All Chapters of Perceraian Suami yang Angkuh: Chapter 21 - Chapter 30

Tepat pukul sepuluh, rombongan karyawan Long Teng tiba di Yingxin Technology.Alexandra yang duduk di sudut ruang konferensi mengangkat kepalanya sedikit ketika pintu terbuka. Patrick masuk terlebih dulu. Dalam setelan abu-abu gelap, ia tampak dingin, rapi, dan elegan—seperti seseorang yang tidak tersentuh masalah dunia. Garis bibirnya tipis, wajahnya datar, namun justru itulah yang membuatnya tampak dekat sekaligus jauh.Setelah berjabat tangan dengan Presiden Henry, Patrick memeriksa ruangan. Secara tidak sengaja, matanya bertemu Alexandra yang menunduk menatap buku catatannya. Profil wajahnya tampak sedikit lebih bulat.Pandangan Patrick terpaku sejenak. Lalu ia mengalihkan perhatian, menarik kursi, dan duduk.Saat ia mulai berbicara, aura CEO-nya langsung memenuhi ruangan. Kalimatnya tenang namun tegas, cukup untuk membuat Tuan Simon—yang sudah bertahun-tahun berpengalaman—tampak sedikit cemas dalam menjawab.Tak lama kemudian, sekretaris masuk mendorong troli berisi kopi dan kue.

Lantai sebelas tampak jauh berbeda dari kamar-kamar biasa di bawahnya. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan minyak mahal, setiap goresan tampak hidup di bawah lampu lembut yang menggantung. Interior suite itu sendiri memancarkan kemewahan—perpaduan kayu hangat, marmer elegan, dan langit-langit tinggi yang memberi kesan lega. Dari jendela besar yang menjulang dari lantai sampai langit-langit, samudra biru membentang tanpa batas, seakan hanya ada laut dan langit yang menyatu.Di tengah ketenangan itu, Alexandra tidak menyangka perjalanan ini akan membuatnya berkali-kali berhadapan dengan masa lalunya.Herman bertemu mitra bisnisnya di kapal pesiar, dan tanpa henti diundang bergabung. Akhirnya, dia meminta Alexandra untuk menjaga Sherly sementara ia menyelesaikan pertemuannya."Tenang saja," Alexandra tersenyum, menepuk lengan Herman. "Sherly aman denganku."Setelah merapikan barang, Alexandra membawa Sherly berjalan-jalan mengelilingi fasilitas kapal pesiar—restoran mewah, lorong seni, hin

Herman mengerutkan dahi, wajahnya menegang oleh rasa marah dan bersalah. Ia tidak mencoba membela diri.Bagaimanapun, dialah yang membawa Alexandra ke sini. Jika sesuatu terjadi padanya… tidak ada yang lebih pantas disalahkan selain dirinya sendiri.“Mari kita cari terpisah,” katanya pada Patrick setelah memberikan alamat dan nomor teleponnya. “Tolong hubungi aku kalau kau menemukannya duluan.”Patrick tidak menjawab. Ia langsung melangkah pergi tanpa menunggu Herman selesai bicara.Herman hanya bisa berdiri terpaku, sedikit terkejut. Tatapannya mengikuti punggung Patrick yang menjauh—mata itu menggelap, seperti mengandung sesuatu yang berat.…Untungnya, pegawai minimarket bisa berbahasa Inggris. Alexandra langsung meminjam charger, duduk, memasang kabel, dan dua menit kemudian ponselnya hidup.Begitu layar menyala, deretan pesan masuk membanjiri layar. Notifikasi melonjak satu per satu, seperti hujan deras.Alexandra membelalakkan mata.Ia cepat membuka beberapa pesan. Semua dari He

Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk hotel. Alexandra turun dengan tas kecilnya, masih merasakan sisa ketegangan dari perjalanan barusan.Herman sudah menunggunya di lobi. Begitu melihat Alexandra turun dengan selamat, desahan lega terlepas dari bibirnya. “Alexandra.”“Maaf kakak… membuatmu khawatir.” Alexandra menunduk sedikit, tersenyum malu.“Tidak apa-apa.” Herman mengusap lembut puncak kepalanya—gestur kecil yang terasa hangat.Adegan itu terlihat jelas oleh Patrick yang baru turun dari mobil. Sorot matanya langsung meredup, kelam, seolah seluruh sisa kesabaran yang ia miliki hari ini menguap begitu saja. Tanpa sepatah kata pun, dia menutup pintu mobil dengan kasar, melemparkan kunci ke tangan petugas valet, lalu melangkah pergi menuju hotel.Alexandra terkejut dan spontan memanggilnya, “Patrick—”Baru satu kata keluar, pria itu sudah menghilang tanpa menoleh.Bibirnya terkatup kembali. Ada rasa aneh—campuran kesal dan… entah apa.Herman melihat arah Patrick menghilang, lalu

Keesokan harinya, Alexandra dan Herman naik pesawat kembali ke Kota Dua.Tiba di rumah di pagi hari, mereka beristirahat untuk waktu yang lama, dan kemudian pergi ke rumah sakit bersama Nyonya Alena, Ibu Alexandra di sore harinya.Kali ini, suasana hati Alexandra sangat rileks, mungkin karena dia telah menemukan sesuatu, dan karena dia ingin menjaga bayinya, dia juga harus menjaga dirinya sendiri dalam kondisi terbaik.Berbaring di tempat tidur pasien, dia melihat Ibu Alexandra memegang tangannya dengan erat dan tidak bisa menahan senyum, "Bu, mengapa kamu terlihat lebih gugup daripada aku?"“Bagaimana bisa aku tidak gugup? Ini calon cucu pertamaku...”Alexandra tertawa....Dokter mengambil stetoskop untuk memeriksanya, dan tidak bisa menahan senyum, lalu bertanya dengan santai: "Mengapa ayah anakmu tidak datang?"Senyum Alexandra tetap tidak berubah, dan dia melihat perutnya, yang sudah agak membuncit, dan berkata pelan, "Dia sedang dalam perjalanan bisnis dok..."Mata Nyonya Alena ti