All Chapters of Tergoda Cinta Teman Satu Kantor: Chapter 11 - Chapter 20
23 Chapters
11. Kode dari Andeas
Aku melihat suasana yang lebih cozy di kantin ini. Kantinnya para petinggi perusahaan. Sekilas ini tidak nampak seperti kantin. Lebih mirip kafe. Meja dan kursinya saja didesain berbeda dari kantin yang di lantai empat. Bahkan di sayap kanan menggunakan sofa panjang sebagai tempat duduknya. Mataku mengedar berharap menemukan Asta di kantin ini. Menyisir dari meja paling depan. Orang-orang yang berada di sini wajahnya tampak asing. Ada beberapa yang pernah aku lihat. Jarang, tapi pernah sesekali. Dan di meja yang terletak di tengah-tengah, aku menemukannya. Asta! Aku memperhatikannya tanpa berkedip. Dia duduk berhadapan dengan seorang wanita. Namun, aku tidak melihat wajah wanita itu lantaran posisinya membelakangiku."Ayo, kita ambil makanannya," ajak Andeas menyentuh lenganku. Perhatianku teralihkan, dan aku mengiyakan ajakan Andeas menuju tempat berbagai makanan disajikan.Makanan yang ada di sini berkonsep buffet dengan menu yang lebih bervariasi daripada di kantin karyawan biasa.
Read more
12. Tanda Merah
Wajah Asta tampak lelah saat aku membukakan pintu untuknya. Dasinya sudah melonggar dengan kancing atas kemeja yang sudah terbuka. Jas hitamnya tersampir pada lengannya. Aku dengan sigap meraih tas dan jas itu. "Mau makan dulu atau mandi dulu, Mas?" tanyaku saat kami berjalan masuk kembali ke rumah. "Mandi," Asta menjawab singkat. Nadanya tak semangat. Langkahnya dengan gontai menaiki satu per satu anak tangga. Aku tidak mengikutinya dan hanya berdiri di tengah ruangan sembari memandanginya. Dan ketika berada di tengah tangga, langkah Asta terhenti. Lelaki itu menoleh padaku yang masih di bawah. "Kamu udah makan?" tanya dia kemudian. Aku pikir dia melupakan sesuatu. Mau tidak mau pertanyaannya membuatku tersenyum tipis. "Udah kok, Mas. Mau aku hangatkan sayur?" "Boleh. Tapi aku mandi dulu." Aku menyiapkan makan malam Asta sembari menunggunya turun. Sekitar lima belas menit kemudian dia turun dan sudah berganti pakaian santai. Wajah lelah yang sempat aku lihat berubah menjadi waja
Read more
13. Menangis di Ruang Manajer
Aku nggak bisa berhenti memikirkan tanda merah kehitaman di belakang leher Asta. Satu jam di depan layar komputer aku hanya bengong nggak menghasilkan konten apa pun. Selama ini praduga-ku nggak menghasilkan bukti apa-apa. Maksudnya aku nggak pernah menemukan sesuatu yang janggal kecuali Asta yang selalu pulang telat atau Asta yang selalu menolak jika diajak berhubungan badan. Namun, pagi tadi dengan mata kepala sendiri aku melihatnya. Aku nggak mungkin salah mengenali tanda itu. Aku yakin 100 persen itu adalah kissmark. Tanpa sadar tanganku mengepal. Dadaku naik turun menahan sesak. Rasanya nggak percaya saja kalau dia selingkuh. Meskipun aku kerap kali berpikir dia selingkuh. Sekarang pikiran itu malah menjadi kenyataan. "Mungkin cuma digigit serangga kali, Ra," ujar Ralin ketika aku meneleponnya. Aku terpaksa izin ke toilet hanya untuk menelepon Ralin. Aku enggak tahan untuk enggak menumpahkan kekesalanku. "Serangga apaan?! Gue bisa bedain kali mana itu gigitan serangga, mana itu
Read more
14. Pesta Ulang Tahun Lula
Aku terlalu malas untu menjawab pertanyaan Asta. Oleh karena itu aku memutuskan untuk kembali beranjak tanpa peduli dengan kemeja putih Asta yang kotor."Raya, tunggu."Dia hendak mengejarku. Namun, seseorang yang memanggilnya menghentikan langkahnya. Aku sempat menoleh padanya sebelum masuk ke toilet. Dia menoleh padaku juga, sebelum fokusnya teralihkan pada seseorang yang kini di hadapannya.Dia hampir saja membuat segalanya kacau. Seandainya orang yang datang tadi curiga, aku bisa terancam dikeluarkan dari perusahaan ini.Aku menatap wajahku yang kacau dari pantulan cermin. Mengambil facial face dari dalam pouch kosmetik, aku membersihkan mukaku yang sembab. Setelahnya aku membenarkan make-up yang berantakan dengan memoles kembali chussion. Terakhir aku memoles liptin secukupnya. Chussion mahalku ampuh untuk menutup mata sembab. Hanya diberi sedikit eyeshadow ringan, wajahku kembali terlihat fresh.Aldo, Arip, dan Debi saling tatap melihatku kembali ke meja. Sejurus kemudian mereka
Read more
15. Mengantar Pulang
Sekitar pukul sembilan malam acara ultah sekaligus acara tunangan Lula benar-benar selesai. Tidak seperti pesta pada umumnya yang biasa selesai larut. Satu per satu tamu dari keluarga calon suami Lula dan juga paman-paman dan bibi-bibi Lula pamit. Aku sendiri membiarkan Lula mengantar mereka dan memilih duduk di pojokan sofa sembari mengutak-atik ponsel. Rasanya aku enggak beranjak pulang. Lagi nggak ingin bertemu Asta. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari lelaki itu, tapi aku abaikan dan nggak berniat menghubunginya balik. Aku benar-benar malas. Aku baru akan menggulir layar sejenak saat panggilan dari Asta kembali masuk. Dia pasti sudah ada di rumah dan ingin tahu keberadaanku. Buat apa sih? Kenapa dia peduli padahal sudah berkhianat? Lula menghampiriku ketika dia selesai mengantar tamu-tamu pentingnya. "Lo nggak balik?" "Bentar lagi," sahutku menonaktifkan ponsel agar nggak ada gangguan dari Asta lagi. Aku menatap Lula dan tersenyum menggoda. "Gue nggak nyangka lo bakal jadi
Read more
16. Malas Berdebat
Pintu tidak dikunci saat aku membukanya. Itu artinya Asta sudah ada di rumah. Aku langsung naik ke atas, menuju kamar. Ingin segera membersihkan diri lantaran seharian ini belum mandi. Aku menemukan Asta duduk bersandar pada tempat tidur. Kakinya lurus dan saling bertumpu. Di atas pangkuannya terdapat sebuah laptop yang layarnya terbuka. Aku tidak peduli dan terus berjalan menuju meja rias. Melepas printilan aksesoris yang kupakai sebelum beranjak ke kamar mandi. "Kenapa teleponku nggak diangkat?" tanya Asta. Lelaki itu belum bergerak dari posisinya. "Baterku low, jadi ponsel aku matikan.""Lalu kenapa tadi bisa pulang bareng Andeas? Kalian—" "Kebetulan Andeas itu sepupu Lula dan kami bertemu di acara Lula," jawabku cepat. Sumpah aku lagi malas ngomong sama dia. Aku bahkan menjawab semua pertanyaannya tanpa menoleh padanya. "Lalu—" "Aku mau mandi," potongku sebelum ada pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku makin muak. Aku bergegas ke kamar mandi, meninggalkan Asta yang mungki
Read more
17. Emosi
Hari ini kerjaan cukup hectic. Aku juga terpaksa harus mempelajari draf fail yang akan Debi presentasikan lantaran wanita itu izin nggak masuk hari ini. Bolak-bolak aku ke ruangan Andeas memastikan semuanya agar lebih matang. "Semangat ya, ini sedikit amunisi biar lo enggak gemetaran di depan Pak Asta." Aldo menyodorkan minuman isotonik ukuran kecil kepadaku. Padahal Asta nggak semenyeramkan itu sampai harus aku takuti."Terima kasih." Aku memang deg-degan. Tapi bukan deg-degan lantaran takut presentasiku gagal, lebih ke takut tidak bisa mengontrol emosi di depan Asta nanti. "Minuman lo lumayan membantu, Do," ujarku setelah meneguk beberapa kali minuman isotonik pemberian Aldo. "Sudah siap? Yuk, kita ke ruang meeting sekarang." Aku menoleh ketika Andeas muncul. Hari sudah beranjak siang, tapi penampilan laki-laki itu masih saja segar seperti baru pertama kali datang. "Siap, Pak." Aku menutup botol minuman dan menyimpannya di atas meja. Lalu segera menyambar laptop dan menyusul An
Read more
18. Es Krim
Aku nggak suka melihat wajahnya yang pura-pura polos itu. Dia spontan mengusap lehernya sendiri. Dengan raut bingung, entah itu hanya dibuat-buat atau bingung beneran. Tapi, justru makin membuatku kesal. "Tanda apa sih, Ra?" tanya dia mengerutkan dahi. Kenapa sih dia mesti pura-pura? Aku nggak bodoh! "Tanya aja sama selingkuhan kamu!" Asta menyipitkan mata. "Selingkuhan apa? Kamu jangan ngadi-ngadi ya, Ra." "Kamu tau pas aku mual pagi-pagi? itu karena aku jijik melihat tanda merah di leher kamu." "Tanda merah apa sih, Ra?" Ternyata Asta menyangkal. Padahal jelas-jelas aku melihat buktinya. Entah itu tanda yang dibuat sadar atau enggak, yang pasti itu tampak dengan jelas di mataku. Dan aku nggak bodoh buat mengsalah-artikan tanda apa itu. Aku menggeram dan tidak ingin membuang waktu berdebat dengan Asta soal pribadi di kantor. Segera aku mengayunkan kaki menuju pintu keluar. "Ra... Raya..." Aku terus melangkah, mengabaikan panggilannya. Kubanting pintu ruangan Asta dengan ke
Read more
19. Semanis Gula
Aku lumayan syok saat Andeas ternyata mengajakku ke Bakery & Cafe Lula. Reaksi Lula melihat kami berdua masuk ke kafenya sudah bisa aku duga. Dia menyambut kami dengan senyum lebar, tapi matanya tidak berhenti menatapku dengan pandangan bertanya. "Ada yang mau traktir gue makan es krim katanya," ujar Andeas, tidak peduli dengan tatapan curiga Lula. Dia bergerak mencari meja mendahuluiku. Aku yang nggak ingin Lula bertanya macam-macam pun segera beranjak menyusul lelaki yang berprofesi sebagai manajer merketing itu. Namun, aku ternyata kalah cepat dengan tangan Lula yang tahu-tahu sudah menyambar lenganku. "Kok lo ke sini sama Deas nggak sama laki lo?" tanya Lula dengan suara pelan, kedua alisnya bahkan saling tertaut. "Kan lo yang jorogin gue kemarin pulang bareng dia," Aku mendelik sebal. Lula mengangkat kedua alisnya. "Berlanjut?" "Gue nggak tanggung jawab kalau sepupu lo naksir gue."Kini mata Lula melebar. "Serius lo? ada tanda-tanda?" "Gue ada di sini sama dia apa nggak te
Read more
20. Debat
"Kasih aku waktu kamu sepenuhnya buat aku, baru aku akan jauhi Andeas."Itu cuma gertakan sambal. Sumpah, aku nggak ada hubungan apa pun dengan lelaki itu. Minat pun enggak. Tapi melihat Asta kebakaran jenggot seperti ini terasa menyenangkan. "Kamu kan tau kalau aku kerja. Kamu paham enggak sih makin tinggi jabatan seseorang itu akan makin besar pula tanggung jawabnya. Aku bukan makin leyeh-leyeh. Kamu pikir aku ngapain coba?" Aku mengeretakkan gigi di dalam mulut. Apa dia pikir aku tidak tahu. Tapi ya ampun, kesibukannya itu ngalahin presiden? Bahkan weekend pun kadang dia berangkat di saat para stafnya libur. Apa menjadi direktur se-hectic itu? "Kalian mah enak, job desk monoton dan bisa fokus. Kalau aku tetap harus mikir bagaimana cara agar omset terus naik tiap bulannya. Kalau penjualan kurang target siapa yang akan disalahkan? Aku, Ra. Sebagai pemimpinnya. Jadi, jangan kamu pikir pekerjaanku main-main." Asta terus mengomel. Padahal aku cuma minta waktunya. Buat apa dia jungki
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status