All Chapters of Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut: Chapter 31 - Chapter 40
98 Chapters
Bab 31: Siapa Ikut Berlayar?
Aku tak bisa membayangkan seberapa merah wajahku sekarang. Mungkin sudah seperti kepiting rebus. Pernyataan itu sungguh di luar dugaan. Meski Mila pernah mengabarkan. Dulu kupikir itu hanya guyonan. Saat ini, aku mendengarkan langsung dari lisannya Bos Anton. Lidahku keluh. Wajah kutundukkan. Saat ini aku sungguh tak berani menatap wajah Bos Anton.“Maaf, Pak. Saya izin ke bawah dulu.” Tetap dengan wajahku yang menunduk, aku pamit. Mana mungkin aku membahas lamaran, sementara aku masih berstatus istri Mas Wildan. Meski aku telah dikhianati, aku tak akan bermain hati sebelum statusku kembali lajang.“Iya, hati-hati. Oya, kejujuranku barusan jangan diambil hati ya. Maaf kalo aku lancang.” Suara Bos Anton terdengar bergetar. Aku masih tak berani melihat wajahnya.“Iya, Pak. Terima kasih untuk semuanya.”Segera kuraih tangan Rohim dan Rheza agar berhenti menyentuh alat-alat kapal itu.“Bos Anton, Rohim pamit du
Read more
Bab 32: Serangan Malam
Deru mesin kapal mulai memecah keheningan. Truk dan mobil lainnya sudah terparkir rapi. Setiap unit kendaraan itu diikat dengan rantai besi yang terhubung ke lantai deck dasar. Itulah bedanya mobil yang diparkir di darat dan di atas kapal. Pekerjaan rutin para ABK saat proses muat. Para penumpang pun sudah berduyun-duyun memasuki badan kapal. Suasana yang tadinya senyap, kini terdengar banyak orang bercakap-cakap. Mereka juga membawa barang bawaan yang tak sedikit. Rata-rata tiap orang menenteng kardus mie instan. Mungkin isinya oleh-oleh khas dari Jawa untuk sanak kerabat di Pulau Borneo. Setelah berjibaku di kamar, merapikan isi lemari, juga membersihkan lantai, kuputuskan melihat suasana di luar. Semua kru kapal tidak ada yang menganggur. Ketika semua muatan sudah dipastikan naik ke kapal, akhirnya ramp door itu ditutup. Kapal pun siap berlayar menuju pulau terbesar di Nusantara. Aku dan anak-anak duduk di ku
Read more
Bab 33: Nely di Mata ABK
[Yank … kok lama sih balesnya? Aku dah basah nih]Aku semakin gedek melihat tingkah mereka. Ingin rasanya kubilang ke Nely jika dia sekarang sedang berbalas chat denganku. Kuambil napas dalam-dalam untuk meredam emosi. Lalu segera kuketik balasan. [Jangan beb! Tar Alya bangun] [Yaaah … nanggung banget. Terlanjur pingin nih, Yank. Ya udah deh, aku tuntasin sendiri. Mimpiin aku ya muach … ] Kubales chat terakhir Nely dengan hal serupa meski aku sangat muak dibuatnya.[Muach … muach …] Setelah itu, semua chat yang kukirim ke Nely kuhapus. Gawai kembali ku-setting mode pesawat. Kemudian kukembalikan ke tempat semula, di bawah bantal. Aku mengelus dada. Niat hati mengerjain Nely malah aku yang dikejutkan dengan fakta menjijikkan. Mas Wildan selama ini tak pernah memintaku melakukan video call s*ks. Namun, dengan Nely d
Read more
Bab 34: Talak di Tengah Ombak
Akhirnya malam pun tiba. Esok menjelang subuh kapal sudah mulai sandar. Tak terasa kaki ini akan berkesempatan menginjak tanah Dayak. Ini adalah kesempatan pertama ke pulau yang hendak dijadikan ibu kota negara. Entah bagaimana perkembangannya, beritanya sudah tenggelam. Rasa senang bisa mbolang ke Kalimantan tiba-tiba sirna membayangkan Mas Wildan akan memaksaku melayaninya malam ini. Jantungku dag dig dug tak karuan. Bukan karena apa, melainkan rasa khawatir jika Mas Wildan sudah tidak sehat organ intimnya. Cerita Purnomo soal Nely yang dinilai wanita nakal membuatku begidik ngeri. Mas Wildan tadi masih pamit ke kamar mandi hendak buang air kecil. Hingga knop pintu kamar ini dibuka. “Kenapa wajahmu pucat begitu, Dik?” “Nggak pa-pa, Mas.” “Kamu sakit?” Punggung tangannya ditempelkan di keningku. “Badanmu tidak panas, Dik. Tapi kamu seperti orang ketakutan.&r
Read more
Bab 35: Konsekuensi Talak
Ditalak, sementara kita selama ini setia, juga berusaha memberikan yang terbaik. Itu rasanya seperti kita telah berbuat baik kepada seseorang, namun setelahnya dibalas dengan diludahi. Manusia normal jika diperlakukan demikian pasti akan kecewa. Bisa jadi marah atau mengumpat. Sebab harga dirinya tak dianggap. Lain jika kita mampu mencontoh akhlak Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memberi teladan untuk tidak membalas perbuatan orang lain yang merendahkan dirinya. Yang dibalas hanya ketika seseorang merendahkan ajaran Islam. Maka, beliau pun tetap menyuapi kakek tua buta yang beragama Yahudi dengan lembut, meski lisan kakek itu terus mencaci sosok Muhammad. Dari teladan Rasulullah tersebut, aku akan berusaha ikhlas menerima jalan takdir ini. Aku tidak boleh menggugat Tuhan. Mengapa tidak adil padaku? Aku yang setia harusnya mempunyai suami yang setia juga. Mestinya ketika aku sudah berusaha menjadi ist
Read more
Bab 36: Perang Batin
Aku menarik tanganku agar terlepas dari cengkeramannya. “Lepaskan aku, Mas!” “Jangan bilang kamu tidak paham status kita setelah talak satu, Alya!” Aku memejamkan mata. Jujur ini lebih menyiksa. Mas Wildan mempermainkan perasaanku. Mestinya, setelah ucapan talak semalam, dia sekarang tak perlu peduli padaku. Biar aku cepat mengubur semua rasa dan kenangan manis bersamanya. Dia kini malah bersikap layaknya tak terjadi apa-apa. “Kamu masih istriku sampai masa iddahmu habis.” Dia kembali mempertegas status kami. “Benar, statusku sekarang masih istrimu, Mas. Tapi, setelah kata talak itu, jangan lagi membuat kenangan manis deganku. Biarkan aku sendiri. Aku makan siang di kamar saja.” Tanpa menunggu respon Mas Wildan, aku segera berlari menuruni tangga. Anak-anak kubiarkan bersamanya. Rasanya aku butuh waktu menyendir
Read more
Bab 37: Buket Mawar Vs Matahari
Melihatku menerima telepon dari gawainya, Mas Wildan seketika bertanya, “Siapa, Al?”               Setelah talak itu terucap, dia kini tak lagi menyapaku dengan panggilan ‘dik,’ tetapi Al atau Alya. Ponsel itu langsung kuberikan padanya.               “Hallo …” suara tenor Mas Wildan menyapa wanita itu.               “Eh, Mas Wildan. Aku dah nyampe sini dari tadi pagi. Katanya kapal datang pagi. Tapi kuhubungi enggak aktif mulu hapenya.”               Meski tidak di-loudspeaker, aku masih bisa mendengar dengan jelas ucapan Nely. Saking sempitnya ruangan ini. Heran juga sih
Read more
Bab 38: Tawaran Tumpangan
Rasanya aku ingin mencari tempat sampah dan segera membuang buket bunga ini ke dalamnya. Bukannya bikin bahagia, nyesek iya. Sepertinya Nely tahu kalo aku sedang online. Tiba-tiba saja dia mengirim pesan gambar. Foto Mas Wildan telanjang dada sedang terlelap. Diikuti sindiran.               [Kamu pasti tak membuatnya bernafsu. Lain saat bersamaku, liar lalu terkapar]               Pesan itu menyiratkan kebanggaan. Lalu kubalas.               [Justru dia sangat bernafsu, tapi aku yang gak mau. Ngeri kalo tertular penyakit]               Kuladeni pesan dari Nely. Hitung-hitung hiburan agar perjalanan ini tak membosankan. 
Read more
Bab 39: Doa Pak Tua
Aku memang sudah lelah. Ingin sekali rasanya segera sampai di rumah. Namun, haruskah menumpang mobil jenis sport vehicle warna hitam ini? Apakah tidak akan menimbulkan fitnah jika aku berdua saja dengan pria yang bukan apa-apaku ini? Meski kedua anakku ikut serta. Kenapa kukatakan berdua? Sebab dalam urusan kholwat, keberadaan anak-anak tidak diperhitungkan. Karena akal mereka belum sempurna. Sehingga meski Rohim dan Rheza ikut naik dalam satu mobil, tetap saja dalam pandangan syariat dihukumi berkholwat.  Ragaku masih membatu. Antara ingin menerima tawarannya namun was-was akan resiko yang mungkin kudapat. Ketika nanti aku resmi bercerai, pasti ada omongan begini: ‘Wajar pernikahannya kandas, lah suami kerja. Dia naik-turun mobil sama laki-laki lain.’ Sebab pasti ada mata yang akan melihat. Sementara tak semua orang mempunyai prasangka baik. Di antara mereka ada saja yang hatinya hasad.     &nbs
Read more
Bab 40: Sekonyong-konyong Stroke
Tepat bakda Magrib rombongan keluarga besarku datang. Ada Bapak, Ibu, Mbak Cahya beserta suaminya, juga Mas Satria dan istrinya. Yang terkejut mendengar kabar ini adalah kakak laki-lakiku, Mas Satria. Sebab hanya beliaulah yang baru tahu masalah rumah tanggaku sekarang.               “Kok bisa masalah seperti ini Mas enggak kamu libatkan, Al?” Ada raut kecewa di wajahnya.               “Kami pikir bisa segera diatasi, Mas.”               “Pantas badanmu kurus. Bapak-Ibu juga kelihatan mikir. Tahu dari dulu sudah kujotos Wildan itu,” ungkap Mas Satria kesal.               Mbak Cahya juga angkat bicara, “Y
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status