Semua Bab Kamu Akan Miskin, Mas!: Bab 41 - Bab 50
105 Bab
Janji Pembalasan Dendam
"Kafka juga gak tau, sih. Kalau dia ngaku baru tau."Aku menepuk dahi, menatap Kafka frustasi. Anak ini benar-benar membuat emosiku sedikit naik turun. Jasad bayiku sudah dibawa menuju ke tempat autopsi berlangsung. Kami menunggu saja di sini, hendak ikut, tapi kata Fajar tidak perlu. "Masa agak boleh ikut?" tanya Kafka tidak terima. "Bisa saja." Fajar menatapku sambil menghela napas. "Oke. Kita ke rumah sakit. Sambil menunggu hasil autopsi."Akhirnya. Aku menganggukkan kepala. Kami masuk ke dalam mobil. "Jadi, pria misterius itu bukan Mas Reno? Terus siapa? Pokoknya kita harus selidiki dia juga.""Kan kita emang lagi selidikin dia, Mbak. Awalnya kita kira si Reno itu, tapi kayaknya bukan. Mukanya gak meyakinkan."Aku menghela napas pelan, memperbaiki posisi duduk. Sedikit kesal, siapa sebenarnya pria misterius itu?"Coba Mbak tanya si Rini itu.
Baca selengkapnya
Hasil Autopsi Mengejutkan dan Kabar Buruk!
"Itu benar-benar hasil yang mengejutkan, sih. Gak nyangka, tapi sesuai banget." Aku menatap Kafka dan Bang Tirta bergantian."Benar dugaan kita. Memang ada unsur kesengajaan. Entah pil apa itu." Bang Tirta terlihat marah-marah. Sementara kedua pengacara itu diam saja. Aku mengembuskan napas berkali-kali, berusaha menenangkan diri sendiri. "Pria misterius itu. Siapa pun dia, kita harus mencarinya."Aku menganggukkan kepala. Dia harus dihukum berat, meskipun aku belum tahu siapa pria misterius itu sebenarnya. Kami sampai di halaman depan rumah sakit. Aku menyalami kedua pengacara itu. "Makasih sekali lagi untuk waktunya, Pak. Kami bakalan bingung bagaimana caranya membalas budi untuk Bapak.""Ah, gak masalah itu, Bu." "Iya. Kami ikhlas. Apalagi ini misi yang besar, membela untuk bayi yang dicurangi. Tentu saja kami rela, Nin." Fajar tersenyum padaku. Ah, dia sangat bai
Baca selengkapnya
Sebuah Kejanggalan
"Hah?! Serius?" tanyaku dengan nada gemetar.  Mbak Lina meninggal? Aku menelan ludah berkali-kali. Masih kurang percaya dengan perkataan suaminya Mbak Lina. "Iya, serius. Saya juga kaget banget. Maaf baru bisa ngabarin. Sebenarnya udah satu jam yang lalu, tapi memang belum dikuburin. Mau diautopsi." "Yaudah. Nina ke sana sekarang. Makasih infonya, Bang." Aku mematikan telepon, menoleh ke Bang Tirta dan Kafka yang menatapku.  "Kenapa?" tanya Bang Tirta penasaran. Aku mengusap wajah, menggigit bibir. Masih belum percaya. Astaga, ini seperti tidak mungkin terjadi.  "Mbak Lina meninggal." Dalam hitungan detik, pasti mereka akan berteriak.  Satu. Dua. Ti— 
Baca selengkapnya
Rahasia yang Disimpan Mbak Lina
Bang Toba melirik Mama, Papa, juga, Rini. Sepertinya, dia hanya ingin beberapa orang yang mendengar.  Memang benar, tidak seharusnya semua tau. Rini menganggukkan kepala, dia tau apa yang harus dia lakukan.  "Om, Tante. Kita ke depan, yuk." Rini mengajak Mama dan Papaku untuk ke ruang tamu yang ramai saja.  Ketika Mama menoleh padaku, aku menganggukkan kepala. Membuat Mama akhirnya mengikuti langkah Rini.  "Apa rahasianya, Bang?" "Ehm, bisa gak di sini?" tanya Kafka memutus pembicaraan kami. Mendengar itu, aku langsung mengedarkan pandangan, menangkap sosok pria misterius yang berdiri di dekat jendela. Ah, baiklah. Aku paham kalau Kafka mengajak di tempat lain.  "Boleh. Di kamar saya dan Lina aja. Ke
Baca selengkapnya
Petunjuk Penting
"Nyarinya di mana? Apa yang disembunyiin sama Mbak Lina?" tanya Bang Tirta sambil menatap ke sekeliling kamar. Entah kenapa, kamar ini terlihat berantakan sekali. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Agak sedikit ragu untuk masuk ke dalam."Ayo, masuk Mbak. Gak bakalan ketemu kalau diam aja di luar.""Sopan gak masuk ke dalam?" tanyaku pelan. Terdengar tawa Kafka. Rini juga ikut mentertawakanku. Menyebalkan sekali. "Masuk aja. Yang nyuruh Mbak Lina, kan?"Akhirnya, aku melangkah masuk. Menatap sekitar. Waktunya kami mencari rahasia yang disimpan oleh Mbak Lina dan ingin dia sampaikan sebelum meninggal. Sayangnya, dia sudah meninggal sekarang. Aku mengusap kening, membuka lemari. Sebenarnya, ada di dalam lemari, tapi mereka juga membantu mencari di tempat lain. "Gimana? Ketemu?" tanya Bang Tirta setelah beberapa menit kami berpencar untuk mencari semuanya. Aku menggel
Baca selengkapnya
Percakapan Mencurigakan
"Serius ini?" tanyaku sambil mengambil kartu yang diletakkan di atas meja.  Kafka menganggukkan kepala. Dia tersenyum puas.  Ternyata, selain hanya dapat babak belur, Kafka juga berhasil mendapatkan sesuatu. Aku menjentikkan jemari, mengambil kartua nama itu.  Rian. Ada nomor ponselnya, juga ada alamatnya.  Aku terdiam melihat namanya.  Ah, benar dugaanku. Orang yang sama dengan yang tadi. Aku menatap Kafka yang menganggukkan kepala.  "Keren banget." Aku mengacungkan jempol ke dia.  "Kapan kita mau kesana?" tanya Rini pelan. Dia seperrinya tidak sabaran lagi.  "Hargai yang lagi berduka dulu. Nanti saja. Sekarang, kita fokus sama Bang Toba. Kayaknya dia terpukul banget."  Kafka beranjak. Aku diam sejenak, menyenderkan punggung. Menghela napas pelan. 
Baca selengkapnya
Beberapa Langkah di Depan
"Bermain pintar apa, Mas?" "Eh?" Dia langsung menoleh. Wajahnya terkejut, buru-buru menutup telepon.  "K—kamu kok bisa ada di sini, Nina?" tanyanya sambil mengusap wajah.  "Kenapa memangnya?" Aku menantangnya. Apakah ini ada hubungannya dengan si Rian itu? Dan apakah ada hunungannya dengan kematian Raja? "Tidak usah berpikir macam-macam. Ayo ke ruang tamu. Kenapa juga bisa sampai ada di sini." Dia mendumal.  Aku diam sejenak. Kemudian menganggukkan kepala. Sebenarnya, aku harus bisa menjebak Mas Reno agar aku tau yang sebenarnya.  Bagaimana caranya? Ah, aku juga tidak tahu bagaimana caranya.  "Mau ngapain kesini?" tanya Mas Reno sambil duduk di sofa sebelah Mamanya.  "Main aja." Aku menjawab pendek.  "Bagaimana surat perceraian. Sudah kamu urus? Aku saja ya
Baca selengkapnya
Bantuan Tak Terduga!
"Pantas." Fajar mengangguk-anggukkan kepala. Dia paham sekali dengan apa yang dikatakan oleh Kafka.  "Saya tau kamu pintar. Gak mungkin seceroboh itu sampai memberitahukan sesuatu tidak penting." "Nah, itu tau." Kafka menjentikkan jarinya.  "Baik. Saya akan membantu kalau bisa. Kalau saya merasa keberatan, gak bakalan saya bantu." Kafka menoleh ke aku. Dia kemudian mengangkat bahu. Menatap Fajar dalam-dalam.  Beberapa detik diam, Kafka akhirnya mengangguk.  Adikku itu memberitahukan semua rencananya. Sementara Fajar menyimak. Kami juga ikut menyimak, tanpa memotong penjelasan Kafka sedikit pun.  "Ah, cerdas sekali." Fajar menggelengkan kepalanya. "Sayangnya, umur kamu belum mencukupi. Bisa-bisa, saya yang kena masalah." "Begitu." Kafka menganggukkan kepala. Dia menatap Fajar serius sekali.&nbs
Baca selengkapnya
Fajar Sebenarnya Adalah ....
"Serius pernah kesana?" tanya Kafka mulai tertarik mendengar kata-kata Fajar barusan.  "Ya. Pernah kesana. Lumayan tau soal detail tempatnya." "Ah, bagus sekali. Nyariin siapa yang tau, ternyata orangnya ada di sini." Kafka nyengir. Dia menjentikkan jarinya. Terlihat senang sekali.  "Oke—" Bang Tirta lebih dulu menarik tangan Kafka. Dia juga ikut menarik lenganku, mau ngapain, sih? Kan sudah mau berangkat. Apa harus pakai adegan bertengkar dulu? Haduh, aku tidak paham dengan pola pikir mereka berdua.  "Apaan sih, Bang?" tanya Kafka kesal. Dia melepaskan genggaman tangan Bang Tirta, kemudian mendelik padanya.  "Jangan asal masukin orang, dong. Iya, kita tau kalau si Fajar itu pengacara. Tapi dia gak bisa terlalu dipercaya juga, kan? Sahabat bisa jadi musuh, lho, Kaf." Aku
Baca selengkapnya
Keluarga Rakus Mengemis
"Fajar! Udah lama gak ke markas ini!" Aku memperbaiki posisi duduk. Fajar sudah sampai di dalam ternyata. Sudah ada yang menyapanya juga.  Sekarang, aku hanya takut dia malah ketahuan. Itu lumayan berbahaya.  "Iya. Baru ada waktu. Gimana kabarnya semua, nih?" "Baik semua." "Oy, Fajar!" "Kayaknya, dia disegani banget," gumam Bang Tirta. "Iyalah. Abang gak tau aja semua riwayat pendidikan dia. Dia bukan orang sembarangan. Masuk kesana aja karena sesuatu." Mataku menyipit menatap Kafka. Lumayan penasaran dengan masa lalu Fajar. Apa dia benar orang hebat di masa lalu? "Oy, Rian! Apa kabar, nih? Apa kerjaan sekarang? Kayaknya sihuk banget. Mana pakaiannya hitam terus. Gak ganti?" tanya Fajar sambil menepuk pundak Rian.  "Ada pekerjaan sesuatu, lah. Itu penting banget dan lagi sibuk. Kerj
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status