Semua Bab Ikatan Tak Dirindu: Bab 11 - Bab 20
52 Bab
Bab 11 | Cek Ratusan Juta
 Tiba di kantor polisi, Safira dan ayahnya mengisi buku tamu. Tak lama kemudian keduanya menunggu di ruang besuk. Didampingi seorang sipir, Sagara muncul dengan wajah tertunduk. Sama sekali dia tak berani menatap Safira dan ayahnya. Sementara itu, Safira dan ayahnya tak berkedip sedikit pun memandangi Sagara. Amarah ayah Safira bergolak. Terlebih lagi Safira. Ingin sekali dia memukul-mukul lelaki yang telah menodainya sampai habis tak tersisa. Ayah Sagara yang duduk, dia segera bangkit. Dan langkah cepat, dia memburu Sagara. “Anak kurang ajar!” pekik ayah Safira. Dia menampar dan memukul Sagara berkali-kali. Apa yang dilakukan oleh ayah Safira dihalangi oleh sifir. Sayangnya sifir pun hampir kewalahan menahan kekuatan ayah Sagara yang didorong karena amarahnya yang meledak-ledak. Sagara sekuat mungkin dia menahan rasa sakit, tanpa mengelak sedikit pun. Di
Baca selengkapnya
Bab 12 | Test Pack
“Mohon Bapak tidak salah paham. Dengarkan dulu penjelasan saya,” kata Ustaz Reza.“Tenang, Pa...” ibu Safira meremas jemari suaminya. “Nggak ada salahnya kita dengerin dulu penjelasan Pak Ustaz.”“Silakan, mau menjelaskan apa?” kata ayah Safira.“Saya bisa paham kondisi Bapak saat ini, karena saya punya anak perempuan. Saya pun pasti sedih dan marah bila anak perempuan saya mengalami kondisi yang tidak seharusnya terjadi seperti yang dihadapi Nak Safira saat ini,” kata Ustaz Reza.“Saya saya sangat terpukul manakala yang melakukan kejahatan atas Nak Safira adalah anak saya. Seandainya saya bisa melaksanakan hukuman yang sesuai syariat Islam atas kasus penodaan terhadap perempuan, saya rela dan bersedia untuk menghukum anak saya saya sendiri dengan hukuman mati biar menjadi pelajar bagi yang lain agar tidak lagi merendahkan seorang wanita.”“Dan sebenarnya Bapak sekeluarga
Baca selengkapnya
Bab 13 | Pengantin Pengganti
Safira tak menjawab. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, yang ada hanya lelehan air mata. Ibu Safira paham, air mata putrinya sudah cukup menjawab pertanyaan yang barusan dia lontarkan kepada putrinya.“Ini, liat aja sendiri,” kata Safira kemudian seraya menyerahkan tes pack itu kepada ibunya. “Ya Allah… astagfirullah… Ya Alllah...” ibu Safira menangis sejadi-jadinya. Tangisannya jauh lebih menyayat hati dibandingkan tangisan putrinya.Ayah Safira memegangi kepalanya yang pening.Tak lama kemudian, ibu Safira kehilangan keseimbangan. Dia pun pingsan. Tubuhnya yang lunglai tertahan di pangkuan ayah Safira.“Mama...” Lian tiba-tiba datang. Dia terkejut melihat kondisi mamanya.***Sehari kemudian. Belum reda ‘kejutan pahit’ yang menimpa keluarga Safira, mereka kedatangan tamu, yatu dari keluarga Benua.Orang tua Safira yang dalam kondisi sedih tetap harus tena
Baca selengkapnya
Bab 14 | Titip Cinta
 “Mama kenapa mendadak begini sih. Sebelum ngomong begini kita harusnya ngobrol dulu,” kata ayah Benua.“Tenang, Pa. Ini bukannya baik untuk anak kita,” ucap ibu Benua santai.“Papa nggak ngerti, baiknya di mana?”Ibu Benua tak membalas pertanyaan itu. Dia merasa santai tanpa ada beban.Berliana sungguh tak menyangka akan ikut terseret dalam pusaran besar yang sungguh rumit ini. Matanya tak berkedip. Dia memandang ibu Benua yang masih tersenyum ke arahnya.Kemudian dia berganti memandang kakaknya yang malam.Safira dan Berliana bertatapan cukup lama. Mereka berusaha saling menyelami perasaan yang menyelimuti di antara mereka berdua.“Bagaimana Bu, Pak… bersedia?”“Maaf, kami lebih baik memilih tidak ada pernikahan sama sekali,” kata ibu Safira.“Iya, lagi pula jika harus menikah dalam waktu dekat, Lian masih harus fokus menyelesaikan ku
Baca selengkapnya
Bab 15 | Permintaan di Kantor Polisi
 “Karena jika aku gagal menikah dengan Benua, di luar sana aku tak yakin dia akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku.”Safira menghembuskan napas dalam-dalam. “Sementara jika kamu, aku sudah melihat keseharianmu, melihat segala kebaikanmu, mengikhlaskannya untukmu aku lebih lega ketimbang wanita lain di luaran sana yang tak bisa kupastikan apakah dia wanita baik-baik,” lanjut Safira dengan suara berat. Dia ingin lebih kuat, tak menangis. Namun nyatanya dia tak bisa membendung air mata yang membanjiri pipinya.Dalam kondisi berurai air mata, Safira berdiri.“Aku akan pergi,” ucap Safira.“Mau pergi ke mana?” tanya ayah Safira.“Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin hamil tanpa seorang suami,” ucap Safira.“Ibu belum ngerti, apa rencana kamu, Nak?”“Aku ingin ke kantor polisi, minta kepada pihak kepolisian ag
Baca selengkapnya
Bab 16 | Malam Jelang Akad
 “Dia bisa keluar dari rutan ini, tapi status dia tidak berubah. Dia tetap berstatus sebagai tahanan kota. Dia tidak boleh bepergian keluar kota. Dan dia diwajibkan melapor secara berkala selama masa hukuman,” jelas polisi itu.“Baik, terima kasih, Pak. Sekarang bisakah saya ketemu dengan Sagara?”Polisi pun mengizinkan Safira dan ayahnya untuk menemui Sagara di ruang besuk.Sampai di ruang besuk, Safira dan ayahnya berdiri menunggu kemunculan Sagara.Beberapa menit kemudian, Sagara muncul didampingi seorang sipir.Sagara duduk perlahan. “Apa yang mau Bapak sampaikan kepada saya?” tanya Sagara melirik ayah Safira. Ayah Safira tak merespon. Dia  masih menimbang-nimbang kata apa saja yang harus dia ucapkan.“Biar Safira sendiri yang bicara padamu,” ucap ayah Safira sambil memalingkan pandangannya ke arah lain. Dia membalikkan badan sebagaimana yang Safi
Baca selengkapnya
Bab 17 | Debat yang Sia-Sia
 Safira menghirup napas panjang usai meminumnya. “NIkmat, seger banget. Makasih banyak ya, Pa,” kata Safira melirik ayahnya.“Yang lagi hamil itu nutrisi harus terpenuhi dengan cukup. Kalau kamu butuh apa-apa dan pengen makan apa, tinggal bilang sama Papa, Mama dan adikmu. Kita harus perlakukan kamu  harus bener-benar spesial di sini hehe,” ucap aya Safira.“Pokoknya Kakak sekarang jadi Inces ya...”“Kamu sekarang adalah Queen di rumah ini,” kata ibu Safira.Apakah ini sebuah kebetulan? Panggilan itu mengingatkannya pada Benua. Lelaki itu memang spesial memang memanggilnya seperti itu. Seingatku, hanya aku dan Benua yang tahu panggilan itu. Dari mana mama tahu panggilanku. Ah, tidak, kayaknya Mama ucapan mama itu hanya kebetulan saja, pikir Safira.Dan tiba-tiba pikiran Safira jadi membanding-bandingkan dirinya dengan Berliana. Apakah nanti Benua akan memang
Baca selengkapnya
Bab 18 | Pesan Terakhir untuk Sagara
 “Mama dan papa dulu sering bilang sama kamu bahwa mama dan papamu menikah awalnya tidak didasari dengan rasa cinta. Kami dijodohkan, masing-masing dari kami dulu sudah punya pilihan. Namun karena kami mengikuti keinginan orang tua kami bersedia menikah,” jelas Ibu Benua.Entah untuk yang keberapa kali dia mendengar cerita itu dari ibunya. Sejak kecil dia memang mendengarkan ayah dan ibunya mengenai kisah rumah tangga keduanya.“Alhamdulillah sampai sekarang pernikahan kami langgeng dan bahagia bisa mendidik dan membesarkan kamu. Kami berusaha berdamai dengan realitas dan belajar untuk saling mencintai,” tambah ayah Benua.Entah yang ke berapa kalinya kalimat itu pun ia dengar dari ayahnya. Dulu sebelum merasakan posisi sulit seperti saat ini, dia senang-senang saja, berusaha menjadi pendengar yang baik dan tak pernah memotong ucapan ayah dan ibunya.“Ma, Pa… buat Mama dan Papa saat itu mungkin mudah. Perj
Baca selengkapnya
Bab 19 | Huru-Hara Saat Akad
 “Dia tidak tahu. Saya mencintainya diam-diam...” ucap Sagara.“Mencintai diam-diam yang salah. Jauh berbeda dengan mencintai diam-diamnya Ali kepada Fatimah. Mencintai diam-diam kamu berujung petaka,” Ustaz Reza tampak murka.Dikata-katai seperti itu, Sagara diam. Dia tak mampu membela diri.“Kenapa kamu tak jujur kepadanya?” tanya ayah Safira.“Aku tak jujur karena sudah jelas dari awal Safira sangat mencintai Benua.”“Padahal kalau kamu jujur, mungkin akan lain ceritanya. Coba kalau kamu bilang sama Papa. Papa tidak akan sungkan membantumu dari dulu. Papa akan melamarkan Safira untukmu lebih cepat sebelum dia dilamar oleh Benua dan keluarganya,” jelas Ustaz Reza.“Iya, Maafkan aku, Pa...”“Berjanjilah kamu tidak akan menyakiti Fira!” pinta ayah Sagara.“Aku berjanji, Pak. Aku akan mencurahkan segenap hidupku untuk membahagi
Baca selengkapnya
Bab 20 | Malam Pertama
 "Kamu tidur di bawah sana!" kata Safira ketus.Wanita berbadan dua itu melempar selimut dan bantal ke arah Sagara. Bantal pun jatuh tepat di kepalanya. Wajah lelaki itu tertutup oleh selimut. Sagara menyingkap selimut yang menutupi wajahnya. Dia pun mengambil bantal yang terjatuh ke lantai yang beralas karpet permadani."Bukannya kita sudah sah jadi suami istri?" kata Sagara. "Kenapa aku nggak boleh tidur seranjang dengan istriku sendiri?" Mendengar kata 'istriku sendiri', Safira merasa sangat asing. Benar-benar dia merasa tak siap sekaligus tak menginginkannya. Sagara celingak-celinguk mengitari kamar istrinya. Ini pertama kalinya dia berada di kamar ini."Jadi aku harus tidur di sini?" tanya Sagara sambil menunjuk lantai beralas karpet yang tengah dipijaknya. Letaknya tak jauh dari ranjang tempat tidur di kamarnya."Ya, malam ini dan seterusnya kamu tidur di situ saja," balas Safira tanpa menatap Saga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status