Sima Zhou terbangun di tempat yang tidak pernah dia datangi.
Lahan hijau di mana langit berwarna biru cerah. Di sana ditumbuhi banyak pepohonan cherry yang bergoyang pelan tertiup angin sepoi hangat. Terdengar kicau burung bersahutan di tengah aroma bunga yang tumbuh di sekitar.
"Apa ini surga?" Dia berdiri merapikan pakaian yang kotor sembari melangkah mengitari taman yang seakan tanpa batas. "Ah, yang penting lukaku hilang. Surga yang sepi, apa semuanya masuk neraka?"
Sayup dari kejauhan terdengar suara merdu suling bambu, membuatnya berlari kencang menuju sumber suara.
Semakin lama dia berlari keadaan di sekitar perlahan berubah. Langit cerah berangsur gelap. Pepohonan cherry perlahan tergantikan oleh pepohonan pinus. Dia sampai memeluk badan karena udara semakin menusuk kulit.
Langkah Zhou melambat ketika melihat seorang pemuda duduk di gazebo di tengah danau. Ia mendekati danau yang sangat jernih hingga memantulkan pemandangan langit bertabur
Suara itu membuat Zhou bergidik. Dia panik berlari memutari Bian. "Waa! Ada hantu!" Zhou bersembunyi di belakang badan Bian yang lebih tinggi darinya. "Tolong Bian, tolong! Aku paling takut hantu!"Bian tersenyum kecil. Aksi Zhou mengingatkan pada seseorang yang sangat dia sayangi, sosok pengecut yang benci kegelapan.Akan tetapi Bian juga sama dengan Zhou. Dia berdiri dengan badan bergetar karena dia sendiri ngeri. Di tangan kanan muncul sebilah pedang. Dia harus melindungi bocah yang lebih kecil, dengan bersikap berani. "S-siapa kamu! Tunjukkan rupamu!""Pedang?" suara lembut itu terdengar kaget dan suara tawanya menggelegar, sampai batuk-batuk. Setelah batuk hilang dia lanjut bicara, "Cukup berani, ya kalian melawan diriku? Berdua lawan satu, apa itu adil?”“Kami masih kecil, apa kamu orang dewasa? Atau juga anak kecil? Jika anak kecil, baiklah, aku akan maju sendiri,” ucap Bian, membuat bungkam suara aneh tadi.“Baiklah
"Kami mengganggu acara tidurmu, kan?" tanya Bian. Sang Naga berhenti berputar. "Ho, iya, gara-gara restoran busuk ini!" kasar ekornya menghancurkan restoran Zhou hingga menjadi puing-puing. Liu Bian tersenyum mendekati Naga. "Bian!" teriak Zhou berusaha menarik lengan sahabatnya. "Apa kau gila? Nanti kau bisa dimakan!" "Qiu Niu," tegur Bian. "Eeh?" Naga itu terdiam. "B-bagaimana kamu bisa tahu?" "Bian, apa maksudmu?" tanya Zhou. "Nu Nu siapa?" "Berengsek!" sentak Qiu. "Namaku Qiu!" "Qiu, aku tahu kamu menyukai musik. Bagaimana kalau aku memainkan musik untukmu?" ujar Bian. "Kamu mau?" tanya Qiu. Matanya tertuju pada suling di tangan Bian. "Jadi kamu ya, yang bermain tadi?" Bian mengangguk. "Tapi dengan syarat." "Apa syaratnya?" tanya Qiu. "Pertama, aku minta kamu membantu kami pergi ke bumi. Kedua, jangan menyerang kami. Ketiga, jadilah sahabat kami." "Kenapa tidak jadikan dia pem
Zhou selalu hiperaktif, jadi dengan mudah dia bisa menarik kerah pakaian Bian dan menariknya jatuh. Dia mengejek dengan mengeluarkan lidah kepada pemuda itu."Apa-apaan kamu, Zhou!" sentak Bian."Biar aku saja. Qiu, jaga Bian ya!" Dan dengan loncatan kelinci, dia masuk ke gerbang."Zhou!" teriak Bian, merangkak maju hendak menggapai sahabatnya. Akan tetapi pintu kehidupan tertutup rapat.Dia mencoba mendorong, mendobrak, menarik, tetapi semua sia-sia.Semua itu hanya menguras tenaga Bian, hingga dia ambruk memukul tanah. "Dasar bodoh!""Ah, persahabatan yang indah." Qiu duduk bersandar pohon sembari memangku satu kaki. Dia bersenandung lagu favorit-nya. Cang hai yi sheng xiao.Perbuatan yang seakan tidak peduli dengan nyawa sahabatnya ini membuat Bian lepas kendali. Dia mencengkeram kerah pakaian naga itu sampai Qiu berdiri. "Kamu, kenapa tidak membantuku mencegah si bodoh itu?""Kenapa harus dicegah?" tanya Qiu, memasang wajah
"Dasar bocah nakal!" sentak Sima Yi, menjewer telinga Sima Zhou. Dia mengira Zhou memanggilnya dengan sebutan berengsek. "Kamu sudah bangun rupanya, hmm? Berani sekali kamu bicara seperti itu kepada Ayah dan Kakek Zuo Ci!" "Ayah, Ayah, ampun, ah, sakit!" Dengan manjanya Zhou meringis, berdiri mengikuti jeweran Ayah yang sangat menyiksa sendi-sendi telinga. Dia bertekuk lutut. Bibir bawah melipat keluar cemberut. Di tengah keramaian Bian berkata dengan nada serius. 'Zhou, tolong jaga rahasia keberadaan kita. Cukup kita yang tahu. Kamu mengerti?' "Ayo sekarang minta maaf pada Kakek Zuo Ci!" sentak Sima Yi, sebenarnya air mata yang keluar adalah air mata bahagia karena anaknya telah siuman. Tapi Sima Yi malu, alhasil dia marah-marah tidak jelas. "Masih kecil sudah badung! Seenaknya sendiri memanggil berengsek, memang dia berengsek tapi jangan jujur-jujur." "Apa?" Sahut Zuo Ci yang duduk di kursi. "Maksud aku, bocah ini berengsek." Sima Yi mencubi
Zhou dan Shi sampai di perempatan jalan. Begitu ramai jalan itu dipenuhi orang-orang yang membawa buntalan, juga kotak-kotak besar. Antrian gerobak terjadi karena tidak bisa jalan. Zhou mencari tahu sumber kemacetan. Ternyata gerobak terdepan yang ditarik kerbau, ban-nya rusak. Puluhan pemuda berusaha mendorong gerobak ke tepi jalan. "Ayo Kkita bantu mereka!" ajak Zhou dengan penuh semangat, tanpa memperhitungkan siapa mereka. Yang dia tahu orang butuh bantuan harus ditolong. Kehadiran bocah itu tidak banyak membantu, akan tetapi Shi yang lebih dewasa mampu memberi sedikit kekuatan untuk menyingkirkan gerobak. "Haah, dasar lemah. Minggir!" Seorang pemuda kekar datang. Ototnya sebesar batu sungai. Walau wajah belum berjenggot, dia berani menarik mundur orang-orang yang lebih tua. "Hei, anak muda, bisa apa kamu, hah?" tanya seorang tua. "Bisa begini!" Dia mengangkat gerobak seorang diri ke tepi jalan. Aksinya menyita perhatian. S
"Aku beli lima!" Sejenak Zhou merasa di atas angin ketika banyak orang memandangnya sambil bertepuk tangan. Gaya berjalan Zhou seperti juragan tanah membawa bungkus bakpao. "Minggir!" teriak seorang pasukan berkuda, membuka jalan untuk beberapa penunggang kuda lain. Zhou yang kurang sigap terlambat menyingkir dari jalan hingga dia terjungkal ke belakang. Kantung berisi bakpao jatuh ke comberan, dua bakpao terinjak injak tapal kuda. Belum sempat dia memungut yang tersisa, beberapa tangan merebut bakpao, hingga Zhou hanya bisa mengambil dua bakpao. Satu masih bagus satu sudah kotor terjatuh. "Manusia biadab! Merebut bakpao dari anak kecil!" "Yang sudah di tanah, bebas diambil orang!" Begitu jawab pemungut bakpao, melahap habis makanan itu. Andai Zhou punya ilmu silat pasti sudah menghajar mereka semua. "Heh, bocah," ucap penjual bakpao, menaruh satu bakpao ke kepala Zhou. "Anggap bonus, sudah sana, kembali ke kelo
Ujung tajam pedang Qiao mengarah ke tangga yang gelap. Sebagai yang lebih tua, dia ingin melindungi Zhou. "Siapa di sana, keluar atau kuhajar!" Suara langkah terdengar mendekat. Sosok Shi menuruni tangga sambil membawa mangkuk berisi nasi. Suaranya terbata-bata ketika menjawab. "A-ahm, maaf. Apa nona melihat adikku?" Zhou langsung melepas gandengan Qiao, meluncur menarik tangan Kakaknya mendekat. "Kak, tadi aku diberi makan sama Kak Dendeng. Enak sekali loh, mantaunya. Tadi aku mau minta lagi--" "Kamu meminta makanan pada Nona ini?" Shi menepuk kasar kepala Zhou. "Siapa yang mengajarimu mengemis?" Qiao menangkap tangan Shi yang nakal, menahan supaya tidak menganiaya
Bagai semut yang mengerumuni tumpahan kuah sop, para warga berkumpul memadati satu sudut pasar. Kebanyakan dari mereka lelaki, tua muda, campur aduk dan berteriak histeris sambil membawa koin-koin perunggu yang diikat menjadi satu. Dia melihat sosok pembawa ayam masuk ke sana, membuatnya mendatangi kerumunan. Badan Bian kecil jadi bisa dengan mudah merangsak maju. Pagar bambu mengelilingi lahan kecil. Di sana terdapat dua ayam jago yang saling menyerang. Keji, sungguh biadab, para manusia memaksa mereka untuk saling melukai. Untung tidak sampai terbunuh. Ayam yang menjatuhkan tujuh bulu, kalah. Bulu besar, bukan yang lembut, kecil dan mudah tertiup angin. Lucu juga melihat ayam yang kalah, seperti bisa bicara, aku menyerah aku menyerah, sambil melangkah menjauh dan kepalanya maju mundur, menghindari serangan lawan. “pemenangnya, si hitam!” teriak seorang pria yang membawa bendera. Dua pemuda mengambil ayamnya. Pemuda pemilik ayam yang kalah marah-mara