Semua Bab Crescent Moon: Bab 31 - Bab 40
80 Bab
31. Bulan Sabit
Kami sedang mengistirahatkan diri di atas sofa setelah permainan panjang dan panas itu berakhir selepas dini hari. Aku duduk di dalam pangkuannya sambil memeluk dada Xaferius yang selalu terasa nyaman, seolah-olah tubuhnya memang diciptakan untukku. Kami saling bertukar cerita dari hal-hal remeh hingga hal-hal di luar nalar yang terjadi selang beberapa waktu terakhir. “Apa kau sudah memutuskan nama toko bungamu?” “Belum. Maksudku, ada dua pilihan yang menjadi kandidat, tetapi aku masih belum memutuskan.” “Dua? Beritahu aku,” serunya antusias. “Berjanjilah untuk tidak menertawakannya.” Satu alis Xaferius terang
Baca selengkapnya
32. Pungguk Merindukan Bulan
Barangkali, aku memang bersikap sedikit kekanak-kanakan. Aku mengurung diri di kamar mandi selama dua jam selepas Xaferius menolak ideku untuk menjadi makhluk abadi seperti dia. Hasilnya, aku sukses membuat kelopak mataku sembap karena menangis.  Aku terus bertanya-tanya apa keinginanku itu salah? Di mana letak kekeliruannya? Satu sisi diriku selalu berusaha mendukung gagasan mustahil yang langsung Xaferius tolak mentah-mentah, sementara satu sisi diriku lainnya ikut berdiri di pihak pria itu—memberi segenap kalimat cercaan miring yang membuatku berpikir bahwa aku tidak pernah cukup layak untuk bersamanya. “Anna? Apa kau akan tetap bersembunyi di dalam sana selamanya?” cecar Xaferius yang kembali mengetuk pintu kamar mandi dari luar. “Pergilah!&r
Baca selengkapnya
33. Toko Bunga Xana
“Ide bisnis yang hebat, Anna.” “Lokasinya juga strategis,” sambung Tavash yang menimpali Tavish—saudara kembarnya. Alastair bertepuk tangan dan ikut menambahkan, “Kalian berdua memang pasangan berotak bisnis.” Kami lantas tertawa menanggapi pernyataan dari pria bermata besar itu. Mereka semua hadir ke dalam acara peresmian sekaligus pembukaan toko bungaku di pusat kota setelah menunggu selama beberapa waktu. Aku senang hari-hariku akan terisi dengan kegiatan yang membuatku lupa bahwa aku si anak yatim piatu yang ingin dijual oleh pamannya sendiri. Aku menjauh dari kerumunan masal para werewolf
Baca selengkapnya
34. Pantai Ayrshire
Hari-hari yang kulalui bersama Xaferius adalah masa yang menyenangkan sekaligus menggelincir dengan cepat. Aku tidak mengerti mengapa waktu berputar dalam siklus yang begitu laju bagi orang-orang yang sedang menikmatinya. Teori itu terbukti pada kami—aku duduk di tengah-tengah kendaraan roda empat jenis SUV ikonik keluaran terbaru beratap terbuka milik Xaferius sekarang. Kami semua telah sepakat pergi ke Pantai Ayrshire atas saran Lucas. Xaferius ikut mengiyakan sebab pantai itu merupakan salah satu yang terbaik di Skotlandia dan mempunyai akses mudah ke sana. Kami bergerak dengan beberapa iringan. Mustahil bagi sepuluh anggota werewolf akan muat hanya dalam satu mobil, bukan? Adaire, Shaunn, dan Simon ikut bersama kami, sementara Matthew, Lu
Baca selengkapnya
35. Intuisi
“Aldrich?” Aku hanya yakin satu hal—indra penglihatanku masih bekerja dengan baik. Itu adalah Aldrich—dan dia tak sendiri. Ada tiga sosok lain bersamanya; dua orang pria yang belum pernah kulihat sebelumnya juga seorang wanita yang mengamuk padaku di rumah sakit tempo lalu. Aku mencoba mengingat namanya, tetapi otakku memang mahir melupakan sesuatu yang bukan menjadi prioritas untuk kusimpan dalam memori. Samantha. Sasha. Sa... Sarah. Aku ingat sekarang. Dia Sarah. Apa yang mereka lakukan
Baca selengkapnya
36. Ciuman Kedua
“Omong-omong, apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Simon yang mencoba mencairkan suasana di antara kami.   “Bukankah ini tempat umum?” balas Sarah yang seketika meninggikan nadanya.   “Chill, Sarah. Kau tidak perlu mengeraskan suaramu,” tegur Aldrich yang melayangkan pandangannya pada wanita itu.   Sarah menggertakkan gigi, lantas melengos pergi menuju pondok. Apa dia selalu bersikap temperamen seperti itu? Aku benar-benar tak menyukainya dan aku pun yakin jika dia punya perasaan yang sama terhadapku—dia juga tak menyukaiku. Wanita itu tak perlu repot-repot mendeklarasikan kebenciannya padaku sebab tatapan yang dimilikinya telah menggambarkan semua hal; barangkali dia selalu berharap ak
Baca selengkapnya
37. Benang Nasib
Ciuman keduaku bersama Aldrich kembali terjadi. Cepat. Tepat. Penuh rindu. Dia menumpahkan seluruh perasaannya di cumbuan itu dan aku tahu aku seharusnya memukul—atau mematahkan hidungnya saja seperti yang Xaferius pernah minta padaku. Namun, aku justru membiarkan pria itu menjamah bagian dari wajahku. Barangkali, aksinya yang tiba-tiba sudah membuat otakku kehilangan fungsinya untuk merespons dan saat reaksi yang harus kutunjukkan hadir, suara kesiap spontan keluar dari mulutku. Kaki kananku refleks terangkat—bergerak menuju satu sasaran yang berada di tengah-tengah tubuhnya; selangkangan Aldrich. Aku menendang aset kebanggaannya sekeras yang kumampu hingga pria itu mengumpat, lantas melepaskan tautannya di bibirku. Gotcha, you pea
Baca selengkapnya
38. Firasat
Suasana hatiku memburuk tanpa sebab—aku tahu alasannya, tetapi hanya enggan membaginya. Aku baru saja selesai merangkai beberapa buket sederhana untuk dipajang. Hari ini toko bungaku cukup ramai, ada sejumlah pesanan yang harus kukirim nanti sore. Itu secara tak langsung membuat perhatianku teralih ke hal-hal lain yang memang harus dikerjakan. Sejak kembali dari pantai kemarin sore, aku lagi-lagi dihantui mimpi buruk—isinya kebanyakan berupa potongan masa kecilku, sementara sisanya tentang Aldrich. Mengapa nama itu terus-menerus muncul dalam kepalaku? Aku menggertakkan gigi, lantas meraup kasar sekuntum bunga mawar putih yang masih segar di dalam vas dengan maksud memindahkannya ke tempat lain. Aku sontak mengaduh setelah salah satu durinya berhasil menusuk dan melukai jari tengahku. Setitik darah kemudian merembes dari l
Baca selengkapnya
39. Selamat Tinggal
Sepasang mataku seketika melebar sesaat setelah Rowan memamerkan deretan kukunya yang runcing. Dia bergerak maju mendekati posisiku, sementara aku beringsut mundur ke belakang. Senyum keji di sudut bibirnya terbit; garis ekspresif yang menampilkan seringai dendam. “Ro-Rowan? Apa yang kau lakukan?” “Bunuh dia,” bisik Sarah yang memberi dukungan penuh pada Rowan untuk beraksi. Habislah, pikirku. Apa aku akan benar-benar menjemput takdirku sekarang? Aku mempercepat langkah mundurku, berharap tindakan itu dapat membantuku terlepas dari ancaman bahaya. Namun, sesuatu membentur salah satu kakiku—membuatku tersandung dan terjerembap ke atas lantai. Aku menahan pekikanku menjadi geraman pendek
Baca selengkapnya
40. Bendera Perang
Aku sedang duduk di balkon sekarang—memandangi bulan yang naik lebih tinggi di ujung langit, sementara bintang bertaburan seperti batu permata. Xaferius baru saja selesai mengoleskan obat dengan jenis salep pada leherku, agak perih, tetapi memberikan efek dingin yang seketika menyirami kulitku yang tergores setelah beberapa menit berlalu. Bukan tipe luka yang serius, tetapi pria itu masih sangat marah. Pertama kali datang, Xaferius terus menggertakkan giginya berulang kali dan menghancurkan dua buah guci bernilai fantastis di ruang tamu. Benda yang dibelinya secara khusus dari Negeri Tirai Bambu itu spontan pecah berkeping-keping, mengotori seluruh ruangan di lantai dasar. Dia melampiaskan emosinya pada barang malang itu—menyuruhku masuk ke kamar hingga perasaannya stabil, kemudian menyusul dan membantu membersihkan cedera yang kualami. 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status