All Chapters of Yuk, Nikah!: Chapter 31 - Chapter 40
88 Chapters
Kukuh
 Hari ini aku mengantar Nyak Marni ke stasiun kereta—stasiun Gambir—bersama dengan Vivi. Tentunya naik mobil Fadlan. Enyak berulang kali mengingatkan agar aku terus menjaga Vivi, setidaknya sampai encingnya datang.“Denger kata Enyak? Sampai encing kamu datang, Abang yang tanggung jawab.” Aku menegaskan sekali lagi ketika kami dalam perjalanan pulang.Vivi melirikku sesaat, tajam sekali. “Ogah! Sendiri lebih baik,” tolaknya secara kasar.Aku menggeleng, setelah itu tak lagi terucap kata, baik itu dariku atau Vivi sendiri. Kami pulang bersama, duduk berdampingan. Tapi hati dan pikiran entah ke mana. Biasanya aku yang berusaha mencoba mengerti pun, kini tak mau. Aku lebih mementingkan ego. Namun, aku berpikir lagi, tak tega membuatnya terlalu patah hati.“Cemburu kamu itu enggak berdasar, Vi. Kita itu enggak ada hubungan apa-apa. Kamu jangan begitu, nyiksa sendiri. Abang kasih tau dari seka
Read more
Drama Baru
Kala ingatan kembali menarik pikiran ini ke momen saat Vivi memelukku tadi, rasanya jantung berdetak dengan ritme cepat, aku tak mampu berbuat apa-apa, dan tak mengerti mengapa begini. Kuintip wajahku di pantulan cermin hiasan dinding, terlihat semu merah jambu. Darahku terasa mengalir turun sangat cepat, wajahku memanas. Merambat hingga daun telinga. ‘Ada apa denganku?’ Bukan hanya itu yang kini menari-nari dalam pikiran, tapi momen ketika dia membantu aku membalutkan perban di kaki, setelah sebelumnya luka ini kusirami dengan air mengalir dan diberi salep. Katanya, Vivi semasa SMA aktif dalam ekstrakulikuler bidang PMR. Dengan bangga dia berkata kalau ilmunya masih sangat dia kuasai. ‘Kuasai apanya? Ini terlalu ketat.’Selagi Vivi sibuk membalutkan kain beberapa waktu lalu, dia juga tak berhenti mengoceh, berkata kalau dirinya sangat menyukaiku, dia akan menjadi istri yang baik kalau aku mau bersamanya. Mencinta
Read more
Karena Sakit Hati
Kembali terpikir saat Vivi menjatuhkan benda yang dipeluknya terjatuh. Ternyata yang dia peluk tadi adalah kotak P3K. Mungkin dia mau berikan itu padamu. Sayangnya malah terjatuh, dan isinya telah berserakan di tanah. Kuyakin itu akibat syok atas perbuatanku. Perbuatan dosa, yaitu bohong tentang jalinan yang baru saja aku dan Sela rangkai. Iya, awalnya dia tak percaya. Namun, Sela yang peka pun membantuku. Dia yang awalnya menggantungkan tangannya untuk menyalami Vivi pun diurung dan merangkul lenganku dengan manja. Berkata kalau kami baru saja jadian. Vivi menatap kami secara bergantian. Wajahnya mengeras, dan kuyakin dia sangat marah kepadaku. Dia tersenyum sinis lalu menyelamati kami atas hubungan palsu yang baru kujalani. Setelahnya ia berbalik dan pergi.Jujur saja aku merasa sangat menyesal karena berani berbohong begini. Tapi mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi.‘Maafin Abang, Vi. Semua demi kebaikan kita.’
Read more
Hanya Tiga Hari
Masih ditelan isakan, Vivi belum juga mau keluar dari dalam selimut. Tubuhnya ikut gemetar ketika isakan disertai cegukan keluar lewat tenggorokan. Aku diam sejenak. Memerhatikan Vivi dengan perasaan kusut. Rasa khawatir serta bersalah bercampur dalam benak. Bukan karena khawatir akan demamnya yang baru turun sedikit, tapi karena dia tak kunjung berhenti menangis.“Vi, maafin Abang, ya. Udah jangan begini terus. Nanti malah tambah sakit,” kataku berusaha menenangkan.Dia malah semakin terisak. Ya Allah, sesakit itukah dia oleh perlakuanku? Bahkan, di saat demam begini, yang membuat dia menangis bukan sakitnya, tapi karena aku? Ah, anak ini benar-benar membuatku sedih. Semua gara-gara aku. Dia sampai ada di rumah sakit juga karenaku. Beberapa jam lalu dia menungguku di depan pagar, tak peduli hujan sudah turun deras. Vivi mempercayaiku yang akan datang menjemputnya. Dasar bodoh.Aku merasa sangat bersalah. Tapi apa boleh buat
Read more
Benarkah Aku Bahagia?
Baik, katanya hanya tiga hari. Vivi waktu singkat untuk membuat kenangan indah denganku, lalu setelahnya dia akan melupakan rasa yang dia punya. Cinta semu yang bahkan tak mungkin bisa kubalas sampai kapan pun.Pagi ini aku berniat menjemput dia. Katanya, sih, sudah diizinkan pulang dan boleh istirahat di rumah untuk pemulihan. Ini masih jam enam, tapi ponselku sudah penuh sama notifikasi panggilan tak terjawab, dan itu dari Vivi. Pakai nomor encingnya.“Ya, ampun bawelnya. Dia kira aku akan jemput itu bohong? Dasar bocil nggak sabaran.”Gegas aku meraih kunci mobil, pergi mengendarai kendaraan roda empat mogokan itu menuju rumah sakit tempat anak ingusan itu dirawat.“Dasar. Padahal dia juga bisa naik taksi atau kendaraan lainnya. Manja banget, apa-apa harus aku yang lakukan.” Meski sebel, akhirnya aku tetap berangkat ke sana dan mengorbankan jadwal kerjaku. Hari ini adalah kedua kalinya aku minta izin cu
Read more
Mie Instan
Hari ini langit mendung, tapi tidak hujan. Alhasil, hawa saat ini terasa begitu tak nyaman.Aku pulang dengan tidak semangat. Perut keroncongan, badan keringetan, dahaga, terlebih motor sempat mogok. Tambah bikin ruwet.Baru saja motor kustandar di halaman depan, Cing Romlah sudah teriak-teriak ngusir kucing tetangga yang nakalnya luar biasa. Aduh, telingaku tersakiti sekali.Kucing itu si Oyen namanya, sesuai dengan warna bulu dia punya. Orange. Itu makhluk bukan nakal karena tidak diperhatikan sang majikan, tapi emang suka datang cari-cari pacarnya di sini. Nyari si Ketty, kucing punya bang Agus.Kok, tahu? Jangan-jangan suka ngintip.Ish, enak aja. Aku tahu dari pemiliknya, lah. Siapa lagi.Oke, lupakan soal si Oyen. Balik lagi ke cerita rutinitasku yang melelahkan. Aku berjalan ke arah unit kosan, di sana Vivi sudah menyambut dengan muka masam. Kepalanya miring, disanggah oleh satu tangan di meja depan kosan.Dia sudah berdandan c
Read more
Rasa Bersalah
Di malam yang cukup gersang ini aku duduk menghadap jendela sambil makan mie buatan tangan perempuan yang kuanggap adik. Ya, walau tadi dia lupa masukan bumbunya, tetapi aku cukup bersyukur masih ada seseorang yang perhatian di sini. Sayangnya setiap kali menyuap, hatiku diburu oleh ketidaktenangan yang besar, sebab Vivi diam di sini. Nungguin selesai sebelum pergi ngedate katanya. Asem emang. Bagi dia ngedate, bagiku bukan. “Bang, nanti ke bioskop, yuk. Nonton.” Dia mengajak ke sana. Nada bicaranya sangat ceria. “Iya, boleh.” Aku menyahut tanpa menoleh, dan hanya fokus pada mie instan yang sebentar lagi akan habis. “Yeeeay!” Vivi malah pergi padaku, menggelayut manja di lengan. Ya ampun, ini sungguh membuat perasaanku tambah terbebani saja. Pergi ke bioskop? Ya Allah, kenapa pula mulutku main setuju begitu mudahnya? Padahal sebenarnya aku agak meragu, teringat janji kepada sahabatku yang kini ada di negeri orang. Ia mengharap agar aku menjaga
Read more
Getaran Hati
Sepertinya pilihan untuk pergi ke bioskop adalah pilihan yang paling tepat. Soalnya langit sungguh menurunkan hujan. Hanya rintikkan kecil, tetapi tak kunjung berhenti sedari tadi saat mulai turun di pertengahan jalan.Vivi masih semangat memilih genre film yang mau dia tonton, sementara aku sudah menunggu sambil memeluk popcorn di dada. Ukuran besar, lumayan untuk nyemil di dalam kalau bosan.“Yuk, Bang,” ajaknya tak berapa lama. Tanpa permisi, Vivi menggandeng lenganku.“Nonton apa?” Kutanya karena penasaran. Mataku mengarah tepat ke tiket yang sedang ia pegang. Lalu, aku juga berusaha melepaskan diri darinya. Malu dilihat orang.Wajahnya cemberut, tetapi Vivi tak lagi menggantungkan tangannya di lenganku. Tak lama ekspresinya kembali normal. Sungguh perempuan, tak bisa ditebak isi pikirannya. Mudah sekali ganti mood.“Film romantis sejagad raya. Ini, tuh filem yang mau Vivi tonton sejak lama. Cuma baru kesampean har
Read more
Mencoba Teguh Hati
Durasi menonton di bioskop yang hampir menghabiskan dua jam membuat waktu kami tersita lumayan banyak. Sebenarnya Vivi masih ingin pergi ke lain tempat, tapi aku bujuk untuk pulang. Soalnya waktu sekarang sudah terlalu malam. Apa kata Cing Romlah nanti kalau seandainya aku membawa Vivi pulang dengan sangat terlambat?Walau sudah diberi kepercayaan sebagai seorang abang pada adiknya untuk menjaga, bukan berarti aku juga bisa seenaknya bawa anak gadis orang pergi dan pulang tengah malam. Kurang ajar itu namanya.Akhirnya, dengan sedikit bujukan lembut yang kulancarkan, Vivi mau juga diajak pulang. Kukatakan padanya masih ada esok hari. Atau kalau mau full time, perginya harus pas week end.“Iya, Vivi rasa itu lebih bagus,” ujarnya menanggapi. Kami masih jalan keluar mall. “Dari pada sekarang, malah enggak kerasa pacarannya.” Ia melanjutkan dengan begitu santai seolah kata pacaran itu adalah kata lumrah.Perk
Read more
First Kiss
Rintikkan hujan membuatku semakin malas untuk keluar, akhirnya yang terjadi adalah hanya duduk diam dalam mobil, memerhatikan ribuan atau mungkin jutaan rintikkan dari langit membasahi jendela depan. Lalu, selama beberapa menit aku menunggu Vivi kembali dari masjid.Cuaca ini mengingatkanku kembali pada Vivi beberapa waktu lalu. Dia rela hujan-hujanan hanya demi menunggu. Betapa bodoh kelakuannya itu. Padahal, jelas sekali dia itu takut guntur, bisa-bisanya mengujiku dengan cara begitu. Lihat saja sekarang, penyesalan yang harusnya tak perlu ada tertanam jauh dalam lubuk hatiku.Dan karena alasan inilah aku ada di sini hari ini. Karenanya aku menjanjikan tiga hari untuk membuatnya bahagia. Karenanya pula aku ... terus kepikiran tentangnya. Tentang banyak hal. Ini dan itu. Bertanya pada diri sendiri apa iya aku juga mulai memiliki sedikit rasa lain selain rasa antar saudara.Semoga saja tidak. Celaka jika iya.***Tak terlalu lama aku menunggu, Vivi
Read more
PREV
1234569
DMCA.com Protection Status