ke arah Papa. Ini adalah acara makan siang tercanggung yang pernah kualami. Bahkan hingga semua selesai makan pun, masih belum ada yang berani berbicara meski hanya sekedar obrolan ringan seperti yang kulihat pada keluarga yang lain. Lalu, kudengar Rio berdehem pelan di sampingku. "Maaf, Om ... Tante ... mungkin ini agak terkesan lancang. Tapi saya tidak tahu kapan bisa dapat momen seperti ini lagi. Bertemu dengan keluarga lengkap Lia ...." Rio menjeda. Papa melotot, Mama seperti menahan napas. Kak Daren dan Kak Arsya berpandang-pandangan. Aku pun tak kalah tegang. 
Read more
Papa Murka
Aku mulai sekarat menunggu macet mereda. Hampir dua jam terjebak di jalan ini. Terdengar hiperbola memang, tapi rasa bosan menunggu jalanan kembali lancar itu benar-benar terasa membunuh. Kali ini, jalanan tersendat menuju putaran ke arah Dago. Terlihat Polisi lalu lintas sibuk mengatur kendaraan agar kemacetan mengurai, di tengah hujan yang makin menderas. Sudah bukan hal aneh memang, macet dan hujan bagaikan dua sejoli yang seiring dan sejalan. Pasalnya, ketika hujan datang, sebagian lampu pengatur lalu lintas tidak bekerja sebagaimana mestinya. Diperparah pengendara yang kadang tidak tertib aturan, ingin saling mendahului. "By, udah laper lagi?" tanya Rio, membuatku mengalihkan perhatian dari luar jendela ke arahnya."Lumayan." Udara dingin memang selalu membuat perut tak bisa diajak kompromi. Karena  ia membutuhkan bahan bakar lebih untuk membuat tu
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status