All Chapters of Enam Tahun Tanpa Malam Pertama: Chapter 41 - Chapter 50
96 Chapters
41. Mencuri Kecup
Jangan kemana-mana, tunggu di sini sebentar,” ujar Dirman pelan, lalu berbalik dan meninggalkan ruang makan. Ria masih mengatur napasnya yang sedikit sesak, karena terlalu gembira mendapat kejutan dari Dirman malam ini. Dia  juga belum berkomentar apapun, tetapi lelaki itu sudah pergi ke kamarnya. Ria menoleh saat pintu kamar terbuka dan lelaki itu berjalan mendekatsambil memegang kertas putih. Apa itu? gumam Ria dalam hati.Dirman sudah duduk kembali di samping Ria. Pria itu tersenyum, lalu menyodorkan kerta putih yang ia pegang. “Apa ini, Mas?” tanya Ria bingung.“Buka saja dulu,” pintanya. Ria menurut, lalu membuka amplop itu dengan rasa tak sabar. Matanya membaca urut dalam hati dari baris paling atas sampai bawah surat.“Mas … ini ….”“Iya. Pihak hotel mengirim saya untuk ikut lomba itu. Padahal saya masih baru, karena katanya memang ini kompetisi chef muda dan penda
Read more
42. Putusan Pengadilan
Sudah dua pekan aku tidak bertemu Mas Dirman. Kompetisi memasak yang dia ikuti ternyata memang menyita banyak waktunya, termasuk tidak bisa bolak-balik pulang ke rumah. Di satu sisi aku merasa sepi, tetapi di sisi lain aku merasa bersukur. Paling tidak, kami bisa menjaga diri masing-masing dari godaan setan.Terakhir video call semalam. Pagi ini pasti dia kembali sibuk mengurus kompetisinya. Aku memaklumi, karena dia pun sedang berjuang memantaskan diri untuk bersamaku."Non, maaf. Ada mama Non di luar," ujar Bu Isah memberitahuku."Eh, iya Bik. Mama memang bilang mau ke sini. Saya kirain sore, ternyata  pagi sudah sampai. Buatkan teh hijau seperti biasa ya Bik," kataku seraya turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar."Ma, sama siapa?" tanyaku begitu sampai di ruang tengah. Mama sedang memegang remot dan mengganti channel televisi. Kucium punggung tangannya dengan takzim, lalu ikut duduk di sampin
Read more
43. Dilamar
Tepat tujuh belas hari Mas Dirman belum pulang juga ke rumahku. Ponselnya sejak pagi hingga siang hari tidak aktif. Hanya malam saja, itu pun sudah pukul sebelas baru aktif. Sungguh baru kali ini, aku bisa merasakan dan memahami rindu itu sangat berat. Padahal, menjadi suamiku saja belum. Kami baru berencana dan tidak tahu juga kapan akan terealisasinya.Sudah pukul setengah sebelas malam, itu tandanya masih setengah jam lagi ponselnya baru aktif. Berulang kali aku menatap layar statusnya yang masih sama seperti kemarin, yaitu hanya berupa gambar sphagetti yang nampak sangat menggiurkan. Mataku  pun sudah mengantuk, tapi hati dan isi kepalaku masih tetap semangat dan bertahan sampai bisa mendengar suara lelaki itu walau sebentar."Non, udah tidur?"Pesan singkat yang masuk ke dalam ponselku, langsung terbaca walau belum kubuka."Telpon, saya rindu." Sambil menggigit bibir, aku tak sabar menanti telepo
Read more
44. Malam Pertama
Dua satu plus  "Saya terima nikah dan kawinnya Maria Septiani Putri binti Mario Daksa dengan mas kawin seperangkat alat salat dan perhiasan emas dibayar tunai.""Bagaimana Bapak,Ibu? Sah?""Sah."Semua orang mengucap Alhamdulillah dengan suara lantang dan penuh haru. Aku pun sama. Akhirnya, setelah melewati banyak rintangan, tanjakan, dan turunan, resmi sudah aku menjadi istri dari Mas Dirman Suteja. Lelaki yang dahulu kuanggap hanya sebagai sopir di rumahku, kini berubah menjadi suamiku. Sungguh takdir Tuhan tidak pernah ditebak oleh akal manusia."Silakan dicium bibir suaminya. Eh ... Salah deh saya. Cium bibir mah di kamar ya, kalau di sini nanti saya panas dingin," seru petugas KUA yang turut mendampingi penghulu. Semua orang tertawa, begitu pun Mas Teja dan aku.Dengan penuh hikmat, kucium punggung tangan lelaki yang suda
Read more
45. Mila Sakit Keras
Pagi ini, cuaca di luar sedang gerimis. Aku sibuk menyiapkan menu sarapan terbaik untuk suami dan juga anak-anakku. Untuk pekerjaan rumah lainnya, masih ada Bik Isah yang membantuku menyelesaikannya. Mas Teja sudah rapi dengan celana bahan, serta kemeja berwarna pastel. Siwi dan Adam juga sudah duduk di kursi makan, siap menanti sarapan roti bakar keju dan juga sosis bakar yang sedang kutata di atas meja."Bunda, makan yuk!" ajak Siwi sambil memperlihatkan gigi depannya yang baru saja copot. Aku pun ikut tersenyum, lalu mengangguk. Baru akan menarik kursi di depan mereka, Mas Teja langsung menarikku untuk duduk di pangkuannya.Siwi dan Adam terkikik geli melihat kelakuan ayah mereka yang sangat aneh. Aku pun demikian. "Mas, malu ada anak-anak," ujarku dengan wajah merona merah."Gak papa. Mereka juga tahu kalau ayah dan bundanya sedang pacaran. Ya kan?" lelaki itu dengan penuh percaya dirinya mengedipkan sebelah mata pada
Read more
46. Menikmati Peran Ibu
"Mohon maaf, untuk nama anak Mas Teja yang laki-laki. Saya ganti ya. Bukan Adam, tetapi Aji."Aku membawa Aji pulang ke rumah. Anak lelaki itu terlihat biasa saja dan juga ceria, hanya saja aku yang masih khawatir dengan keadaannya. Mas Teja belum kuberitahu, biarlah saat dia pulang saja baru kami diskusikan, baiknya seperti apa ini.Dengan taksi online, kami pulang ke rumah. Aji tertidur karena lelah menangis, saat dijahit kepalanya. Anak yang kuat, dia hanya menangis karena kesakitan, bukan karena manja."Mas, mampir ke restoran cepat saji di depan ya," kataku pada sopir taksi. Kami belum sempat memasak dan aku yakin, saat bangun nanti Aji pasti lapar.  Menikmati makan siang dengan fried chicken dan juga es krim coklat adalah kesukaan Aji dan juga Siwi. Aku memutuskan untuk membeli empat paket makan siang untuk kami berempat."Wangi sekali." Aku membaui aroma ayam goreng kriuk yang
Read more
47. Kapan Aku Hamil?
Sudah 3 bulan aku menikah dengan Mas Teja. Setiap angka di kalender melewati dua puluh, hati ini selalu harap-harap cemas. Bulan-bulan lalu, aku gagal. Darah haid mengalir dengan deras seperti biasanya. Tentu aku kecewa karena berharap begitu menikah, aku langsung hamil.Aku menangis dan suamiku dengan sabar menenangkanku, serta memberikan semangat. Dia sama sekali tidak marah, saat jadwal datang bulanku hadir lagi. Lelaki itu melapangkan hati ini dengan mengatakan, kita coba lagi esok.Hari ini, sudah tanggal dua puluh. Mas Teja sudah berangkat pagi mengantar Aji dan Siwi ke sekolah. Aku merasa sangat bersukur, saat bangun pagi, tidak kutemukan darah haid. Semoga dia tidak muncul lagi dan di dalam perutku ini ada bayi. Buah cintaku dan Mas Teja."Non, lemes sekali. Udah minum vitamin belum?" tanya Bik Isah saat menghampiriku yang tengah melamun di teras depan. Aku menoleh, lalu mengangguk."Non haid lagi?
Read more
48. Haruskah Dimaafkan?
Akhirnya ijin itu turun juga, setelah dua pekan berlalu.Dengan sarat, suamiku ikut menemani ke sana. Dengan mengendarai motor, kami berdua pergi menuju Lapas Cipinang. Perihal mobil yang sempat dijadikan barang bukti saat kami kecelakaan waktu itu, beberapa hari lagi sudah bisa diambil. Fotonya juga sudah kusebar di media sosial untuk dijual saja.Mas Dirman tidak setuju, jika di dalam rumah tangga kami masih ada barang berharga pemberian Edwin. Lebih baik dijual saja, lalu uangnya disimpan sebagian, dan sebagian lagi diserahkan kepada Raka.Ya, begitu mulia hati suamiku. Di balik keengganannya berurusan dengan Edwin, dia tetap memikirkan Raka;anak dari Edwin. Bocah lelaki itu benar-benar kehilangan sosok ayah untuk belasan tahun.Begitu sampai di parkiran, aku mengonfirmasikan pada Herman yang juga akan datang mendampingiku untuk mengunjungi Edwin. Lelaki itu belum datang. Kusempatkan makan bubur ayam pinggir jalan,
Read more
49. Pecal Lele
POV AuthorRia berlari menyusuri koridor rumah sakit XXX, tempat suaminya dirawat. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat, antara lelah berlari dan juga khawatir akan keadaan suaminya."Permisi, Sus. Anyelir tiga di mana ya?" tanya Ria pada salah seorang perawat yang berada di front desk."Dari sini lurus saja, lalu ke kanan, Mbak," jawab perawat itu sembari mengarahkan dengan tangannya."Baik. Terima kasih, Sus," ujar Ria dengan mengangguk. Dia kembali berjalan cepat karena sudah tak sabar ingin mengetahui keadaan suaminya."Mbak Ria!" seru seorang lelaki yang berada di depan sebuah kamar perawatan. Baju yang dikenakannya, sama persis dengan seragam kerja suaminya. Ria mengangguk, lalu mendekat pada lelaki itu."Di mana suami saya?" tanya Ria. Lalu masuk begitu saja di kamar perawatan yang ternyata ruang kelas dua. Karena isi kamar itu ada tiga berangkar.
Read more
50. Ending
Warna pagi begitu terang. Sinar indahnya menerobos masuk ke dalam rumah-rumah penduduk, menerobos lewat celah ranting pohon. Sisa udara sejak karena hujan gerimis semalam, masih mendominasi udara, hingga membuat sebagian orang lebih memilih berada di balik selimut. Bersenda-gurau dengan bantal dan guling, tanpa memikirkan mau sarapan apa pagi ini?Pohon jambu air dan mangga yang ada di pekarang rumah Ria, menjadi saksi, bahwa sang pemilik mereka begitu semangat menyambut hari di setiap paginya. Dalam keadaan perut yang semakin membuncit, di usia kehamilannya yang menginjak sembilan bulan, Ria semakin rajin untuk melatih kaki, tubuh, serta napasnya sebagai persiapan melahirkan normal nanti.Jika pagi kemarin dia ditemani oleh suaminya;Teja. Namun kali ini, ada Siwi yang sedang enggan ke sekolah. Gadis kecil itu begitu tak sabar menunggu Bundanya segera melahirkan dua orang adik bayi untuknya. Sambil bergandengan tangan, ibu dan anak itu men
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status