All Chapters of Cindaku Sang Penguasa: Chapter 31 - Chapter 40
144 Chapters
31. Cindaku Siluman
Cindaku macan tutul. Melihat totol hitam yang menyebar di sekujur makhluk itu, cukup meyakinkan Askara jika sosok di depannya kini adalah manusia setengah macan tutul. Wajah dan tubuh sekilas terstruktur bagai kerangka manusia, namun rupa kucing lebih mendominasi sehingga wujudnya lebih ke macan jadi-jadian. Askara bahkan tercengang mendapati otot perut dan otot tangan cindaku itu terbentuk sempurna —yang bahkan ia sendiri tidak memilikinya. Teringat akan kemalangan Dalu dan Ashoka yang diakibatkan nyalinya yang lemah, Askara kini berdiri tegap dan tak gentar. Ia bertekad mengalahkan makhluk itu meski kemampuan masih terbilang masih jauh dari kata hebat. Askara siap siaga dengan mengacungkan pusaka melengkung dengan tiga mata pisau itu pada si monster. Cindaku terlihat menggeram, menggertakkan gigi-gigi taringnya dilanjut mengaum sampai membisingkan sekitar. 'Ayo Askara, kau pasti bisa. Sebelumnya kau sudah berhasil mengalahkan cindaku juga.'
Read more
32. Adiwira Pedang
'Apakah ini adalah akhir hidupku?' Askara berbaring terlentang dengan perut sobek dan menganga. Badannya bergetar saat mendengar derap langkah cindaku macan tutul kian mendekat. Pemuda itu pun memejamkan mata, pasrah dengan keadaan jika seandainya ia mati diterkam si monster. Gra ...! Saat cindaku itu melompat setinggi mungkin hendak menerkam Askara yang tak berdaya, sekelebat cahaya disertai petir gemuruh merambat di udara. Makhluk itu seakan terkena cambukan guntur, terbanting jauh sampai kepalanya tersungkur di tanah. Askara sampai terhentak mendapatinya. Daya tahan cindaku macan tutul cukup kuat, segera mungkin makhluk itu bangun. Meski kepala terbentur keras, bisa hilang cukup dengan sekali gelengan. Si monster menggeram dan berakhir mengaum. Bersamaan dengan itu munculah pendekar yang berjalan di antara pepohonan jati. Menggusur senjata runcing dan panjangnya yang berwarna abu perak, juga berkilauan saat terkena cahaya matahari. "S-sepuh
Read more
33. Meragukan Sejarah
"Tumben sekali kau tidak pingsan lagi," ujar Dwara pada Askara yang kala itu sedang membuntal luka perutnya yang sedikit menganga. Saat itu mereka sudah kembali lagi ke gua kediaman pasca penyerangan cindaku macan tutul tadi."Hehe ..." Askara hanya menggaruk kepalanya asal. Meskipun tawa membuat otot perut yang tengah terluka ikut bereaksi, tetap saja Askara memaksa tertawa meski sakit di perutnya itu perih bukan main.Sengaja Askara mencoba mencairkan suasana, karena sedari tadi Dwara terlihat agak murung dari biasanya."Tadi aku menggunakan teknik peralihan mata biru. Dan ternyata memang benar, tenagaku tidak terlalu terkuras setelahnya. Ya, meskipun tenaga yang didapatkan sebelumnya kurang banyak," kata pemuda itu lagi."Kau belajar dengan cepat ya," sambung Dwara sembari mengganti pakaian luarnya dengan kain baru yang kering. "Karena itulah aku melatih fisikmu. Kita tidak bisa terlalu bergantung pada mata biru. Akan berbahaya jika seorang adiwira men
Read more
34. Sekelebat Ingatan
"Akhh ... Kepalaku." Askara akhirnya berhasil bangun. Posisinya kini sudah berada di atas ranjang kayu kembali. Didampingi Dwara yang sudah siaga berjaga di samping, pemuda itu berusaha untuk bangkit dari tidurnya."Masih basah lidahku karena memujimu yang tidak pingsan, ujung-ujungnya kau pingsan lagi. Sebenarnya kenapa kau ini?" tanya Dwara yang sedikit kesal dan berpangku tangan di dada. "Jika kau sering pingsan seperti ini, fisikmu masih dikatakan lemah. Dan aku belum bisa mengirimmu ke pegunungan cimungkal.""Entahlah, Sepuh." Napas Askara terputus-putus, seakan terbangun dari mimpi yang buruk. "Ada ingatan asing yang tiba-tiba masuk dalam pikiranku, itu membuatku sakit kepala."Lelaki itu kembali mengaduh, terus menerus menggelengkan kepala karena pening. "Apa-apaan? Siapa kau ini?" erangnya lagi.Dwara sedikit mengangkat alis, sedikit heran saat menganggapi kondisi terkini muridnya. Pemuda itu terus menggeliat sambil mengigau, lantas menjambak ramb
Read more
35. Kujang Pakarang
'Maafkan aku, Aska.''Mungkin kau akan malu mengakuiku. Percayalah, semua ini demi kebaikan bersama.''Jangan pernah menyesalinya.''Suatu hari nanti aku akan menjelaskannya.''Aku menyayangimu.'Askara terhentak. Bergegas ia bangun dari pembaringan seraya berteriak ketakutan. Sempat panik dan menjambak sejumput rambutnya, Askara berhenti memekik kala menyadari akan keberadaannya sekarang dalam gua.Gua kediaman Dwara.Banyak cuplikan memori yang menabrak masuk ke dalam ingatan, semua terasa membekas sekarang. Ia lihat ada bayangan seorang pria yang terus membelakanginya, namun terus meminta maaf. Askara bingung mengingat-ingat wajah pria itu. Siapakah dia?Yang paling ia ingat soal pria itu adalah kujang yang dipegangnya. Jika diingat kembali, bentuk kujang itu berbeda jauh dengan miliknya. Jika kujang macan memiliki tiga lubang dan eluk punggung, (sedikit melengkung menyerupai clurit) maka kujang yang muncul dalam ingatan Ask
Read more
36. Pemihak Cindaku
"SIAL!" Askara terus mengayunkan kujangnya. Berlatih menyabit seraya terdengar mengumpat beberapa kali. Terhitung sudah ratusan kali tangannya sibuk mengayunkan senjata. Meskipun demikian, pikirannya kalut dan tak bisa melupakan apa yang dikatakan snag sepuh. Pemuda itu seakan menolak percaya dengan fakta yang menunjuk padanya. Di sisi lain Dwara kembali menemui rivalnya, merundingkan tentang latar belakang asal muasal Askara yang cukup mengejutkan. "Apa?! Kau tidak salah berbicara 'kan?" Baduga, salah satu sepuh pendekar adiwira yang tingkatnya sejajar dengan Dwara seketika terhentak mendengar berita itu. "Aku serius. Firasat ini muncul saat anak itu terus meracau saat tidur. Di mana sebelumnya aku sempat menceritakan tentang kisah adiwira kujang si penghianat itu," balas Dwara yang kemudian mengembuskan napas gusar. Ia tak menyangka, deretan hal rumit muncul semenjak Askara jadi muridnya. "Apa kau su
Read more
37. Putra Aditya
Askara terlihat diam mematung sejak tadi. Padahal beberapa waktu sebelumnya, Dwara sempat mengobati jemari tangan pemuda itu yang terluka. Tak habis pikir kenapa Askara sampai sibuk melukai diri sendiri. Tetapi di sisi lain Dwara faham, lelaki itu mungkin butuh waktu untuk menerima keadaan."Untung saja jarimu tidak patah. Lain kali jangan gunakan pohon kelapa sebagai sasaran tinjumu. Itu tak bagus," ucap Dwara. Muridnya itu masih terdengar hening tak menggubris perkataan sang sepuh.Dwara menghela napas panjang menanggapi itu. Ia lebih suka Askara yang berisik seperti biasanya — meskipun terkadang suka menistakan gurunya sendiri. Kini Dwara membuat target untuk mempertahankan Askara.Berharap pemuda itu tidak berkhianat seperti Ayahnya dulu."Apa-apaan?" gumam Askara di sela renungannya. Lantas ia mengusap gundah wajah sendiri. Sulit menerima kebenaran jika sebenarnya ia adalah putra seorang adiwira penghianat."Pantas saja aku dan Ashoka ti
Read more
38. Ingatan Adiwira
[He manusa, mana kaniaya teuing ...] [Teu aya ras-rasan ...] [Kaula pake disumpit ...] [Naha naon dosa kula ...] "Ibu!" teriak Askara yang seketika bangun dari posisi berbaringnya. Pemuda itu mengedarkan mata, bukan lagi langit-langit gua batu yang terlihat. Melainkan air terjun dengan rumpunan daun yang menjadi tirai kedua sisinya. Askara sudah tak asing lagi dengan tempat keberadaannya sekarang. Bunga wisteria ungu yang menjulang tinggi sampai rimbunannya menutup awang-awang, sehingga sekilas telihat membentuk gua bunga yang menawan. "Tempat ini lagi ya?" gumam pemuda itu. Lantas setelahnya ia bangkit dan sibuk mengedarkan pandangan. Berusaha mencari alunan senandung yang ia dengar sebelumnya. Tembang pupuh yang berhasil mengingatkanya pada sang ibu. "Ibu?" "Ibu!" panggil Askara menyeru lebih kencang. "Tak ada ibumu di sini." "HUWAA!" Askara memekik sampai tubuhnya terjungkal ke belakang. Bagai bertemu
Read more
39. Cinta Pertama
"Kalau aku yang menyanyikannya, kau akan percaya?"   Hening seketika. Keduanya tak terdengar berbicara lagi setelah itu.   "Tunggu sebentar, maksudmu apa, Paman? Kau yang sejak tadi bernyanyi tembang itu? Dari mana kau tau?" tanya Askara memastikan.   Lantas Abiseka tertawa cekikikan sampai bahunya naik turun. "Dasar pelupa," katanya sambil mengetuk kening Askara di sela tawanya.   "Dulu aku pernah bilang, akulah yang mengajari Ibumu kawih-kawih sunda. Bahkan tembang pupuh sekalipun, aku yang mengajari semuanya." Abiseka pun mendongkak, menatap langit-langit yang dipenuhi rimbunan bunga wisteria. Sesekali kerut bibir pria itu terangkat karena terbawa jauh akan lamunannya itu.   "Woahh, Paman ... Kau ternyata yang mengajari Ibu. Kalau boleh tau sedekat apa kau dengan Ibuku?"   "Yaaah, aku hanya mengajarinya tentang syair-syair dan sedikit ilmu bela diri. Itu s
Read more
40. Pasangan Terbaik
"Namanya ..."" ... Anjani."Sontak pemuda itu membisu, tubuhnya mendadak diam mematung seiring otak berusaha mencerna ucapan Abiseka. Nama yang disebutkan pria itu, sepertinya Askara jelas tak asing lagi. Tidak. Bukan tak asing lagi, nama itu sudah melekat erat dalam hatinya."A-Anjani?" tanya lelaki itu penuh penekanan."Iya. Dia cinta pertamaku." Lagi-lagi Abiseka memejamkan mata, mungkin ia mendapat kenangan indah. Sosok yang ia idamkan sepertinya muncul dalam benak dan berhasil menghiasi lamunannya."Anjani? T-tidak mungkin!"Pria dengan ikat kepala bercorak batik mega mendung itu menatap Askara lewat senyum mesem. Sedangkan Askara, ia membisu dengan mulut terbuka, melemparkan tatapan seolah mengatakan 'tak kuduga'."Anjani ..." Askara memegangi kepalanya yang mendadak terasa sedikit pusing. Meski sebagian ingatannya dihapus pun, tetap saja ia ingat pasti siapa sosok perempuan itu."Ibu?!" pekik Askara sambil bangun dari p
Read more
PREV
123456
...
15
DMCA.com Protection Status