All Chapters of My Pain Killer: Chapter 41 - Chapter 50
77 Chapters
Sketsa Usang
Satu masalah selesai. Lega karena mendapat dukungan dari Rio untuk mengikuti acara mentoring di Jakarta. Lalu ketika teringat harus meminta izin pada Papa mendadak harapanku pupus. Sudah pasti Papa tidak akan mengizinkan jika mengetahui tujuanku pergi ke Jakarta, berkaitan dengan hobi gambarku. Hanya tinggal dua hari lagi menjelang hari daftar ulang peserta mentoring. Aku masih kebingungan memulai percakapan dengan Papa. Setiap kali beliau pulang dari rumah sakit, wajahnya terlihat tidak bersahabat. Sehingga aku selalu mengurungkan niat untuk membicarakannya. "Kapan jadinya berangkat, By?" tanya Rio kembali ketika melakukan panggilan video malam ini."Aku belum ngomong sama Papa." Kukatakan pada Rio apa yang menjadi beban pikiranku."Coba kamu tanya aja, mana tau kali ini Papa sudah tidak terlalu saklek kayak dulu," usulnya memberi
Read more
Hari-hari Menjelang Pernikahan
"Kalian mau ke Jepang?" tanya Ares duduk di hadapan Rio. Sekilas dia menatapku lalu kembali beralih pada Rio."Iya, mau honeymoon," tekan Rio pada kata terakhir kalimatnya."Oh! Kalian sudah menikah?" Senyum yang tadinya tercetak di bibir Ares seketika sirna. Tatapannya beralih padaku.  Jika tak salah menafsirkan tatapan itu, ada kilatan kecewa yang hadir di sana. Namun, untuk apa lagi? Bukankah dia yang dulu menyerah dengan perasaannya terhadapku. Dia yang menyuruhku mencari kebahagiaanku sendiri. Lalu buat apa kecewa itu dia rasakan saat ini? "Bulan depan. Nanti datang, ya, Bro!" Rio menepuk pelan lengan Ares. "Wah, bulan depan gue balik ke Jepang. Mungkin bakal menetap sampai beres kuliah," balas Ares dengan ekspresi yang tak dapat kuartikan. "Kamu ngelanjutin kuliah di sana?" Tanpa sadar pertanyaan itu terlontar saja dari bibirku."Iya. Gue dapat beasiswa penuh," sahut Ares tersenyum ti
Read more
Aku Harap Ini Mimpi
Rindu kali ini makin terasa berat. Bagaimana tidak, bahkan hanya untuk sekedar mengetahui kabar Rio melalui pesan singkat saja, aku tak bisa. Hari ini aku sudah tak sanggup lagi menahan rindu. Satu minggu lagi menjelang hari pernikahan, rasa tak tenang membuatku melanggar aturan. Satu pesan singkat kukirim. Hanya centang satu yang muncul. Hingga sore menjelang, tanda centang tak berubah menjadi dua. Gelisah bolak-balik memeriksa ponsel, tapi hasilnya nihil. Tak ada tanda Rio membaca pesan dariku. Iseng, kucoba menghubungi nomornya, tidak aktif. Ada perasaan janggal yang kurasa. Tidak biasanya Rio mematikan ponsel seharian seperti ini. Selesai shalat magrib, tanda pesan masuk berbunyi pada ponselku. Berharap itu pesan balasan dari Rio, gegas kubuka aplikasi pesan berwarna hijau itu. Ternyata Mama Yasmin yang mengirim pesan padaku.[Lia, besok bisa berangkat k
Read more
Penyesalan
Langit makin gelap, angin bertiup semakin kencang. Aku menggigil, menahan dingin dan tangis. Baru beberapa hari yang lalu melayang begitu tinggi dengan angan-angan pernikahan kami, kini dihempaskan begitu kejam hingga ke dasar bumi. Rasanya remuk redam, tak lagi bertenaga untuk bangkit. "Lia, ayo pulang." Kembali Mama Yasmin memanggil, memaksaku untuk berdiri dan menuntunku bersama Kania menjauhi pusara Rio seiring dengan menderasnya hujan. Rasa lelah karena telah menempuh perjalanan jauh dan menghadapi kenyataan yang mengejutkan ini secara tiba-tiba, membuat kakiku tak mampu lagi untuk menopang tubuh. Seketika semua terasa gelap. Hanya suara Kania berteriak panik yang terdengar, kemudian hening. Aroma eucalyptus memenuhi indera penciumanku. Wajah Mama Yasmin yang terlihat pasi, menyambut ketika aku membuka mata. Aku mencoba bangki
Read more
Melepas Kenangan
Tiga tahun berlalu, telah banyak yang berubah dalam hidupku. Aku kembali ke kota kelahiranku, setelah rencana pernikahan dengan Rio batal. Berharap mengobati luka hati karena kehilangan laki-laki yang telah mampu meluluhkan hatiku itu. Meski pada akhirnya masih terseok-seok untuk kembali bangkit.  Papa dan Mama tidak lagi mempermasalahkan ketika aku mulai menekuni pekerjaan yang berkutat di seputar gambar. Membuat aku semakin bersemangat untuk berkarya. Dalam tiga tahun aku bisa menyelesaikan beberapa cerita komik. Tiga diantaranya telah di cetak dan meraih best seller. Namun a,da satu hal yang masih belum bisa berubah, perasaanku terhadap Rio. Masih sama seperti saat ia tinggalkan dulu. Sulit bagiku untuk melepas semua kenangan tentangnya. Meski dalam beberapa tahun ini sudah ada beberapa laki-laki yang berusaha mendekati, tapi aku masih belum mampu membuka hati. Setiap tanggal kepergiannya, aku selalu berangkat ke
Read more
Dia Kembali
Meski kesal, tapi kakiku menurut saja ketika Ares menuntun ke parkiran. Duduk dengan patuh di jok penumpang ketika cowok itu membukakan pintu mobilnya untukku. "Kita mau kemana?" tanyaku ketika meninggalkan area gedung resepsi Aldo."Makan, yuk!" ajaknya tanpa menoleh padaku."Baru juga beres makan," sahutku dengan wajah kesal. "Biasanya lo, kan, makannya banyak," balasnya cuek."Itu udah berapa tahun yang lalu, kali, sudah banyak yang berubah," sahutku ketus. Kenapa dia masih saja mengungkit masa lalu yang telah susah payah kuhapus. Meski beberapa waktu lalu, aku sudah merasa biasa saat bertemu dengannya. Akan tetapi, mendengarnya mengungkit masa lalu, seperti ada yang kembali menggeliat bangun di relung hatiku yang terdalam. "Tapi suka cemberutnya nggak beruba
Read more
Aku Takut Bangkit
Aku masih terpaku menatap layar lima inchi di tangan. Menimbang-nimbang apakah akan membalas pesan Ares, atau membiarkan saja tanpa berbalas.Akhirnya aku memutuskan untuk membalasnya. Bagaimana pun juga, dia sudah menurunkan egonya untuk meminta maaf dan memperbaiki apa yang telah terjadi di antara kami di masa lalu. [Untuk apa lagi, Res?] hanya kalimat itu yang kuketikkan. Agar tak terlihat bahwa aku menyimpan harap terhadapnya. Aku tidak mau Ares mempermainkan perasaanku kembali. Terlihat bahwa Ares sedang mengetikkan pesan balasan.[Untuk menyelesaikan apa yang pernah kita mulai,] balasnya.[Apa maksudmu? Bukankah semua sudah berakhir enam tahun yang lalu? Tidak ada lagi yang perlu kita selesaikan. Aku sudah memafkanmu dari dulu. Jadi please jangan ganggu hidupku lagi. Aku sudah tenang tanpa kamu, Res.]Tanganku bergetar ketika
Read more
Ajang Perjodohan
"Kamu egois banget, Res. Tiba-tiba saja datang, mendesakku untuk menerimamu seperti ini. Dari kemarin ngomongin masalah penyesalan kamu aja. Apa nggak mikirin gimana perasaanku?" Aku menarik tangan dari genggaman Ares. "Iya, ketakutan gue yang membuat gue jadi egois, Li." Dia terlihat begitu bersungguh-sungguh. Jika ada perlombaan manusia galau, sudah pasti aku akan menjadi pemenangnya. Di satu sisi aku masih takut untuk menerima dan melangkah maju bersama Ares. Namun, di sisi yang lain berharap momen seperti ini tak pernah berakhir. Aku masih ingin cowok yang tengah menatap penuh harap di hadapanku ini, memohon untuk bersamaku.  Sudah lama sekali aku tak merasa sehidup hari ini, hanya mengobrol sambil menikmati minuman hangat bersama seseorang dari masa lalu dengan suasana yang menenangkan. Semenjak kepergian R
Read more
Kesempatan Kedua
"Jadi ... apa ini berarti lo jawab iya buat permintaan gue tadi?" tanya Ares begitu aku kembali ke meja tempat Ares menunggu. "Hah? Belum. Aku masih harus mikirin lagi. Emangnya gampang ngebolak-balikin hati," sungutku mengalihkan tatapan ke buku menu. Mendadak jantungku kembali berlompatan tak karuan.  "Ya, mungkin karena Tuhan berkehendak kita bersama, Dia ngebalikin hati lo. Kami nomi zo shiru(hanya Tuhan yang tahu),"sahutnya dengan gaya santai dan tersenyum jail. "Nan da yo!" (Apaan, sih!) Wajahku mendadak memanas.  "Ha-ha, tadi pas lo wa minta buat ngaku jadi pacar lo aja gue dah seneng banget, Li. Pengen nerusin beneran gitu," kekehnya makin menggodaku.  "Ih, udahan, deh. Ntar kal
Read more
Hal Yang Mendebarkan
Aku langsung keluar kamar setelah menutup percakapan dengan Ares. Sayup-sayup kudengar suara Buk Rom membaca ayat suci Al-Qur'an dari kamarnya, kemudian berhenti ketika aku mengetuk pintu. Suara seraknya menyahut dari dalam menyuruhku untuk masuk. "Maaf ganggu, Buk," ucapku mengintip cari celah pintu yang sedikit terbuka."Nggak kok, ibuk juga sudah mau beres," ujarnya sambil menutup mushaf yang ada di pangkuannya.Aku masuk dan duduk di samping Huk Rom."Mama suruh Lia nganterin Ibuk ke pasar," kataku sambil memperhatikan Buk Rom menyimpan mushaf dan melipat mukenanya."Ada tamu yang mau datang?" tanya Buk Rom berbalik sambil merapikan gulungan rambut dan menutupnya dengan ciput.Aku mengangguk. "Teman Lia. Mau makan siang di sini," sahutku tak mampu menyembunyikan rasa panas yang menjalar ke pipi saat mengingat Ares."Laki-laki?" tanya Buk Rom tersenyum penuh arti.Sekali lagi aku mengangguk tak dapat menahan se
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status