Lahat ng Kabanata ng Pura-Pura Buta: Kabanata 61 - Kabanata 70
140 Kabanata
Keraguan Delia
"Sudah, jangan tegang begitu wajahnya. Santai. Sekarang kita lanjut makan dulu, setelah ini, baru kita bahas yang tadi," ucap Mama Ira tanpa beban. Dia sangat santai mengatakannya, sambil menikmati makan dengan lahapnya. Sedangkan aku, Masih dalam kebingungan. Beberapa kali melirik ke arah dokter Ryan. Dia hanya fokus ke makanan, tapi gerakannya tidak secepat tadi, lebih lambat dan kadang terhenti seperti ada yang dipikirkannya. Mungkinkah memikirkan ucapan Mamanya, sama sepertiku?   Menikah? Apakah maksudnya aku dan dokter Ryan? Ah, itu tidak mungkin. Mama Ira sepertinya sedang mengerjai kami. Pasti dia sedang bercanda.    "Yan, sudah kenyang?" tanya Mama Ira. Matanya menyorot ke piring dokter Ryan yang masih menyisakan sedikit makanan, tapi sendok sudah diletakkannya di atas piring. Dokter Ryan mengangguk mengiyakan.   "Wah, sayang dong nggak dihabiskan. Pasti
Magbasa pa
Pertemuan Keluarga
   "Alhamdulillah, Non. Mbok senang dengarnya." Senyum Mbok Yem mengembang, usai kuceritakan tentang lamaran tidak langsung dokter Ryan, tiga hari yang lalu.   "Menurut Mbok, apa yang saya lakukan itu benar atau salah?" Akhirnya aku curhat juga sama Mbok Yem. Aku merasa lebih enak ngobrol dengannya, karena Mbok Yem bisa memberikan masukan atau saran yang baik untukku. Mungkin pengalaman hidupnya yang jauh lebih banyak, membuatnya lebih bijak dalam menyikapi suatu masalah.   "Kalau dibilang salah, nggak juga. Kalau benar, harusnya sih nggak begitu." Jawaban ngambang Mbok Yem membuat mataku menyipit.  "Saya tidak mengerti, Mbok. Jangan bermain kata, kepala lagi puyeng, Mbok," rutukku dengan menyesap kopi hangat buatannya.   Wanita paruh baya yang duduk di sebelahku hanya nyengir kuda.  
Magbasa pa
Pernikahan
 POV Dr. Ryan.   "Benar 'kan itu Delia, Ma?" Aku bertanya memastikan. Gegas kuhampiri Mama, setelah melihatnya selesai video call dengan seseorang.   "Menurutmu?" Mama malah balik bertanya. Matanya lekat menatapku balik.   "Ma, please …. Ryan serius." Dengan memelas aku menekan suaraku.   Mama malah terkekeh pelan sambil mengusap rambutku.   "Kamu sangat mencintainya?" Aku terkesiap mendengar pertanyaan Mama. Dari raut wajahnya tidak ada kemarahan di sana. Cara bicaranya pun lembut.   Dengan menganggukkan kepala, kuiyakan.   "Tunggulah sampai masa Iddahnya selesai, baru dekati dia."   "A--apa, Ma?" ulangku. Aku tidak ingin salah dengar. Suara Mama terdengar pelan dan kecil di t
Magbasa pa
Malam yang Mendebarkan
  Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?   Mungkin Kalam Tuhan itu cocok untukku saat ini. Setelah berbagai cobaan menguji, lalu datang kebahagiaan setelahnya. Apa mungkin aku tidak mensyukurinya? Apa mungkin aku mendustakannya? Nikmat Tuhan mana yang kudustakan saat diberiNya sosok lelaki sesempurna dia. Sempurna di mataku. Lelaki yang rela menyimpan cintanya utuh bertahun-tahun untuk wanita sepertiku.   ***   Setelah perdebatan panjang antar dua keluarga dalam menentukan tanggal pernikahan kami, akhirnya disepakati kalau tanggal 4 di bulan 4 menjadi tanggal istimewa dalam hidupku dan Dr. Ryan. Berharap permasalahan hukum yang menderaku berakhir terlebih dulu, sebelum tanggal cantik tersebut hadir. Aku sudah tidak peduli lagi, hukuman apa yang divoniskan hakim pada mereka. Begitupun dengan nasib Mas Heru. Kuharap setelah mendapatkan hukuman terseb
Magbasa pa
Penantian yang Berbuah Manis
Pov Author.  Delia menggeliat dengan mata mengerjap. Diliriknya ke samping, lelaki yang membersamainya semalam meneguk indahnya surga, masih terlelap nyenyak dengan memeluk tubuhnya. Dirabanya pelan wajah mulus Ryan dengan senyum terkembang.   'apa karena dia dokter, jadi wajahnya semulus ini,' rutuknya dalam hati. Saat ingin menjauhkan tangannya, ternyata tangannya malah ditarik, membuat Delia tersentak kaget. Ryan membawa tangan Delia ke dadanya.    "Jangan terlalu dipandang, takutnya kamu minta lagi yang malam tadi," ucap Ryan dengan mata terpejam. Refleks wajah Delia memanas mendengar godaan suaminya. Ditariknya paksa, tangan yang masih dicengkeram kuat Ryan.   "Tetap begini, aku ingin seperti ini saja saat ini." Mata Ryan terbuka, menatap penuh cinta ke Delia. "Terima kasih," imbuhnya lagi setelah mendaratkan sebuah kecupan di kenin
Magbasa pa
Mama Ira
  POV Mama Ira   Apa impian terbesar seorang ibu untuk anaknya? Bahagia. Seorang ibu ingin anaknya hidup bahagia. Sesimpel itu. Saat anak jatuh sakit, betapa menderitanya kita sebagai ibu. Kalau bisa, biar sakitnya pindah ke kita. Sekhawatir itukah seorang ibu? Jawabnya ya. Sebesar itukah pengorbanan ibu? Iya. Apapun akan dilakukan seorang ibu untuk anaknya.   Sama sepertiku. Aku hanya mempunyai satu orang anak, seorang putra. Namanya Ryan. Dengan umurku yang sudah memasuki setengah abad ini, apa lagi impian terbesarku untuknya, kalau bukan melihatnya menikah. Entah apa yang terjadi pada Ryan. Sampai umur hampir mendekati tiga puluhan, dia belum juga mempunyai calon istri untuk dinikahi. Apa yang salah pada dirinya? Ganteng iya, mapan, baik, sangat menghormati perempuan. Kok tahu? Karena aku ibunya. Aku merasakan bagaimana cara dia memperlakukanku. Sangat baik. Perhatian, lembut. Tipe yan
Magbasa pa
Season 2
18 tahun kemudian.  "Yah, bagaimana caranya memanaskan hati cowok yang dingin?" Pertanyaan dari Shanum membuat Mas Ryan menyemburkan kopi yang baru saja diteguknya.  Aku yang sedang mengoleskan selai cokelat kesukaan Bian terhenti dan mengarahkan tatapan heran ke Shanum.   "Kalau dipanaskan, takutnya hatinya gosong, 'kan nggak enak buat dimakan," sahut Mas Ryan bercanda, sembari mengelap meja bekas kopi yang tidak sengaja disemburkannya menggunakan tisu. Sepertinya Mas Ryan mencoba bersikap sesantai mungkin menanggapi pertanyaan Shanum tentang lawan jenis.    "Yah, Shanum serius." Wajahnya cemberut dengan bibir manyun. Diraihnya segelas susu dan menyesapnya perlahan karena masih panas.   "Ayah juga serius," tukas Mas Ryan membuatku menggelengkan kepala. Shanum itu adalah versi perempuannya Mas Ry
Magbasa pa
pertemuan Tak Terduga
   Aku terkesiap saat menelisik penampilannya. Ada yang berubah dari lelaki ini. Tidak kutemukan lagi kemewahan dari lelaki yang selalu berpakaian parlente dengan gaya necis. Di depanku saat ini hanyalah lelaki biasa, mengenakan kemeja biasa juga dengan tangan yang digulung sampai siku. Tidak ada jam tangan mewah menghiasi pergelangan tangannya. Cuma ada kacamata yang bertengger di pangkal hidung bangirnya. Walaupun sudah menua, lekuk wajahnya masih bisa kukenali dengan baik.    Dia masih memandangku dengan sorot mata teduhnya.    "Maaf, sa--saya pergi dulu." Dengan terbata aku berhasil membalas ucapannya. Walaupun kuyakin bukan ini jawaban yang diharapkannya. Aku berbalik segera pergi berusaha menjauh. Masih sempat kutangkap gerakan bibirnya yang ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi tertahan. Aku tidak peduli, bagiku ia hanyalah masa lalu yang harus kulupakan, dan ditinggalkan
Magbasa pa
Merindu
 POV Heru  Apa yang kamu rasakan saat seseorang dari masa lalu datang kembali?Bahagia? Sedih? Kecewa? Atau biasa saja? Jawaban tergantung siapa orangnya. Kalau orangnya adalah orang yang kamu rindukan, pasti jawabannya bahagia.  Itulah yang terjadi padaku. Bahagia, seakan dunia hanya ada dia. Bahagia, hingga lupa sesaat pada pasanganku yang berada di rumah. Lupa, kalau sudah mempunyai seseorang, yang telah menggantikan posisinya di hatiku. Bukan menggantikan, karena ternyata tetap namanya yang terpahat di sana. Setelah sekian purnama terlewat, dan saat pertama kali melihat dirinya lagi, rasa cinta yang sudah terkubur dalam untuknya naik kembali. Pelan-pelan menimbulkan desiran aneh di hati, hingga kesulitan untuk menguntai aksara walau hanya sekedar menyapanya. Kembali rasa itu hadir. Apa itu tandanya gagal move on? Delia. Sebuah aksara nama yang masih kuingat sampai belasan tahun lamanya
Magbasa pa
Shanum
POV Shanum.   Bruk!   "Maaf, ya. Nggak sengaja," sesalku ikut berjongkok mengumpulkan buku yang terhambur di lantai koridor sekolah.    Kuakui ini kesalahanku yang berjalan tidak melihat ke depan. Mataku fokus ke layar hape, asyik membalas pesan Santi. Hingga tidak kusadari ada si cowok kulkas lewat di depanku dengan membawa tumpukan buku penuh di tangannya   "Ini." Sembari menyodorkan satu buah buku terakhir ke arahnya. Aku tersenyum semanis mungkin biar cowok yang dikenal dingin ini tidak marah apalagi memasang wajah juteknya. Kali saja dibalasnya dengan senyuman pula.   Diambilnya buku tersebut tanpa membalas senyumku, kedua sudut bibirku refleks melengkung ke bawah. Cowok yang dijulukin pangeran es ini berlalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Menyebalkan.&
Magbasa pa
PREV
1
...
56789
...
14
DMCA.com Protection Status