All Chapters of Crescent Moon: Chapter 41 - Chapter 50
80 Chapters
41. Insomnia
Aku tak bisa tidur—sungguh, hal sesederhana itu justru tak mampu kulakukan sekarang, seolah-olah memejamkan mata merupakan aktivitas yang berat untukku. Aku bukan tipikal orang yang suka begadang apalagi pengidap insomnia. Aku yakin Xaferius pun merasakan perihal yang sama dengan yang kurasakan. Jam dinding menunjuk ke angka tiga waktu dini hari, tetapi Xaferius juga masih belum kembali ke kamar. Ada rasa enggan yang memuncak di dadaku—aku tak ingin menyusul pria itu di ruang kerjanya atau ruang mini barnya hanya untuk melihatnya marah. Dia bukan Xaferius Black yang kukenal dalam kondisi itu. Aku beringsut ke samping ranjang yang menimbulkan bunyi gemeresik pendek, lantas duduk dan menyisir rambutku dengan jemari—memikirkan sesuat
Read more
42. Perpisahan
Aku tertidur setelah pukul sembilan pagi—sendiri, Xaferius sudah berangkat ke kantor sejak tadi. Kami berdua mendadak melakukan perang dingin—tanpa menyapa apalagi bicara. Durasi tidurku menjadi terpengaruh dan berantakan, aku terbangun dua jam kemudian karena hal yang sama; mimpi buruk. Aku pun beranjak dari ranjang, merendam tubuhku di bathub dan menolak semua pelayanan yang ditawarkan oleh para pelayan Xaferius—mengunci pintunya dari dalam agar mereka tak merecokiku dengan sejuta pertanyaan tentang jenis menu sajian apa yang ingin kumakan atau jenis pakaian apa yang ingin kukenakan, seolah-olah aku merupakan sang putri dari suatu negeri yang harus terus-menerus dilayani. Aku muak. 
Read more
43. Zona Arus Pasang Surut
Aku selesai denganmu. Bagaimana aku sanggup dan otomatis berubah menjadi sekeji itu pada Xaferius? Apa aku justru menyesalinya sekarang? Aku meringkuk di balik dipan tipis yang menimbulkan suara derit panjang sesaat setelah aku menggerakkan salah satu kakiku—memeluk sekaligus mengutuk diriku sendiri; di toko bungaku. Berpisah dari Xaferius memang belum pernah tercetus dalam benakku—aku bahkan tak pernah membayangkan ada dunia yang lebih kelam dari duniaku sebelumnya—kehilangan orang tua di usia kanak-kanak. Kini aku memahami rasanya menjadi Aldrich yang merindukan Cattleya sepanjang waktu. Gelap. Hitam. 
Read more
44. Efek Domino
Jantungku seketika terasa mencelus ke rongga perut. Suara Aldrich terdengar seperti alunan musik yang paling ingin kuputar sekarang—menghalau kesepian yang telah meninggalkan jejaknya di seluruh sudut ruangan sejak perpisahanku dan Xaferius terjadi. Aku beranjak dari dipan yang lagi-lagi menjerit, seolah-olah mencegahku untuk beralih membuka pintunya. “Anna? Apa kau masih di sana? Bukalah, kumohon.” Sepasang kakiku berhenti melangkah—ragu-ragu, apa aku harus membiarkan Aldrich masuk dan melakukan sesuatu yang akan kusesali lagi? Rasa curigaku kembali mendominasi—mengapa pria itu mengunjungiku di waktu yang kurang tepat? Aku spontan menggeleng, lantas mencoba mengenyahkan segenap pikiran buruk yang muncul di dalam kepalaku—memutar kuncinya dan menarik kosen itu yang serta-merta membuatku menyaksikan
Read more
45. Sisi Kontras
“Cium aku.” Aku terperangah, lantas membenturkan keningku pada pundak Aldrich sebab ukuran tubuhku memang hanya berkisar setinggi itu di hadapannya—berharap tindakan yang baru saja kulakukan dapat memberikan efek menyakitkan baginya. Namun, aku justru mencederai diriku sendiri. Aku mengaduh dan kepalaku mendadak jadi pening—astaga, mengapa tubuh pria itu seperti batu? “Apa yang kau lakukan?” tanya Aldrich—ekspresi wajahnya menahan geli. “Apa hanya itu yang ada di dalam otakmu? Mengapa kau tidak bisa mengontrol pikiranmu?” jeritku gusar sambil menggertakkan gigi padanya. “Bukankah aku pernah mengatakannya padamu, Anna? Aku selalu kehilangan kendali jika aku
Read more
46. Dosa Terindah
“Demi Tuhan, kau manis sekali,” komentar Aldrich setelah melepaskan tautan bibir kami yang basah. “Apa itu cukup manis untuk membuatmu mabuk?” Aldrich memamerkan senyumnya—lebar dan ramah, “Sejak kapan kau jadi pintar menggoda? Apa keahlianmu berkembang sepesat itu dalam dua bulan terakhir?” “Anggap saja aku tipikal murid yang cepat belajar,” bisikku sambil menatap wajahnya. “Sayang sekali kau bukan milikku, Anna. Aku akan menyimpan seseorang sepertimu selamanya.” Selamanya. Aku lagi-la
Read more
47. Alter Ego
Perbuatan kami semalam masih membekas di dalam pikiranku. Aldrich mahir menghabisi tenagaku dengan seluruh stamina yang dia punya—kami bahkan mengulangi aktivitas luar biasa itu hingga tiga kali. Sungguh, dia pria yang hebat. Aku tidak ingin membandingkan Aldrich atau Xaferius karena mereka punya nilainya masing-masing. Kini tubuh jahanamku menjadi lebih cepat beradaptasi pada ukuran Aldrich dan Xaferius, seolah-olah aku memang diciptakan untuk mereka—dua werewolf yang sama-sama mengisi hatiku dengan tiang neraca yang tak seimbang. Aku tahu aku terdengar serakah atau apa ada cap yang jauh lebih buruk dari itu? Aku akan menerimanya. Aldrich pergi pagi-pagi sekali, dia bermaksud menghindari fajar—meninggalkan aku yang masih merasa k
Read more
48. Hidup Normal
Aku berhasil melewati dua minggu tanpa Xaferius di sisiku—kondisi yang awalnya terasa mustahil, tetapi siapa yang menyangka bahwa aku mampu melalui seluruh prosesnya? Rasa patah hati yang hebat itu masih menggoresku hingga sekarang. Aku sudah mencoba menghalau bayang-bayang mate-ku sendiri, meskipun gagal—aku selalu menangis dan menyesali segenap tindakan bodohku. Ironis, bukan?   Aku memang mendapatkan ‘hidup normal’ yang kuinginkan—berinteraksi dengan wajar seperti diriku yang dahulu, menjadi manusia yang bebas, dan sejumlah hal lain yang lumrah untuk dilakukan sebagai entitas tak abadi. Namun, mengapa aku justru merasa... kosong? Bukankah aku seharusnya merasa bahagia? Apa itu artinya keputusan yang kubuat salah?
Read more
49. Nekropolis
“Apa kau menyukainya?” Aku menoleh pada Aldrich sebelum menyahut, “Tentu saja. Aku suka sensasinya. Itu membuatku berpikir seolah-olah aku merupakan seorang nomaden yang selalu bepergian dengan van tuanya untuk menjelajah ke seluruh negeri.” “Apa kau tahu, Anna? Dahulu, aku juga sempat berpikir bahwa aku ingin hidup seperti itu. Aku ingin menjadi seorang werewolf nomadik, tetapi sayangnya aku tidak bisa melakukannya,” balas Aldrich yang masih memfokuskan pandangannya ke depan. “Kau bisa jika kau memang mau. Maksudku, semua orang akan mendapatkan yang mereka inginkan jika mereka mengusahakannya. Kau hanya tinggal mengurus beberapa hal yang harus kau
Read more
50. Genogram
Hampir seluruh makam yang ada di The Necropolis mempunyai genogram pada nisannya—silsilah tentang satu keluarga itu ditulis dengan apik dan rapi, pekuburan estetik yang juga menjadi destinasi wisata bagi para wisatawan. Namun, keadaan sepi saat kami berkunjung sekarang. Sebelum kami keluar dari kawasan kuno itu, aku menangkap sebuah bangunan lain yang letaknya cukup dekat dari posisi katedral. “Apa itu?” tanyaku pada Aldrich yang masih berjalan di belakangku. “Itu museum, Anna. Apa kau juga ingin masuk ke sana?” “Tidak sekarang. Mungkin lain kali.” Akhirnya, kami tiba di dua buah makam yang posisinya berdampingan—nisan itu berdiri menjulang dengan monumen dan patung se
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status