All Chapters of My Pain Killer: Chapter 31 - Chapter 40
77 Chapters
Masa Depan Suram
Mama berkali-kali menelpon, tapi kuabaikan. Rio menyetir dalam diam. Membiarkanku tenggelam dalam pikiran, tanpa sepatah kata tanya pun ia ucap. Aku masih sesekali terisak meredakan sesak. Rasa kesal pada Papa masih belum tuntas."Kita mau kemana?" tanyaku saat tersadar mobil Rio berbalik arah kembali ke hotel tempat orangtuaku menginap."Tadi aku udah janji mau bawa kamu balik lagi ke sana," sahut Rio tanpa menoleh padaku."Aku nggak mau!" tolakku kembali terisak.Aku merasa dikhianati. Padahal Rio tau aku sedang tak ingin bertemu mereka."By! Masalah nggak akan selesai kalau kamu menghindar seperti ini!" Suara Rio pun mulai meninggi."Jadi kamu mau nyerah? Mana katanya mau berjuang buat aku? Bullshit aja!" Aku makin tergugu.Rio bungkam, tapi tak menyurutkan niatnya untuk mengantarkanku kembali ke hotel. Justr
Read more
Bertemu Aldo
Mataku menyisiri keramaian kafe yang terdapat di salah satu sudut Cihampelas Walk. Hari ini setelah menyelesaikan bimbingan dengan salah seorang dosen pembimbing skripsi, aku memenuhi janji dengan Aldo. Aku datang sendiri, karena Rio masih berkutat dengan revisi yang akan diserahkan pada dosen pembimbingnya sore ini.Terlihat Aldo melambaikan tangannya dari salah satu meja yang terdapat di tengah ruangan kafe. Gegas kupercepat langkah. Sudah lama sekali tidak bertemu cowok berkacamata itu. Seingatku, saat di rumah sakit ketika Ares di rawat adalah kali terakhir bertemu dengannya. Penampilan Aldo sedikit berubah. Poni yang biasa menutupi keningnya dipangkas dan di tata dengan pomade dengan gaya acak. Membuat wajahnya terlihat lebih segar dari biasa. Pipinya juga terlihat lebih bulat daripada biasanya.  "Lama nungguin?" Aku menghenyakkan tubuh di kursi ya
Read more
Lulus
Setelah melewati rangkaian proses yang panjang dan melelahkan, di sinilah akhirnya aku berdiri. Menatap nanar pintu kayu berpelitur warna coklat. Setelah beberapa jam berjuang mati-matian mempertahankan hasil penelitian di hadapan para dosen penguji. Menahan diri untuk tidak terbawa emosi ketika hantaman pertanyaan demi pertanyaan di lontarkan untuk menguji keabsahan data yang kusampaikan. Kini aku menunggu dengan harap-harap cemas. Rio yang berdiri di sampingku tak kalah khawatir. Kesan optimis yang biasa tercetak di wajahnya lenyap. Begitu juga dengan beberapa orang peserta sidang lainnya. Tak ada yang bersuara, mereka seperti menahan napas. Detik pun terasa berjalan lambat. Perlahan pintu ruang sidang terbuka. Salah seorang dosen penguji keluar membawa kertas di tangannya. Dia tersenyum sekilas pada peserta sidang, dan menempelkan kertas itu pada papan pengumuman yang terdapat di depan rua
Read more
Bahagia yang Sederhana
Sesaat setelah sang perias selesai memoles wajahku, aku melihat bayangan yang terpantul di cermin. Seorang gadis yang begitu mempesona menatapku balik. Aku hampir tak mengenal gadis yang menatap dari pantulan cermin itu. Namun, wajah cantik gadis itu terlihat begitu suram. Tak ada jejak kebahagiaan yang tercetak di sana. Sorot matanya penuh beban. "Senyum, dong, Say. Nggak guna hasil make up teteh kalau kamu cemberut gitu," komentar Teteh yang meriasku. Aku mencoba mengulas senyum. Dua lengkung di ujung bibir kutarik sedemikian rupa. Dari sana, aku menyadari bahwa ternyata selama ini aku yang memilih untuk membawa beban atas segala pikiran-pikiran buruk dari ungkapan kekecewaan Papa dan Mama di dalam hati. Aku yang memilih membiarkan mereka membuatku terpuruk. Padahal jika aku mau, bisa saja semua perkataan mereka kuanggap sebagai angin lalu, yang mampu membawaku terbang
Read more
Halo Calon Mertua
Acara pertemuan keluargaku dan keluarga Kak Nadia berjalan lancar. Membuat suasana hati Papa sehari ini terlihat begitu baik. Tidak ada wajah masam yang biasa ditunjukkannya. Bahkan sampai kami mengantar mereka ke bandara, wajah Papa masih menguarkan aura bahagia.  Bagaimana tidak, mempunyai calon menantu yang cantik dan juga seorang dokter, dari keluarga terpandang. Orangtua mana yang tidak akan bahagia. Aku dan Kak Arsya baru saja keluar dari tol bandara ketika Rio menelpon."By, kamu dimana?" tanyanya begitu aku menjawab panggilan. "Baru keluar bandara habis nganter Papa.""Sampai kapan di Jakarta?""Rencana besok baru mau pulang. Kenapa?" Aku mengernyit heran. Menoleh sekilas pada Kak Arsya yang tampak ingin tahu dengan percakapanku dan Rio. 
Read more
Kami Ingin Menikah
Aku duduk gelisah di kursi ruang tunggu bandara. Rio terlihat cukup mampu menguasai rasa gugupnya dengan asyik bermain game di ponselnya. Aku juga mencoba berkosentrasi penuh, membuat beberapa sketsa untuk mengalihkan pikiran. Namun, memikirkan reaksi Papa, kembali membuatku tak tenang. Rio memaksa untuk berangkat menemui kedua orangtuaku di kampung hari ini. Dia benar-benar berusaha mewujudkan satu persatu rencana yang telah ia susun. Termasuk menemui orangtuaku untuk mendapatkan restu. Satu hal yang membuatku kehabisan kata-kata, dia benar-benar membawa perlengkapan berkemah. Satu set tenda lipat dan perlengkapannya, ia muat di dalam tas ransel besar. "Kamu serius mau bikin tenda di depan rumahku?" Tawaku pecah saat tau isi ransel yang Rio bawa."Iya, buat jaga-jaga kalau Papa kamu nggak mau kasih izin kita menikah," katanya dengan wajah serius tak terpengaruh d
Read more
Sebuah Perjuangan
Mama sudah tidak ada di ruang tengah ketika aku kembali masuk. Berjalan pelan ke arah kamarku. Berusaha untuk tidak membuat gaduh. Aku masih belum siap menerima interogasi lanjutan dari Papa malam ini. Badanku terlalu letih. Terlebih lagi sambutan dari Papa yang menyedot habis seluruh tenaga, membuatku ingin cepat-cepat merebahkan tubuh.  Aku mengurungkan niat masuk kamar. Kulihat lampu di kamar Buk Rom masih menyala. Perlahan, kuketuk pintu kamarnya yang langsung dibuka."Ibuk belum mau tidur?" tanyaku pada perempuan yang sudah kuanggap seperti pengganti Mama itu. Karena dia telah bekerja di rumah kami semenjak aku masih balita, semua kebutuhanku sehari-hari selama ini pun selalu disiapkan oleh Buk Rom."Belum. Sudah pulang tamunya?" tanyanya melongok ke arah ruang depan."Sudah. Boleh Lia masuk?" tanyaku meminta izin. "Ada
Read more
Sampai Maut Memisahkan
Penelitian mengatakan bahwa jatuh cinta bisa menyebabkan perubahan pada fungsi reseptor otak seseorang. Mungkin itu yang tengah terjadi padaku. Biasanya dalam kondisi apapun, aku tidak akan berani mengajak Papa berbicara terlebih dahulu. Sepertinya ini juga efek bahagia karena melihat perjuangan Rio untuk menaklukkan hati Papa agar bisa bersamaku.     "Pa ... Papa mau ketan sama gorengannya dulu apa mau sarapan yang lain?" Aku kembali memberanikan diri menegur Papa yang tengah serius membaca surat kabar di kursi teras depan.  Aku melihat ekspresi terkejut dari wajah Papa. Dia terdiam sepersekian detik sebelum bereaksi.  "Ketan saja. Sekalian bikinin Papa espresso. Kalau tidak bisa, suruh Buk Rom saja," sahutnya dengan nada datar. Kemudian kembali menekuri surat kabar yang ada di tangannya.  "Okay, Pa." Aku berg
Read more
Pengakuan Aldo
Pagi ini aku bangun dengan hati yang terasa ringan. Bahkan ajakan Buk Rom untuk shalat di mesjid tak kutolak. Langit masih gelap ketika kami kembali ke rumah. Udara pegunungan yang begitu segar menambah tenangnya suasana hati. Baru kali ini aku benar-benar merasa hidup, setelah sekian belas tahun hidup tertekan. "Ah, tidak terasa sebentar lagi Lia akan benar-benar pergi dari rumah," desah Buk Rom tersenyum sendu. "Baru kemarin rasanya Ibuk masih gendong-gendong Lia, kewalahan mengejar Lia yang gesitnya minta ampun. Sekarang sudah mau menikah," kenang perempuan berwajah keibuan itu dengan ujung mata yang basah. "Aah ... Ibuk, pagi-pagi sudah bikin melow aja," ujarku sambil menyusut ujung mata dengan mukena yang masih kukenakan."Ibuk ngerasa Lia sudah seperti anak Ibuk. Makanya jadi sedih kalau ingat sebentar lagi Lia benar-benar pergi meninggalkan rumah." Bu
Read more
Persiapan
Benar ternyata bahwa rindu itu berat. Sebulan sudah tak bertemu dengan Rio. Mendengar suaranya terkadang menjadi candu. Seperti ada yang kurang jika dia tidak memberi kabar. Papa masih belum mengizinkanku untuk kembali ke Bandung dan melarang untuk bertemu Rio hingga keluarganya datang untuk membicarakan hubungan kami.Menjalin hubungan jarak jauh seperti ini membuatku kehilangan setengah kewarasan. Memikirkan Rio akan berpaling, begitu menghantuiku. Khawatir jika akhirnya dia menyadari bahwa aku tak begitu layak untuk dipertahankan. Segala kekhawatiran itu membuat sikapku uring-uringan setiap kali Rio menelepon. Hal itu sering menyulut pertengkaran di antara kami. "By, hari ini aku sibuk meeting buat membenahi manajemen franchise, bukan kelayapan nggak jelas," ujar Rio mengungkapkan alasannya tidak menerima panggilanku seharian. Wajahnya terlihat gusar.
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status