Semua Bab Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut: Bab 21 - Bab 30
98 Bab
Bab 21: Ide Tamu Dadakan
“Aku pingin dia merasa Kak Wildan itu nggak sebaik yang dia kira. Misalnya sudah ada perempuan lainnya yang dinikahi diam-diam juga.”   Pembicaraan kami semakin seru. Sampai aku lupa mempersilakan tamuku untuk minum. Tak ada suguhan lain selain air mineral kemasan gelas. Kutawarkan Susi untuk minum terlebih dahulu.   “Seru sepertinya. Tar aku bantu mikir gimana caranya,” sahutku merespon usulnya yang menurutku agak gila.   “Sip, Mbak Alya. Kita tukar nomor HP saja biar nanti lebih mudah komunikasinya,” jawabnya setelah meneguk air mineral beberapa kali sedotan. Setelahnya kami saling menyimpan nomor ponsel.   “Oya, Mbak. Ada yang mau saya tanyakan. Jujur aku syok dengan perubahan perilaku Mas Wildan. Selama ini dia itu baik-baik saja. Bahkan jika ada temannya yang main perempuan, dia menunjukkan sikap menentang, tapi sekarang gentian dia jadi lakonnya,” keluhku dengan nada kecewa. &n
Baca selengkapnya
Bab 22: Kecebur Dua Kali
Nely lebih dulu menyadari kedatanganku. Sepersekian detik mata kami beradu. Mungkin aku menakutkan seperti hantu sehingga gestur gelisah terlihat pada dirinya. Lantas ia bergerak mundur seperti ingin menghindariku, namun naas. Ia akhirnya terjatuh dalam kolam dan disambut tumpahan air dari tong raksasa yang ada di atasnya.Aku sebenarnya ingin tertawa melihat kejadian itu, tetapi kutahan. Katanya nggak baik tertawa di atas penderitaan orang lain. Di sisi lain, Mas Wildan tampak dikagetkan dua hal sekaligus. Keberadaanku yang tiba-tiba ada di hadapannya, juga posisi Nely yang terguyur tumpahan air. Segera kuambil Rheza dari gendongan Mas Wildan.“Mas, mana kontak mobilnya? Aku mau jemput Rohim sekarang.”“Kamu ke sini sama siapa?” Dia belum juga memberikan kontak mobil yang kuminta.“Nggak penting. Sudah ah, aku males debat di tempat umum. Kalo Mas masih mau ngadem di sini silakan. Mana kontaknya aku
Baca selengkapnya
Bab 23: Teror ke Kantor
"Hm … maaf bukan menyalahkan penjelasan, Bapak. Saya –“ Aku tidak mungkin berbohong. Sehingga terpaksa bicaraku tak tuntas. “Oh … Saya kira tadi ada yang salah. Ini Bu Dini sama Mbak siapa namanya--?” Laki-laki berkemeja putih tulang dengan lengan panjang yang dilipat hampir ke siku itu menyipitkan matanya. Seperti mencoba mengingat sesuatu. “Alya, Pak.” Syukurlah Dini membantuku bicara. Lidahku masih keluh rasanya. “Teman sekantor dengan Bu Dini? Atau --?” “Iya, Pak. Sekantor. Cuma tadi pas Bapak presentasi Alya lagi izin keluar.” Lagi-lagi Dini menolongku. “Mbak Alya masih ingat saya?”  Dini melotot ke arahku mendengar pertanyaan Pak Akmal barusan. “Masih.” Kujawab cukup satu ka
Baca selengkapnya
Bab 24: Pelaku Kecelakaan Ngaku
Waktu menjelang tidur tiba, anak-anak sudah terlelap semuanya. Mas Wildan pun usai mengunci pagar dan pintu. Aku sudah posisi tidur di kamar anak-anak. Rezha yang minta dikeloni menjadi alasan yang tepat untuk menghindar dari Mas Wildan malam ini. Padahal kami biasannya selalu melakukan pillow talk sebelum tidur.  “Dik, sudah tidur?” Mas Wildan memanggilku. Namun aku pura-pura terpejam. Setelah dipanggil berkali-kali aku tetap tidak menyahut, akhirnya ia menyerah. Kubuka mata sedikit, dia telah bergeser ke kamar sebelah sepertinya. Suasana malam yang sunyi menjadikan sedikit saja ada bunyi, maka akan mudah tertangkap indera pendengaran. Termasuk nada getar dari gawai Mas Wildan yang berulang-ulang. Sepertinya dia belum tidur. Tetapi sedang berbalas pesan.  Hingga setengah jam kemudian, suara dengkuran halusnya terdengar. Sepertinya dia sudah terlelap. Perlahan kutegakkan badan. Kutengok k
Baca selengkapnya
Bab 25: Terusir
"Mas, ini ada undangan reuni sama kaos.” Kuberikan kepadanya barang yang diantar Mbak Susi kemarin.“Kamu dapat dari mana?”“Mbak Susi.”“Kok bisa kenal?”“Katanya lihat info di profil medsosku. Trus dia datang ke kantor.”“Makanya medsos itu jangan di-setting public informasinya. Kalo ada orang-orang yang niat jahat gimana? Mereka akan dengan mudah menemukan keberadaanmu.”“Iya, sudah kejadian, mau gimana lagi.”“Tuh, 'kan. 'Kan sudah kuingatkan dari dulu.”“Kemarin ada yang koar-koar menelpon nomor kantor. Buat woro-woro kalo dia istri ke duamu, Mas.”“Siapa?”“Siapa lagi kalo bukan Nely?”“Kamu punya bukti? Jangan menuduh orang sembarangan!”“Lah, siapa lagi kalo bukan dia? Apa ada wanita lain yang diam-diam kamu nikahi selain Nely?”
Baca selengkapnya
Bab 26: Minggat
Entah pukul berapa netraku akhirnya terpejam. Alarm alami tubuh kembali membangunkanku pukul setengah tiga. Ternyata ibu sudah bangun juga. Beliau kelihatan repot di dapur.“Bu, buat apa?”“Sahur. Kamu mau puasa juga?”Cukup kujawab dengan anggukan. Ini hari Kamis. Ibu memang termasuk orang yang rutin mengamalkan puasa sunah Senin Kamis. Sementara diri ini puasa hanya saat bulan Ramadan saja. Plus nyaur utang dari puasa wajib yang bolong karena datang bulan. Aku pernah mendengar, kekuatan seseorang pada hakikatnya bukan dari fisiknya semata. Melainkan lebih utama pada kekuatan ruhiyah.Kenapa ada orang sampai memilih untuk mengakhiri hidupnya? Sebab ruhiyahnya kering. Meski fisiknya sehat, nyatanya orang seperti itu tak kuat menghadapi beban hidup yang menimpanya. Makanya jika ingin kuat menjalani ujian hidup, perkuatlah aspek ruhiyah. Salah satunya dengan puasa sunah.Oleh karenanya, saat ditawari ibu untuk ikut puasa sunah
Baca selengkapnya
Bab 27: Cincin Menghitam
Oh... Jadi Mas Wildan mendatangi Nely. Bukannya Nely kata Mas Wildan kemarin lagi di Jakarta? Berarti Mas Wildan naik pesawat ke sana. Sebab jika ditempuh dengan kereta atau bus jelas belum tiba. Sebegitu istimewanya wanita itu di hatimu, Mas. Sampai kau bela-belain menyusulnya ke sana.Lamunanku buyar begitu ada bunyi pesan masuk.[Hai Say, pingin telpon takut ganggu waktumu sama Pak Wildan]Pesan dari Mila itu langsung kubalas.[Orangnya minggat]Tak ada semenit Mila langsung menghubungiku.“Hallo Say, minggat gimana sih? Duh … duh …”Kuceritakan semua yang terjadi kepada Mila.“Kamu yakin Nely di Jakarta? Kayaknya dia masih di Jatim, deh. Paling ngumpet cari kontrakan karena gak tahan gunjingan orang.”“Entahlah. Bilangnya Mas Wildan begitu, Mil.”“Aku sih nggak percaya. Mana ada kantor nerima pekerja perempuan berumur gitu. Yang
Baca selengkapnya
Bab 28: OTW Pelabuhan
Di sinilah aku sekarang, dalam bus antar provinsi bersama kedua anakku. Dinginnya pendingin ruangan berhasil menembus outer rajut yang kukenakan. Aku sengaja tidak memilih pakai jaket agar meringankan bawaan.Saat menaiki bus tadi, pak kondektur tampak iba kepadaku. Sehingga tas baju yang kutenteng hendak dibawakannya untuk dimasukkan ke bagasi bus. Namun, aku menolaknya. Sehingga tas itu diletakkan pada celah di bawah kursi. Sebagai pijakan kaki kedua anakku.Kursi bus hanya dua berjejer, namun kuisi bertiga karena anak-anak masih kecil tak mau dipisah dari bundanya. Sama pak kondektur pun aku hanya diminta membayar dua karcis.“Asyik … Rohim mau naik kapal.”Wajah Rohim berbinar. Keinginan yang sudah lama ia nantikan akhirnya akan terwujud. Aku mengelus kepalanya. “Mas Rohim senang?”“Iya, Bunda.”Baiklah, Nak. Setidaknya bunda sudah memenuhi permintaanmu untuk naik kapal. Meski mungkin ini akan m
Baca selengkapnya
Bab 29: Subuh Mengharu
Suara azan Subuh dari musala kapal membangunkanku. Astaghfirullah. Aku kelewatan waktu salat lail. Mungkin karena tubuhku capek menempuh perjalanan delapan jam, juga sambil menggendong Rheza. Mereka kubangunkan. Kuajak ke kamar mandi untuk wudu lalu salat di musala. Saat menunggu Rohim wudu, kutengok keadaan di luar dari jendela berbentuk lingkaran di atas wastafel. Sorot lampu dari menara memecah kegelapan permukaan laut. Suasana subuh yang indah.Setelah salat anak-anak kuajak mandi bergantian. Selepas rapi, Pak Dhimas kutelepon untuk meminta tolong menjaga anak-anak selagi aku membersihkan diri. Mereka akan menuju deck paling atas yang ada prosotan dan mainannya. Memang kapal ini di-design ramah anak. Sebab tidak sedikit penumpang yang juga terdiri dari anak-anak. Ini agar mereka tetap betah selama perjalanan yang memakan waktu 36 jam di atas laut.Untuk menuju ke deck paling atas, aku masih harus naik satu tangga tegak lagi. Saat pandanganku menyisir lantai deck at
Baca selengkapnya
Bab 30: Lamaran di Anjungan
Sebenarnya aku malas menanggapi pertanyaan Nely barusan. Namun tak ada salahnya kami terlibat debat secara langsung. Mungkin ini bakal nggak kalah seru dengan acara Indonesian Lawyer Club. Hahaha.“Bukannya aku yang harusnya bertanya, kenapa Kamu di sini?” Dengan nada sangat tenang kusampaikan jawaban sanggahan.Nely terdiam lalu menoleh ke belakang. Begitu terlihat Mas Wildan telah usai menaiki anak tangga, Nely segera menghambur kepadanya. Seperti anak kecil yang hendak mengadu ke bapaknya.Sementara Rohim dan Rheza tatkala melihat ayahnya datang, mereka tak mau kalah. Dua anak laki-lakiku itu berlari dan menyeru sekencang-kencangnya, “Ayah …!”Nely yang hendak menggandeng tangan Mas Wildan diurungkannya sebab laki-laki itu fokus hendak menangkap anak-anak yang berlari kepadanya. Kulihat Nely mendengkus kesal. Mukanya dialihkan memandang langit. Sambil tangannya sendekap dan kakinya menghentak-hentak.Sambil mendeka
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status