Semua Bab Pembohong yang Sempurna: Bab 21 - Bab 30
85 Bab
Pot. 21
Sesekali Parta memainkan kursi tinggi yang sedang didudukinya. Sesekali dia menelungkupkan wajahnya di atas meja. Beberapa kali dia menyugar rambutnya dengan kasar, juga wajahnya. Sudah dua gelas ia tenggak habis padahal pengunjung kelab masih sepi. Dia tak mungkin membiarkan dirinya mabuk. Bukan mabuk, lebih tepatnya merusak organ tubuh. Ia memainkan telunjuknya menelusuri bibir gelas. Lagi atau tidak, ia mempertimbangkan untuk kembali meminta dituangkan segelas. Ia mengamati jarum pada arloji mahal di pergelangan tangannya. Orang yang ditunggu belum juga memunculkan batang hidungnya meski waktu janji sudah lewat tiga puluh menit. Parta memutuskan tidak akan minum lagi. Ia turun dari kursi dan berjalan ke arah toilet. Air mengalir yang membasahi wajah pasti akan membuatnya lebih segar dan bisa berpikir lebih tenang. Benar saja, kekacauannya sedikit terurai, tapi bayangan gadis itu tetap saja jelas. Parta menatap wajahnya dari pantulan cermin. Ia berusaha men
Baca selengkapnya
Pot. 22
Nyla masih memikirkan kata-kata Parta. Dia juga dipusingkan dengan ketakutannya mengenai biaya kuliah yang harus ditanggung jika beasiswanya dicabut. Bukan tidak mungkin Parta akan membocorkan rahasianya. Kini koran di depannya sudah penuh coretan, kolom lowongan pekerjaan paruh waktu. Hampir semuanya tak ada yang terlewatkan dari goresan tinta biru milik Nyla. Tangan kirinya menumpu kepala dan tangan kanannya memainkan bolpoin. Pikirannya menerawang masa depan yang akan dilaluinya. Pekerjaan paruh waktu tidak terlalu buruk, hanya perlu mengatur jadwal supaya masih ada waktu tersisa untuk sejenak beristirahat. Ia menukar bolpoin dengan handphone-nya mengetikkan sesuatu di sana. Selang beberapa saat wajahnya berubah gelisah. Lamaran yang dikirim via email beberapa menit sebelumnya sudah mendapat balasan, penolakan. “Lagi apa, Ny? Sepertinya gelisah sekali.” Kinan, salah satu teman sekelas Nyla datang menghampiri. “Ow, tidak kok. Lagi baca-baca
Baca selengkapnya
Pot. 23
“Bel, aku ada tambahan nih buat kamu. Aku akan share nomor ke kamu, cari tahu siapa pemilik dan orang-orang di sekitarnya.” Parta menutup teleponnya. Pagi sudah lebih dulu merutukinya dengan berita tak sedap. Kini ia berdiri di kampusnya yang masih sepi. Berusaha mengalihkan suasana hati yang penat. Pagi yang membuatnya merasa bahwa tempat itu begitu punya arti. Lebih pagi, ternyata udara sejuk bisa dirasakan masuk ke paru-paru, memenuhi dan menyegarkan. Burung-burung yang tak pernah terlihat rupanya menguasai pagi dengan bertengger di setiap pohon yang rindang. Dari tempat parkir Parta berjalan ke gedung perkuliahan. Pintu-pintu kelas masih terkunci. Para petugas masih sibuk membersihkan lantai dan kaca-kaca jendela. Mereka menyapa dengan ramah meski wajahnya tak bisa berbohong, merasa aneh dengan mahasiswa yang datang terlalu pagi. Duduk di selasar depan pintu kelas sambil menunggu jam kuliah memang bukan hal memalukan, banyak yang melakuk
Baca selengkapnya
Pot. 24
“Tugas kamu adalah selesaikan ini. Hari ini harus selesai.” Parta menyerahkan berkas untuk kepentingan pendaftaran pada Nyla. “Ini?” Nyla tertegun. Ia menerima berkas pendaftaran untuk namanya sendiri. Ia memastikan beberapa kali, berharap tidak ada kesalahan dari pandangan matanya. “Ya, hari ini harus selesai. Ingat itu.” Parta mempertegas perintahnya. Nyla mengangguk mantap. Ia mengambil berkas itu dengan semangat, juga laptop, dan keperluan lainnya. Semuanya ia masukkan ke dalam tas. Bilik baca di perpustakaan merupakan tempat yang tepat untuk menyelesaikan semua itu dan ke sanalah Nyla pergi dengan langkah yang riang. Membuat Nyla sibuk adalah tujuan Parta yang sesungguhnya. Untuk satu hal itu –menurut Parta— Nyla  tidak hanya sibuk, tetapi juga tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Dengan begitu Parta bisa dengan tenang melakukan hal lain selagi Nyla menjalankan perintahnya. “Kamu yakin dengan ini?” Parta pergi ke sebuah resto
Baca selengkapnya
Pot. 25
“Hmm. Apa?” Terdengar nada ancaman dari seberang telepon. Nyla mendudukkan tubuhnya tanpa sandaran dan membelalakkan matanya lebih lebar. Sebelah tangannya mencubit pipi. ‘Aww’ dia menjerit pelan merasakan sakit dari jarinya sendiri. “Hari Minggu yang payah!” Nyla membanting handphone-nya, ia mengumpat untuk dirinya sendiri. Menyesal, pasti, karena semalam ia lupa untuk mematikan handphone. Alhasil, pagi ini telepon berdering dan langsung membuat jiwa malasnya lenyap. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, harusnya dia masih punya satu jam untuk berkelana di dunia mimpi. Mau tidak mau sekarang dia harus beranjak dari kasur empuknya. “Ini lebih buruk dari punya kamu. Ganti!” Parta membalik layar laptop dan mendorongnya kembali ke depan Nyla. Nyla menatap tajam orang sombong yang duduk di depannya. Empat jam ia bekerja tanpa istirahat. Bahkan perutnya, yang hanya terisi sepotong roti saat sarapan, semaki
Baca selengkapnya
Pot. 26
“Perlu berapa lama sampai di sana?” “Kurang lebih delapan jam. Jika saja tadi berangkat lebih awal kita bisa melewatkan kemacetan dan akan sampai dengan lebih cepat.” “Akan sangat melelahkan.” “Sudah kubilang, kita bisa menyuruh orang dan tinggal menunggu mereka menyampaikan laporannya, tapi kamu sendiri yang bersikeras.” “Aku harus memastikan sendiri.” “Ya, kalau sudah lelah aku bisa menggantikan.” Bela kembali memejamkan mata karena masih mengantuk sedangkan Parta mengikuti panduan dari GPS yang terus memberi informasi mengenai arah yang harus dituju. Kemajuan teknologi masa kini memang sangat bisa dirasakan. Berbagai kemudahan disajikan dalam waktu yang singkat dan lengkap. Seperti saat ini, Parta dan Bela sedang dalam perjalanan menuju daerah asal Nyla. Bukan daerah asal berdasarkan data yang diketahui Parta selama ini, tapi informasi terbaru yang didapat dari anak buah Bela. Dengan mudah mereka menelusuri jalan tanpa hambatan.
Baca selengkapnya
Pot. 27
“Aku ke toilet dulu ya, Kak.” Nyla berpamitan pada Vika yang duduk di sebelahnya. Mereka sudah berbaikan, lebih tepatnya Vika sudah mau menyapa Nyla. “Sudah?” tanya Vika begitu Nyla kembali dari toilet. “Sudah, tapi masih nerveous.” Gadis itu mengambil berkas yang tadi ditinggal di kursi kemudian duduk memangkunya kembali. Kakinya tidak berhenti bergerak meski sudah disilangkan agar bisa lebih tenang. Begitu juga dengan jari-jarinya yang menari-nari di atas map. “Santai saja, tahap pertama tidak sesulit yang kamu bayangkan. Di sini semua sebagai pendengar.” “Kak Vika salah satu tim penilai, kan? Tidak apa-apa kakak duduk dekat aku?” “Tidak masalah, sekarang kan saatnya mendengarkan. Selain itu, porsi untuk nilai yang aku berikan tidak banyak pengaruhnya. Ngomong-omong Parta ke mana? Beberapa hari aku tidak melihat dia.” Pertanyaan yang membuat Nyla ingat akan salah satu rivalnya itu yang, seperti kata Vika, beb
Baca selengkapnya
Pot. 28
Parta memarkirkan mobilnya di bahu jalan. Setelah terburu-buru dan harus membentak Nyla ia akhirnya menemukan mobil merah yang terparkir di bawah pohon dekat sebuah perumahan. Seorang perempuan keluar dari mobil itu dan berjalan ke arah Parta. Setelah membuka pintu, tanpa disuruh, perempuan itu masuk dan melepas kaca mata hitam yang digunakan untuk menghalau cahaya panas matahari. “Bagaimana? Sudah ketemu?” tanya Parta tanpa b**a-basi. Ia sudah menunggu beberapa hari dan sangat antusias saat Bela menyampaikan informasi terbarunya. “Sudah. Lihatlah!” Bela menyerahkan beberapa foto yang dikeluarkan dari amplop cokelat. Parta mengamati satu per satu foto yang masih terasa hangat itu. Foto yang menunjukkan beberapa wajah yang sudah dikenalnya dan mulai akrab di matanya. Ia mengamati sebentar untuk foto yang menampilkan dua pria paruh baya sedang berbincang. “Dia, ayah tiri Nyla,” jelas Bela sambil menunjuk salah satu wajah di foto itu. “Seperti li
Baca selengkapnya
Pot. 29
“Par, akhir-akhir ini jarang kelihatan. Ke mana saja kamu?” “Sibuk.” Jawaban yang singkat. Ia mengaduk-aduk isi lokernya di ruangan itu, mencari dan mengumpulkan beberapa berkas. “Aku tanya ke mana bukan sedang apa.” Koreksi yang sebenarnya tak perlu disampaikan mengingat Parta sudah menyampaikan jawaban dengan asal. Parta hanya menggumam tak jelas sedang menjawab atau hanya sekadar ingin bersuara. Ia masih sibuk dengan lokernya dan kemudian merapikan ala kadarnya dan menutup, kali ini tidak dengan asal, ia mengunci lokernya. Suatu hal yang tidak biasa ia lakukan. “Sibuk sama cewek-cewek di luar? Aku dengar kamu makin sering ke luar malam. Ke kelab? Ajak-ajak dong!” Masih terus, mencoba bergunjing agar diperhatikan, tapi gagal. “Kalau Nyla datang ke sini, suruh dia temui aku di perpustakaan. Kalau bisa secepatnya.” Mengabaikan pertanyaan yang didengar. Parta meninggalkan Alex yang masih terbengong memandanginya, mulai dari berjalan di
Baca selengkapnya
Pot. 30
“Kamu selalu saja sibuk beberapa hari ini.” Seorang lelaki paruh baya sedang duduk di sofa. Menyilangkan kakinya dan mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri, menatap lembar koran yang dibentangkan lebar-lebar di depan matanya yang polos tanpa kacamata. Surat kabar yang masih terlihat baru namun sesungguhnya sudah usang karena hari sudah malam. Tak biasanya Panji duduk menunggu. Ada sesuatu yang membuat pria itu harus bertatap muka dengan anaknya. “Ada beberapa yang harus aku persiapkan. Aku harus ikut pemilihan ketua organisasi dan menang.” Parta masih berdiri beberapa langkah dari pintu masuk rumah besar itu. “Hanya itu? Apa kamu tidak ingin bercerita dengan papa?” “Apa yang harus aku ceritakan? Papa sudah tahu rutinitasku. Selalu tahu ke mana aku pergi.” Parta kini ikut duduk di sofa. Meletakkan tasnya di samping kemudian melorotkan tubuhnya dan memejamkan mata. “Tidak untuk satu hal. Tadi pagi Karlos meneleponku, dia sendiri, memberit
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status