Semua Bab Pendekar Dua Jiwa: Bab 11 - Bab 20
146 Bab
10. Suara Malam
Cao Cao meluncur menuju tempat penggalian makam. Belum sampai ke tujuan, nyala obor di tengah hujan membuat langkah melambat. Tiga pasukan memeriksa mayat teman mereka. Seketika kerongkongan Cao Cao kering. Dia bukan pendekar, tidak terlalu jago bermain pedang. Menghadapi satu atau dua pasukan dia bisa, tapi tiga terlalu banyak. Hanya dengan kejutan dia bisa menang. "Kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya Cao Cao. Dia memandang bingung ketiga pasukan. Akan tetapi ketiga pasukan menjaga jarak, mundur. Mungkin mereka mengetahui apa yang terjadi? Begitu isi kepala Cao Cao. Satu dari mereka menjawab, "Lapor Tuan, kami menemukan mayat teman-teman--" "Bagaimana dengan kuburan pesananku, beres?" sela Cao Cao, melangkah pelan mendekat. Pria itu memandang kedua temannya di belakang, lalu menjawab, "Kami berhasil membuat makan itu dengan baik." Cao Cao mengangguk, sembari tersenyum pelan. Dia menepuk pundak pria itu. "Ke
Baca selengkapnya
11. Hati Pasukan
Nu An melihat Cao Cao membunuh teman-temannya. Dia bersembunyi di kegelapan malam. Setelah dirasa aman, dia bergegas pergi dari sana. Dia harus menceritakan apa yang dia lihat kepada Jenderal Lu Bu. Beruntung di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang bocah di atas kuda, tepat di bawah pohon tua besar. "Bocah, aku pinjam kudamu!" bentak Nu An. Bocah menggeleng. "Ini kuda Kakakku" "Mana Kakakmu?" tanya Nu An. "Itu, di sana." Nu An berjinjit melihat semak. Di sana nyala obor nampak terang, sepertinya lokasi itu memang menjadi tempat ideal untuk membuang kotoran. "Ayo turun, nanti aku kembalikan." Bocah kecil menggeleng.  "Aku bayar lima keping tembaga, mau?" tanya Nu An. Bocah itu menggeleng. Sikap ini membuat Nu An geram. Diam enarik jatuh bocah kecil dari atas kuda, lalu menggantikan bocah itu di pelana. "Pencuri kuda!" teriak bocah, menarik kaki Nu An.  Sua
Baca selengkapnya
12. Taois Tua
"Berani sekali kalian memperebutkan Kaisar?" Suara itu menggema di hutan yang gelap. Baik pasukan penunggang kuda dan Cao Cao menoleh ke berbagai arah, mencari sumber suara. "Keluar kamu!" bentak penunggang kuda. Dari kegelapan muncul selendang putih memukul mata penunggang kuda. Seorang pria tua melayang di udara, menendang jatuh penunggang dan mendarat ke pelana kuda sebelum Bian terjatuh. Dari pakaiannya pria tua itu petapa Taoist. "Keparat!" Pasukan hendak menyerang petapa. Petapa menyentil kerikil menembus kening penyerang. Seketika badan penyerang ambruk. "Haiya, aku membunuh satu makhluk. Semoga Dewa mengampuniku." Cao Cao memungut pedang, mendekati petapa memberi hormat. "Guru, terima kasih karena datang menolong. Sekarang biar aku--" "Kamu kira aku tidak tahu siapa bocah ini? Sekarang ikuti aku, kita harus segera menolongnya." Petapa melayang ke udara, menghilang ditelan kegelapan malam. Cao Cao
Baca selengkapnya
13. Bejana
Seorang pria paruh-baya dengan panik menggendong Sima Zhou yang terluka parah masuk ke rumah. "Petapa Zuo Ci, tolong anak saya!" Seketika Cao Cao memberi jalan baginya untuk masuk. Dia enggan keluar, penasaran dengan apa yang terjadi. Terutama dia melihat sosok yang Sima Yi bawa, bocah kecil itu, Cao Cao menginginkan bocah itu sebagai bejana, Petapa bangkit menggusur gelas di atas meja untuk mempersiapkan meja sebagai kasur dadakan. "Mari temanku, taruh sini, biar aku periksa Sima kecil." Petapa membuka pakaian anak kecil di atas meja untuk memeriksa kondisi. Suara detak yang tidak teratur dan begitu tipis serta darah yang keluar semakin banyak dari luka membuatnya cemas. "Gawat, tenaga chi-nya terlalu kecil." Telapak tangan petapa berputar mengumpulkan energi sebelum mendarat ke dada kiri bocah. Asap putih keluar dari sana dan membuat badan petapa bergetar hebat. Darah segar keluar dari kedua sisi bibir petapa menetes membasahi pakaian, tapi beliau t
Baca selengkapnya
14. Transfer Ruh
Cao Cao menarik Sima Shi mendekat. "Adik, sebenarnya apa yang terjadi pada adikmu?" "Tadi kami bertemu pencuri kuda, dan ... pencuri itu menyabet Adik memakai benda ini." Sima Shi mengeluarkan pedang yang dia pungut di jalan, pedang yang masih berlumur darah Zhou. "Aku benar-benar menyesal. Andai aku mampu menahan sakit perut maka--" Cao Cao membungkam mulut Shi. "Semua takdir, bukan salahmu, Nak." Terlebih jika tidak ada insiden itu, Cao Cao belum tentu mampu membawa pulang bejana untuk Bian. Dia ingin berterima kasih pada Shi, tetapi melihat bocah itu menangis, Cao Cao tidak tega. Dia bukan monster yang mampu melakukan itu. Cao Cao memeriksa pedang dan seketika tahu dari lambang di badan gagang, pedang itu milik pasukan berkuda. Sekarang tangannya bergetar memikirkan apa yang terjadi. Mungkin pasukan itu sudah sampai Hu Lau, atau bahkan ke Luo Yang memberi tahu apa yang terjadi kepada Dong Zhuo "Petapa, cepat sedikit!" sentak Cao Cao. 
Baca selengkapnya
15. Hu Lau
Cao keluar dari gubuk sembari membawa badan Bian. Melihat puluhan pasukan berkuda mengelilinginya membuat kaki Cao Cao lemas, tapi dia tetap melangkah mendekati Lu Bu. "Pengkhianat, berani kau--" "Jenderal Lu Bu, apa salahku sampai kau menghinaku sebagai pengkhianat?" "Masih berkelit? Kau kira aku tidak tahu, kau membunuh pasukanmu sendiri lalu bermaksud kabur bersama Bian, kan?" Ucapan Lu Bu menembus akal pikiran dan membuat hati Cao Cao terguncang, ternyata bocah bodoh seperti Lu Bu bisa berpikir cukup jauh di saat seperti ini. Dia terbahak lepas sampai membuat pasukan berkuda bingung. "Kabur? Kamu salah Jenderal, aku tidak akan kabur. Lagi pula kabur ke mana? Seluruh dunia berada di bawah kaki Perdana Menteri sekarang." Lu Bu ytertawa kencang. "Dunia tidak berada di bawah kakinya, tapi dalam genggamanku. Cukup, sekarang jelaskan apa alasanmu membunuh pasukan-pasukan itu." Ujung tombak Lu Bu terangkat nyaris menyentuh leher C
Baca selengkapnya
16. Beruang Bodoh
Setelah dipastikan itu adalah Bian, mereka lanjut menuju Luo Yang, Ibukota. Di pagi hari mereka tiba di tujuan dan langsung menuju ke kediaman perdana menteri. Cao Cao semakin cemas ketika Li Ru memerintahkan pasukan elit untuk menjaga setiap pintu keluar, bahkan Lu Bu tidak melepas tombak ketika berada di kediaman perdana menteri. Li Ru tidak melepas pandangannya dari Cao Cao, mengawasi perubahan raut wajah. Li Ru terkenal sebagai seorang cendikiawan cerdas juga mengerti beberapa ilmu aneh. Bisa dibilang jika Lu Bu adalah otot Dong Zhuo, Li Ru otak dari Dong Zhuo. "Heh, ada apa ini?" tanya Dong Zhuo, pria gendut buruk rupa berjenggot hitam lebat seperti jenggot singa. Sembari melangkah dia mengamati Liu Bian yang terbaring kaku dia tertawa. "Bagus Lu Bu, kau berhasil membunuh cecunguk ini." Li Ru menyeringai ketika Cao Cao mengepal erat gagang pedangnya. "Itu memang Liu Bian, dan Cao Cao yang membunuhnya. Masalahnya adalah, kenapa mata Bian h
Baca selengkapnya
17. Bian dan Zhou
Sima Zhou terbangun di tempat yang tidak pernah dia datangi.Lahan hijau di mana langit berwarna biru cerah. Di sana ditumbuhi banyak pepohonan cherry yang bergoyang pelan tertiup angin sepoi hangat. Terdengar kicau burung bersahutan di tengah aroma bunga yang tumbuh di sekitar."Apa ini surga?" Dia berdiri merapikan pakaian yang kotor sembari melangkah mengitari taman yang seakan tanpa batas. "Ah, yang penting lukaku hilang. Surga yang sepi, apa semuanya masuk neraka?"Sayup dari kejauhan terdengar suara merdu suling bambu, membuatnya berlari kencang menuju sumber suara.Semakin lama dia berlari keadaan di sekitar perlahan berubah. Langit cerah berangsur gelap. Pepohonan cherry perlahan tergantikan oleh pepohonan pinus. Dia sampai memeluk badan karena udara semakin menusuk kulit.Langkah Zhou melambat ketika melihat seorang pemuda duduk di gazebo di tengah danau. Ia mendekati danau yang sangat jernih hingga memantulkan pemandangan langit bertabur
Baca selengkapnya
18. Munculnya Naga
Suara itu membuat Zhou bergidik. Dia panik berlari memutari Bian. "Waa! Ada hantu!" Zhou bersembunyi di belakang badan Bian yang lebih tinggi darinya. "Tolong Bian, tolong! Aku paling takut hantu!"Bian tersenyum kecil. Aksi Zhou mengingatkan pada seseorang yang sangat dia sayangi, sosok pengecut yang benci kegelapan.Akan tetapi Bian juga sama dengan Zhou. Dia berdiri dengan badan bergetar karena dia sendiri ngeri. Di tangan kanan muncul sebilah pedang. Dia harus melindungi bocah yang lebih kecil, dengan bersikap berani. "S-siapa kamu! Tunjukkan rupamu!""Pedang?" suara lembut itu terdengar kaget dan suara tawanya menggelegar, sampai batuk-batuk. Setelah batuk hilang dia lanjut bicara, "Cukup berani, ya kalian melawan diriku? Berdua lawan satu, apa itu adil?”“Kami masih kecil, apa kamu orang dewasa? Atau juga anak kecil? Jika anak kecil, baiklah, aku akan maju sendiri,” ucap Bian, membuat bungkam suara aneh tadi.“Baiklah
Baca selengkapnya
19. Dunia Lain
"Kami mengganggu acara tidurmu, kan?" tanya Bian. Sang Naga berhenti berputar. "Ho, iya, gara-gara restoran busuk ini!" kasar ekornya menghancurkan restoran Zhou hingga menjadi puing-puing. Liu Bian tersenyum mendekati Naga. "Bian!" teriak Zhou berusaha menarik lengan sahabatnya. "Apa kau gila? Nanti kau bisa dimakan!" "Qiu Niu," tegur Bian. "Eeh?" Naga itu terdiam. "B-bagaimana kamu bisa tahu?" "Bian, apa maksudmu?" tanya Zhou. "Nu Nu siapa?" "Berengsek!" sentak Qiu. "Namaku Qiu!" "Qiu, aku tahu kamu menyukai musik. Bagaimana kalau aku memainkan musik untukmu?" ujar Bian. "Kamu mau?" tanya Qiu. Matanya tertuju pada suling di tangan Bian. "Jadi kamu ya, yang bermain tadi?" Bian mengangguk. "Tapi dengan syarat." "Apa syaratnya?" tanya Qiu. "Pertama, aku minta kamu membantu kami pergi ke bumi. Kedua, jangan menyerang kami. Ketiga, jadilah sahabat kami." "Kenapa tidak jadikan dia pem
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status