All Chapters of Secret Agent Maddox: Chapter 81 - Chapter 90
110 Chapters
Chapter 81. Knowing Something Better
Raymond Gibs tidak sepenuhnya diperlakukan seperti seorang tawanan. Dia bahkan menikmati makan malam bersama dengan mereka. Jimmy memiliki pemikiran lain mengenai menyandera seseorang dan Joe juga Maddox akhirnya menyetujui. Jean juga ternyata cukup memberikan bantuan pada Joe menyiapkan makanan selama mereka berada di pondok. Di balik penampilannya yang mirip dengan laki-laki, ternyata tersimpan potensi besar menjadi seorang chef bakery. Kue buatan Jean sangat lezat dan menyerupai buatan chef bintang lima Michelin. Ini sungguh di luar dugaan, kecuali Maddox yang mengenalnya dengan sangat baik. “Shelby menginginkan aku untuk menemuinya,” cetus Joe seraya menyimpan kembali ponselnya. “Dia sudah bicara dengan Russel?” tanya Jean. “Apakah dia juga mendapatkan bukti dari rumah Kelton?” timpal Jimmy. Joe duduk di antara keduanya dan menggelengkan kepala. “Entahlah, dia tidak bicara banyak. Aku harus menemuinya di kota besok.” Joe meneguk botol birnya dan tampak berpikir keras. “Gibs
Read more
Chapter 82. The Way to A Clean Path
Sudah sehari ini Foxy menyibukkan diri di kamar dan tidak keluar kamar. Ia ingin semua urusan dengan Russel selesai dan dengan begitu, dirinya tidak lagi menanggung beban apa pun. Sementara itu, dia berharap penuh akan bisa melepaskan diri dari Russel, meski hampir mustahil. Foxy menghabiskan bir dan termenung sesaat. Lintasan demi lintasan kesialan datang silih berganti. Dari kematian Josh dan bibinya, Peter dan keputusannya menyerahkan diri. Semua lewat dalam benak Foxy, seperti pengingat mimpi buruk yang selalu hadir sekalipun tidak ia kehendaki. Di tengah pikirannya yang melayang tak bertujuan, tanpa bisa dikendalikan, memori itu kembali pada Maddox dan Joe. Foxy menarik napas panjang, memikirkan bagaimana dirinya bisa terjebak di antara dua pilihan. Terlanjur mengatakan pada Maddox bahwa Joe bukan pria pilihannya, Foxy hanya memikirkan kecewa yang teramat mendalam. Joe pernah membuat dirinya begitu jauh berharap, hingga dia membuat rencana indah untuk masa depan mereka. Sia
Read more
Chapter 83. Blinded Love
Baru saja tiba di tempat dia hendak menemui Shelby, ponselnya bergetar. Joe segera mengangkat, dan urung keluar dari mobilnya. Selama beberapa saat, dia mendengar suara khas Jean yang mengabari dirinya jika Maddox menerima panggilan dari Nick Lang. Joe menanyakan, apa maunya kepala CIA tersebut. Mantan perwira wanita itu kemudian mengatakan, jika Maddox yang akan menyampaikan sendiri nanti. “Oke, thanks, Lockey.” Baru saja ia selesai berkomunikasi dengan Jean, dari jauh, di teras café yang ia kunjungi, Shelby memberikan pertanda untuk menemuinya. Joe keluar dari mobil pick up dan melenggang, sembari menajamkan pandangannya ke sekeliling. Shelby ternyata sudah memesan minuman untuknya. Joe mengambil tempat duduk di sebelah wanita itu, dengan posisi menghadap ke parkiran. “Jangan khawatir, semua aman. Rock membantuku monitor,” ucap Shelby sembari mengarahkan pandangan ke gedung seberang jalan. Joe memicingkan mata dan melihat Rock ada di sana. “Sejak kapan kalian berteman?” tan
Read more
Chapter 84. I’ll Watch Your Back
Joe kembali ke pondok dengan wajah bahagia. Dia tidak mengatakan apa pun, tapi raut wajah itu sudah menuturkan suasana hatinya. “Bagaimana dengan informasi Shelby?” tanya adiknya. Joe menuturkan tentang Russel yang mengubah strategi. Maddox seketika mengumpat pelan. Dia tidak menyukai rencana yang berubah, sebab mereka harus menyusun ulang strategi baru. “Sudahlah, lupakan semua hal untuk sementara waktu.” Pria tua itu meraih sesuatu dari sakunya. “Ini untuk kalian.” Jimmy menyodorkan sebuah kunci dengan gantungan berbentuk bulat yang mulai berkarat. Ada inisial DV di sana. Joe yang mengambil kunci itu terkesima. “Drucho Voller,” tebaknya dengan tepat. Jimmy mengangguk, sementara matanya merebak. “Kunci mustang?” tanya Maddox terkejut, menyadari kesamaan mobil kesukaannya dengan mendiang ayah. “Entah kenapa, pada hari aku mengetahui kendaraan mustang bobrokmu, hal yang kuingat pertama adalah ayah kalian, Mad. Sayangnya, aku belum tahu apa pun saat itu.” Jimmy tersenyum kecut
Read more
Chapter 85. The Twist
Saat Foxy menatap Russel yang tampak begitu gembira, wanita tersebut mulai menduga jika ada yang telah terjadi. Ketika makanan penutup dihidangkan, Arthur memberinya isyarat untuk mulai menyampaikan rencana tahap pertama. Foxy meletakkan garpu dan pisau dagingnya. “Semua pekerjaanku telah selesai. Informasi yang Josh miliki telah ada dalam data komputermu. Segala aset beserta harta yang kau inginkan, sudah menjadi milikmu sepenuhnya.” Russel mengusap mulut dengan lap makan dan tersenyum dengan takjub. Hatinya kian gembira dengan kabar yang Foxy sampaikan. “Tidak terlalu sulit buatmu, bukan?” tanya Russel tersenyum lebar. “Ya.” Foxy mengerahkan keberanian, untuk mengajukan kalimat berikutnya. “Aku ingin menagih janjimu.” Mafia tua itu mengacungkan telunjuknya dengan anggukan cepat. “Sudah kuduga. Kau menginginkan kebebasanmu, bukan?” “Semua orang berhak hidup tanpa kekangan siapa pun, Russ!” Foxy menekankan dengan intonasi yang tajam. “Oke. Tidak perlu melemparku dengan pern
Read more
Chapter 86. Love Between Three
Kedua orang itu duduk di salah satu meja dengan sikap yang kikuk dan sungkan. Maddox yang tadinya biasa memperlakukan Foxy seenak hati, kini tampak salah tingkah. Seorang pelayan menuangkan anggur untuk wanita itu dan Maddox menunggu hingga pelayan itu pergi untuk mulai melemparkan pertanyaan. “Bagaimana Russel bisa melepaskan kau? Kupikir keputusanmu hanyalah satu tiket masuk dan tidak bisa mendapatkan jalan untuk keluar.” Foxy meneguk anggurnya dan wajahnya mengernyit. Anggur itu tidak memenuhi selera lidah Foxy yang menyukai anggur merah chardonnay. “Aku tidak sepenuhnya bebas. Belum. Tapi dia menjanjikan itu setelah aku bertemu dengan tim audit yang telah dia pilih, di kota ini.” Maddox menatap Foxy yang tampak tidak seperti dulu. Tubuhnya sedikit kurus dan rambutnya yang panjang telah ia potong menjadi pendek sebahu. Namun, wanita itu tetap saja menawan. “Aku turut berduka atas kematian Peter,” ucap Maddox dengan pelan. Foxy memalingkan wajah ke arah lain, matanya berkaca-k
Read more
Chapter 87. Deep Emotions
Malam itu semua urusan selesai dengan cepat. Foxy tidak menyangka ada jalan yang terbuka lebar untuknya melepaskan diri dari Russel. Malam sudah begitu larut dan Foxy kembali hotel tempat ia menginap dengan tubuh lelah. Bukan karena banyak hal yang menyibukkan dirinya hari ini. Pertemuan dengan Maddox menyisakan kepahitan yang membuatnya tersiksa. “Oh, Tuhan,” keluhnya sementara memejamkan mata. Sepertinya tidak ada dunia terang yang penuh cahaya saat ini. Hidupnya dalam kegelapan dan rasanya sulit untuk meraih pintu menuju sisi lebih baik. Bukan ini takdir hidup yang ia rencanakan dulu. Semua memudar seiring tuntutan hidup, waktu dan ambisi serakah. Foxy melepaskan sepatu hak tinggi dan gaunnya. Dengan hanya mengenakan pakaian dalam, ia berjalan menuju ke mini bar, lalu meraih botol sampaye. Dirinya sangat butuh sesuatu untuk membuatnya lelap malam ini. Dengan pikiran yang penuh, mustahil ia akan tertidur nyenyak. Foxy pasti akan terjaga sepanjang malam merenungkan semuanya.
Read more
Chapter 88. The New Target
Menjelang pagi, Foxy terbangun dengan kepala berdenyut nyeri. Ia terkapar di lantai berkarpet kamar hotelnya. Semalam ia tidak hanya menghabiskan satu botol sampaye. Sebotol vodka habis berpindah ke perutnya. Rasa mual memenuhi mulutnya. Dengan terhuyung, ia berjalan menuju kamar mandi dan memuntahkan semua isi lambung. Napasnya terengah dan ia duduk bersandar di tembok dingin kamar mandi. Rasa sakit di kepalanya kian bertambah dan rasanya Foxy ingin kembali merebahkan diri. Sekuat tenaga, ia berjalan kembali dan menghempaskan tubuh di pembaringan. Matanya sempat melirik ke arah jam digital yang hotel sediakan di kamar tersebut. Pukul sembilan pagi. Semua laporan telah ia kirimkan tadi malam sebelum melarutkan diri dengan alkohol. Seharusnya ia menelepon Russel untuk mengabari semua, supaya seseorang menjemput di hotel. Namun, satu-satunya hal yang tidak ia inginkan adalah kembali ke pulau yang membuatnya tersiksa tersebut. Ya, Russel tinggal di sebuah pulau terpencil yang ja
Read more
Chapter 89. Pain in Vain
Restoran yang cukup mewah tersebut penuh oleh para manusia berdompet tebal, dengan status dan jabatan tinggi. Pelayan hilir mudik melayani tiap meja dengan kesigapan yang luar biasa teratur dan cepat. Joe duduk di salah satu meja yang ada di sudut ruangan, dekat dengan balkoni. Seorang pria perlente dengan jas hitam rapi dan rambut tersisir ke belakang menemani dirinya. Keduanya menikmati hidangan steak yang paling khas dari restoran tersebut. Daging wagyu dengan grade sembilan, menjadi menu andalan dan paling digemari oleh pengunjung. Joe menghabiskan potongan terakhir, lalu mengusap mulut dengan lap. “Jadi kita berada dalam satu kubu untuk saat ini, Joe?” Senyum Joe terkembang dan meneguk anggur merah dengan gerakan pelan. Cairan yang kini melewati mulutnya, terasa sempurna. “Begitu namamu muncul, aku cukup terkejut, Gurning. Tidak menyangka. Seorang Titus Gurning memilih untuk melepaskan diri dari jaring laba-laba Russel,” puji Joe. Pria yang disebut terkekeh. “Kau yang me
Read more
Chapter 90. Failed to Protect
Rasa sakitnya masih tertinggal dalam hati Joe, ketika mendengar Titus mengabarkan mengenai Heather. Selama dua jam lebih, Joe duduk tidak bergerak di tepi pembaringan. Matanya menerawang jauh, hampa. Sudah tiga hari dia menginap di hotel tersebut dan seharusnya Maddox menemui dirinya besok pagi. Tapi Joe tidak memiliki keinginan untuk menelepon atau menanyakan kepastian pada adiknya. “Heather, maafkan aku.” Joe bergumam berulang kali. Benarkah Heather telah pergi? Masih tidak ingin percaya serta menelan mentah-mentah informasi dari Titus. Akan tetapi Joe kembali teryakinkan dari jawaban Jean saat mengkonfirmasi ulang. Pria itu masih belum bisa menguasai diri. Terselimuti duka yang menggunung dan menyesakkan dadanya. Akan lebih mudah jika dia menangis atau melontarkan amarah demi meluapkan emosi saat ini. Namun, Joe rasakan justru kebas yang membuatnya hanya terdiam membeku. Perlahan, rasa benci menyeruak dalam hati Joe. Ini adalah karena Russel! Selama ini dia hanya terdiam
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status