Semua Bab Pura-Pura Buta: Bab 41 - Bab 50
140 Bab
Ponakan dan Om Sama Saja
 Kuhampiri Pak Darwin dengan sorot mata bertanya. Namun dibalas oleh Pak Darwin dengan gelengan kepala.   "Jadi kamu yang namanya Delia? Selingkuhannya Dilan?" Wanita berkerudung cokelat yang duduk sebelah kiri langsung bertanya kepadaku dengan tudingan yang tidak kumengerti.   Keningku berkerut dengan menatap tajam Dilan. Apa maksud pertanyaan orang tua ini, kenapa dia menyebutku begitu?   "Saya Fatimah, Tantenya Dilan. Sejak ayah Dilan meninggal, maka saya yang bertanggung jawab mengurus Dilan," lanjutnya menjelaskan, dengan nada ketus.   "Tunggu, apa maksud anda menuding saya begitu? Selingkuhannya Dilan. Siapa? Saya? Sepertinya terjadi kesalahpahaman di sini," elakku membantahnya.   "Alah, jangan sok polos, kemarin Dilan membatalkan pertunangan kami dan meminta putus, apa coba kalau
Baca selengkapnya
Benarkah Lastri Gangguan Jiwa
  "Mbak!" Panggil Pak Darwin ke pramusaji. Perempuan muda mengenakan seragam khas berlogokan cafe yang kami datangi ini, bergerak maju ke arah meja kami.   "Maaf, bisa minta air mineral? Keponakan saya tersedak," pinta Pak Darwin pada pramusaji yang berdiri di hadapannya. Pramusaji itu mengangguk dan segera pergi mengambilkan.   "Ehem." Kucoba berdehem beberapa kali, menetralisir ketidaknyamanan di dalam tenggorokanku. Rasa kopi yang kuminum sangat terasa di tengah tenggorokan.    "Ini, cepat minum!" Pak Darwin memberikan segelas air mineral kepadaku yang telah tersedia di depan meja. Kumbil dan kuteguk segera.   "Om, apa-apaan sih. Delia aja belum cerai dari Mas Heru sudah diminta nikah sama dokter jutek," protesku tidak setuju setelah bisa berbicara.   "Iya nanti kalau ka
Baca selengkapnya
Membingungkan
 Aku menjadi gugup dengan dada berdebar, ketika melihat Lastri turun dari tempat tidur dengan mata nyalang menatapku. Kugenggam erat tangan ibunya Lastri.   "Delia, dimana Delia? Aku benci nama itu, kamu!" Jari telunjuknya mengarah ke diriku. "Kamu siapa? Kamu Delia?" Lastri maju dengan pelan menghampiriku.   Aku diam. Sepertinya Lastri tidak mengenalku. Namun aku tetap berdiri di belakang ibunya seolah mencari perlindungan. Aku tidak tahu kenapa jadi ketakutan begini. Mungkin karena momok orang gila di benakku sudah tertanam menakutkan.   "Sayang, Lastri …, dia bukan Delia, dia teman kamu." Ibunya Lastri mencoba menenangkannya dengan berbohong.   Aku terkesiap saat tangan Lastri menarik lenganku dengan kuat.   "Kamu bukan Delia 'kan? Aku benci Delia. Dia mengambil semua yang kui
Baca selengkapnya
Pertemuan yang Mengejutkan
 Kuambil ponselku dan menghubungi seseorang.   Nada sambung terhubung tapi tidak diangkat.    Kulihat mobil Om Darwin mulai pelan beranjak pergi. Mungkin sedang menyetir, karena kulihat beliau duduk di kursi kemudi, makanya teleponku tidak diangkatnya. Kusimpan kembali ponsel ke dalam tas.   Mobilku pun juga sudah keluar dari SPBU dan menuju ke kantor. Aku masih kepikiran dengan wanita di dalam mobil Om Darwin. Bagaimana mungkin mereka bisa satu mobil dan terlihat akrab? Itu artinya Om Darwin dengan wanita muda tersebut saling kenal. Sepertinya aku harus berhati-hati juga dengan Om Darwin. Di depanku terlihat baik, siapa tahu ikut menusuk dari belakang. Katanya ingin menjodohkanku dengan dokter Ryan, dan tidak setuju dengan calonnya si dokter, la kok malah akrab sama wanita tersebut, artinya apa coba, Om Darwin membohongiku dan mempunyai maksud terselubung?
Baca selengkapnya
Anya Mencoba Menyerang
  Kalau ada yang bilang dunia ini sempit mungkin itu benar, karena kita bertemu dengan seseorang dalam satu lingkaran yang sama.    "Ayah?" Sebuah pertanyaan terbit dari seorang ibu paruh baya yang datang bersama dengan sosok lelaki yang kukenal. Dari wajahnya, bolehkah kusimpulkan kalau mereka adalah ibu dan anak?    "Iya, Ma Ira. Ini Ayah saya," jawabnya pasti dengan tersenyum sumringah.    "Yah, kenalkan. Ini Mama Ira--ibunya Kak Ryan." Gadis berkerudung navy ini terlihat malu-malu saat memperkenalkan Om Darwin dengan ibunya dokter Ryan. Yang membuatku terkejut ternyata gadis ini adalah anaknya Om Darwin. Lalu kenapa ibunya dokter Ryan ikut terkejut pula seolah tidak tahu. Dan yang membuatku bingung, kalau gadis ini adalah anaknya Om Darwin dan Ryan adalah keponakannya, itu artinya dokter Ryan dengan gadis in
Baca selengkapnya
Keyakinan Heru
  POV Heru   "Pak, ini tidak bisa dibiarkan! Tolong Bapak bantu saya. Lastri itu bohong! Dia pasti pura-pura gila biar lepas dari jerat hukum, dan semuanya dilimpahkan ke saya. Ini nggak adil." Aku meradang marah mendengar kabar terbaru dari Lastri. Bagaimana mungkin semuanya jadi kacau begini. Seharusnya aku bisa lepas dari tindak pidana pembunuhan berencana, karena memang bukan aku yang melakukan semua itu.    "Maaf Pak Heru. Saya dan tim sudah berupaya keras untuk membebaskan Pak Heru dari kasus tersebut. Namun, ya … mau gimana lagi Pak. Satu-satunya tertuduh malah terindikasi menderita gangguan jiwa. Apalagi dia kunci saksi utama," ucap Pak Dion--kuasa hukumku.   Kukepalkan tangan dengan kuat di atas meja, hingga buku-bukunya memutih. Rasanya kesal sekali mendapati berita gilanya Lastri. Kenapa dia tidak mati saja sekalian. Itu lebih
Baca selengkapnya
Kutunggu Jandamu
  POV Ryan. "Ayolah Yan, temui dia sebentar saja. Apa susahnya sih. Kali ini saja. Mama yakin kamu suka," desak Mama padaku.    Ya, ini mungkin sudah yang kesekian kalinya, Mama memintaku untuk menemui calon menantunya, perempuan pilihannya.   Dan yang kali ini Mama sangat memaksaku. Entah bagaimana caranya perempuan ini sangat menarik hati Mama, sampai-sampai dia selalu menceritakan perempuan ini kepadaku hampir di setiap harinya.    "Dia ini namanya Alisha. Anaknya baik, sopanaktif di pengajian yang Mama ikutin. Dia itu yang sering bantu-bantu anak rohis di masjid, tempat biasa Mama dan teman-teman melakukan pengajian majelis taklim."   "Coba kamu temui dia sekali saja, Mama yakin pilihan Mama kali ini pasti disetujui olehmu, Yan," lanjutnya lagi.  
Baca selengkapnya
Mengatasi Masalah Baru
 "Kasus kejahatan, Ma. Mama ingat waktu Ryan cerita lagi nolong orang diserang, nah Delia ini orangnya," jelas dokter Ryan dibalas ibunya dengan ekspresi kaget.   "Jadi, waktu itu Delia yang diserang? Ya Allah, Nak. Kamu baik-baik saja 'kan?" Tanya ibu dokter Ryan padaku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan kepala.    "Kok bisa ya ada orang sejahat itu. Syukurlah kamu dibantu Darwin, Mama yakin dia akan bantu kamu menyelesaikan persoalan hukum yang sedang menjeratmu," tuturnya membuat bibir ini melengkungkan sebuah senyum untuknya.   Mama? Apa aku boleh memanggil ibunya dokter Ryan dengan kata mama? Ada yang berdesir di sini, di dalam hatiku. Ada rasa yang membuat mataku memanas, berkabut ingin mendesak keluar, tapi kutahan kuat dengan menengadahkan kepala ke atas.    "Ini Ma, sudah sampai," ucap dokter Ryan meng
Baca selengkapnya
Ke rumah sakit jiwa
 Kulantunkan suara membaca baris demi baris aksara berhuruf Hijaiyah. Dengan terbata-bata aku mampu melafalkan bacaan tersebut. Ini adalah rutinitas baruku setelah melakukan solat subuh. Rutin dilakukan agar terbiasa dan bacaanku semakin lancar. Ada ketenangan yang kudapat setiap selesai mengerjakannya. Hari masih gelap, Kupaksakan bangun sesubuh ini agar bisa melakukan kegiatan ibadah tersebut. Alarm jam digital di atas nakas, sudah kusetting 30 menit agar berbunyi terlebih dulu sebelum adzan subuh berkumandang.    Kusapu pandanganku ke seluruh kamar. Lalu berjalan pelan meraba setiap benda yang kulewati. Dari meja kerja yang biasanya Mas Heru tempati, sampai ke depan lemari pakaian besar berbahan kayu jati dengan ukirannya yang indah.   Semua barang Mas Heru sudah tidak ada lagi di kamar ini. Dulu, sudah kuminta Mbok Yem untuk tidak menyisakan apapun milik Mas Heru saat membersihkan kamar ini.&
Baca selengkapnya
Kebenaran Tentang Lastri
  Semua orang di ruangan ini mengatur posisi masing-masing, mencari tempat yang nyaman, untuk menyaksikan apa yang terlihat di layar segi empat yang sedang menyala ini. Tampak di layar, sebuah ruangan bercat putih, dengan satu tempat tidur. Kulihat Lastri baru tiba di sana diantar oleh dua perawat. Lalu ditinggal sendiri. Kuperhatikan dia duduk diam dengan pandangan mata menerawang.   Om Darwin memintaku duduk di sampingnya dengan memundurkan satu bangku ke arahku. Aku yang awalnya ingin duduk, malah tidak jadi saat melihat gerak-gerik seseorang yang menarik perhatianku. Dia tampak gelisah, berdiri di depan pintu, seperti sedang menunggu seseorang, tangan satunya memegang ponsel seperti sibuk menelepon, tapi tidak terlihat dia berbicara layaknya orang berteleponan. Tampak juga gurat kekesalan di wajahnya. Keningku berkerut memperhatikannya.   "Om, siapa wanita itu? Apa Om mengenalnya? Dia
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
14
DMCA.com Protection Status