Semua Bab Teror Berdarah: Bab 41 - Bab 50
63 Bab
Bagian : 41
"Aku mungkin nggak bisa menyembuhkan lukamu, cantik. Tetapi ingat, aku selalu berada di sini. Aku ngg akan pernah melakukan kesalahan yang sama dengan cara meninggalkanmu."   "Aku tahu itu, Luther. Jika saja waktu itu aku nggak melakukan kesalahan, kamu pasti juga nggak akan marah."   "Kesalahpahaman."   "Iya, tetap saja."   Luther menarik tubuh Yonna agar lebih merapat dengannya. "Seharusnya aku nggak menaruh curiga padamu, Yonna. Komunikasi dan kepercayaan itulah yang lupa untuk aku perhatikan."   "Tak apa, ini wajar. Aku juga jadi berpikir kalau kamu marah, berarti kamu masih sayang padaku. Nggak mau kalau aku bersama laki-laki lain." Yonna meraba rahang Luther dengan lembut.   "Siapa yang mau miliknya dimiliki oleh orang lain?"   "Nggak ada."   Keduanya tertawa kecil. Mencari posisi nyaman, Yonna menyembunyikan wa
Baca selengkapnya
Bagian : 42
"Aku pulang dulu, kamu ingat yang kita bicarakan semalam, 'kan?" Luther mengacak rambut Yonna hingga berantakan.   "Ish, iya. Aku bakalan coba."   "Okay. Mereka jadi menginap malam ini?"    "Harus!"   "Kalau begitu, aku nggak berkunjung dulu, ya?"   "Kamu ada rencana di luar?"   "Hm, sama Clovis. Kalau Dovis tertarik, dia juga ikut."    Menatap Luther khawatir, Yonna antara yakin dan tidak jika hubungan kekasihnya itu dengan Clovis sudah baik-baik saja. Seperti sebelumnya.   "Aku sudah ngobrol sama Clovis, kamu nggak perlu khawatir. Dan rencana, lusa, kami akan ikut kamu berkunjung ke pusara ayahmu."   "Terima kasih."   "Aku pulang dulu, bye! Jangan lupa makan." Luther mengecup dahi Yonna, lalu melenggang menaiki motornya dan pulang.   /////
Baca selengkapnya
Bagian : 43
"Ponselku di kamar, Ma. Baterainya habis. Kenapa?"    Yulissa menyerahkan tugas untuk menambahkan choco chips pada biskuit cokelat yang hendak dipanggang berikutnya kepada Yonna.   "Mama lupa memberi tahu kalau nomor telepon Mama sudah berganti."   "Kok, diganti? Tapi ... Waktu itu Yonna telepon, panggilannya masuk, Ma. Cuman tidak diangkat saja."    "Hari itu Mama memang masih menggunakan nomor biasa, tetapi tepat sekitar satu jam sebelum mendapat kabar tentang ayahmu, tas kecil Mama yang berisi ponsel dan uang kes dirampok. Ketika sudah pulang dari pusara kemarin, barulah Mama beli gantinya," jelas Yulissa panjang.   "Ya, ampun. Mama nggak kenapa-kenapa, 'kan? Rampok itu apain Mama? Nggak ada yang luka?" tanya Yonna khawatir, disentuhnya tubuh sang mama untuk memeriksa apakah ada yang luka.   Tersenyum simpul mendapatkan perhatian dari anaknya, Yu
Baca selengkapnya
Bagian : 44
Menjelang waktu malam, Yonna tengah duduk di sofa, menonton berita saat ini. Sekalian ingin menunggu teman-temannya datang, semua jajanan sudah siap. Di grup chat mereka, Malilah berkata kalau mereka merencanakan untuk pesta piama.    Walau Akia sempat menahan agar kegiatan itu diundur saja, Yonna menolak saran Akia tersebut. Tidak ada yang salah dengan memakai piama selaras, perang bantal, menikmati film sambil makan bersama. Ia pun, setuju dan memutuskan untuk melakukan semuanya bersama.    Bagi Yonna, memang buruk jika kita berlarut dalam duka. Tidak ada yang salah dengan mencoba menghibur diri. Namun, bukan pula itu bermaksud untuk tidak menghargai dia yang sudah tiada. Asal tahu batasan, tidak melakukannya secara berlebihan.   Meneguk habis jus jeruk yang tersisa sedikit, Sharmion mengerutkan dahi bingung saat di layar televisi tertera nama sekolah yang sangat tidak asing.    SMA
Baca selengkapnya
Bagian : 45
Menampilkan raut tengah berpikir, Yonna mengingat apa yang Rasia katakan mengenai apa ucapan Gisel sebelum nyawanya terenggut.  "Kamu tadi bilang apa, Yon?" tanya Akia yang tidak begitu mendengar jelas perkataan Yonna.  "Kalian ingat sama yang aku ceritakan waktu itu, nggak?"  Malilah membenarkan membenarkan posisi bantal yang dipeluknya. "Yang mana? Banyak yang sudah kau ceritakan ke kita, tahu! Ngomong yang jelas." "Tentang Pertez," jawab Yonna. Terlihat tertarik, Petunia mendekat saat menangkap tubuh Yonna mulai condong ke depan. Seakan hendak menceritakan satu hal yang begitu rahasia di dalam ruangan penuh, walau kenyataannya tidak ada orang selain mereka berempat di sana. "Oh, waktu kita teleponan itu, ya?" terka Malilah.  "Iya." "Ya-yang mana?" Petunia tidak pernah mendengar Yonna bercerita t
Baca selengkapnya
Bagian : 46
Dengan tergagap, Yonna mencoba melangkah keluar dengan hati-hati. Keadaan rumah begitu gelap, tanpa cahaya setitik pun.    "Aish, kenapa aku lupa bawa ponsel tadi?" keluh Yonna, jika ia membawa ponsel dan menggunakan cahaya dari sana, ia pasti dapat melihat lebih mudah.   "Ma!" teriak Yonna mencari keberadaan mamanya.   Tidak berselang lama setelah panggilan tersebut, lampu di rumah mereka tiba-tiba menyala kembali. Seluruh isi ruangan dapat terlihat, hingga ke bagian sudutnya.   "Nak, kamu baik-baik saja?" Yulissa muncul dari arah dapur.   "Iya, Ma. Ini kok, tumben lampunya mati? Ada pemadaman listrik bergilir, ya?"   "Tidak, Nak. Sepertinya tadi Mama dan bibi menggunakan listrik terlalu banyak, jadinya mati. Tapi tadi Pak Gading sudah menghidupkan kembali listriknya,  setelah kami kurangin beberapa perangkat," jelas Yulissa atas apa yang terjadi.
Baca selengkapnya
Bagian : 47
"Kau nggak pernah cerita kalau kau punya fobia juga, Lil," ujar Yonna yang memilih menutup kembali laptopnya. "Aku itu selalu mau cerita, tapi nggak tahu kenapa sering lupa. Sebenarnya ini juga aku baru sadari, sekitar tiga bulan lalu." Petunia yang selesai mengirim pesan pada psikiater kenalan papanya, mengubah posisi duduk menjadi lebih dekat dengan mereka. "Ka-kamu fobia apa, M-Malilah?" "Hm, katakan!" desak Yonna yang sudah kepalang penasaran. "Sini, dekat-dekat. Biar aku cerita," titah Malilah yang langsung dituruti oleh mereka, termasuk Akia.  "Kami sudah merapat, sekarang waktunya kamu cerita, Lil. Jangan bikin kami penasaran aja," ujar Akia, membuat yang lain mengangguk setuju. "Okay, jadi aku itu fobia sama kata-kata yang panjang banget! Banget!"  Dahi Yonna mengerut, dibenarkannya ikatan rambutnya yang mulai longgar, l
Baca selengkapnya
Bagian : 48
Pertanyaan Malilah membuat Petunia terdiam sebentar, kemudian perempuan itu pun menggeleng pelan.    "Se-sejauh ini, saya be-belum pernah berpikir u-untuk memberontak, L-Lil," jawab Petunia santai.   "Kamu juga kenapa bertanya seperti itu, Lilah. Kalau Petunia saja merasa nyaman, dia pasti tidak mungkin menjadi pemberontak."    Malilah memajukan bibirnya. "Kan, dia anak papi. Pasti apa kata papinya, dia langsung nurut aja."   "Atau sebaliknya," timpal Yonna.   "I-iya, te-tetapi kebanyakan saya y-yang ikut kata Papi. Se-sepertinya saya te-terlalu penurut." Petunia pun tertawa kecil.   "Kok, kau tahan sih, begitu?" tanya Malilah lagi penasaran, sebab dirinya tidak begitu suka diatur.  
Baca selengkapnya
Bagian : 49
"Itu artinya kamu ada rasa kepada Dovis, Lil!" terka Akia yakin. Masih mengelak, Malilah mengayunkan kedua tangannya dengan kuat. "Kupikir itu wajar, Kiya. Kami kan sudah sering bercanda, bertengkar, jadi pas dia tiba-tiba menjauh begini rasanya sesak aja." "Kalau kau awalnya biasa aja ke Dovis, pasti sekarang juga biasa aja. Kecuali kau merasa spesial." "Sebenarnya tidak juga seperti itu," ucap Akia kemudian, "Saya rasa karena kalian begitu dekat, pertemanan kalian berdua sangat akrab, sehingga saat salah satunya menjauh, akan ada sensasi terluka." Menatap Akia malas, Malilah menunjuk perempuan itu. Sebelumnya Akia begitu yakin bila Malilah menyukai Dovis, lantas kini dugaannya tiba-tiba berubah. "Itu yang aku mau coba jelaskan dari tadi, tahu. Kalian malah kekeh bilang aku suka sama Dovi. Bayangin aja, kebiasaan setiap sekolah selalunya dijailin, eh, tiba-tiba jadi kayak orang asing." Malilah memalingkan wajahnya, kembali menatap layar lapto
Baca selengkapnya
Bagian : 50
Menggerakkan kepalanya naik dan turun secara berulang, Akia memiliki pikiran serupa dengan penyampaian Petunia barusan.   "Benar, sebaiknya kita tidak melakukan rencana ini sendirian. Ya, dalam artian hanya berisi perempuan. Akan terlalu berbahaya bagi kita, terlebih lagi saya tidak tahu cara terbaik dalam membela diri. Saya tidak tahu apa-apa soal itu."   "Aku tahu caranya melawan, tapi cuma dalam mode kepepet. Apa aja yang aku lihat, pasti bakalan bisa jadi alat," serbu Malilah diiringi tawa, lalu detik berikutnya diikuti oleh Yonna.   "Kekuatan dari kepepet itu memang luar biasa, Lil. Tapi nggak selamanya akan berhasil, minimal hasilnya sesuai dari yang kita lakuin. Nggak cukup buat ngejaga kita semua."   "I-iya, maka dari i-itu saya menawarkan un-untuk mengajak t-teman laki-laki kalian." Petunia menatap Yonna saat berucap kalimat tersebut, ia tahu jika keputusan Yonna cukup berpengaruh. &
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status