All Chapters of Beautiful Darkness: Chapter 31 - Chapter 40
50 Chapters
Chapter 31: Permintaan Terakhir Ibu
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Sudah sepuluh hari berlalu saat Ibu Ele dan Rey membuka matanya. Eleanore dan Reynold yang kala itu menemani Sang Ibu pun bergegas memeluknya erat-erat. Ibunya tersenyum senang pada mereka berdua. Sang Ibu bahkan mampu mengelus-elus anak-anaknya yang duduk di tepi ranjangnya. Beberapa jam setelahnya bahkan ia sudah mampu berkomunikasi walau belum lancar. Setidaknya beberapa kata dapat Ele tangkap dari bibir pucatnya. Ele bersyukur. Sangat sangat bersyukur. Ele dan Sang Kakak bergantian merawatnya. Mereka menyuapinya, membersihkan tubuhnya dengan handuk basah, memutarkan lagu kesukaannya, dan apa pun yang dibutuhkan. Seperti yang saat ini tengah Reynold lakukan. Sang Ibu memintanya untuk memutar lagu lawas berjudul Nothing Compares to You milik penyanyi Sinead O’Connor. Ia bilang jika lagu itu mengingatkannya akan Ayah. Mereka berdua dulu di masa lalu suka sekali mendengarkan lagu itu bersama-sama dari pe
Read more
Chapter 32: Perasaan yang Sama
Gerah. Van merasa sangat gerah di dalam kenyamanan yang melingkupinya. Rasanya seperti tubuhnya tengah tertutup oleh selimut tebal berbahan dasar bulu angsa yang pernah dibuatkan oleh mamanya. Selimut bulu itu pernah jadi favoritnya semasa kecil. Bahkan ia selalu minta dibawakan selimut itu kemana pun ia pergi bersama orang tuanya. Akan tatapi, kali ini bukan selimut yang menghangatkan tubuhnya. Van mengerjapkan matanya selama beberapa kali dan mencoba bangun dari lelapnya. Sedetik setelah netranya benar-benar terbuka, ia menyadari bahwa hawa hangat yang membuatnya gerah merupakan keberadaan seorang gadis manis yang tidur di sebelahnya. Sosok yang ia sayangi di masa lalu dan masa kini. Ele masih dengan lelapnya memejamkan mata indahnya. Ia meletakkan wajahnya di dada Van, menempelkan tubuhnya sedekat mungkin dengan tubuh perawatnya. Tangan kanannya dengan nyaman menekan sedikit celah di dada Van yang tak tertutupi wajahnya. Sementara itu, tangan kirin
Read more
Chapter 33: Antara Jepang dan Permohonan Ele
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu     Tora mengaduk-aduk mangkuk serealnya dengan tak bersemangat. Hampa. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Ia merasa begitu kosong. Tak utuh. Seperti ada kepingan yang hilang. Kepingan yang memang sengaja ia hilangkan. Kepingan itu sejatinya berarti untuk membuatnya utuh, namun dengan bodohnya ia malah membuangnya. Ia tanpa ragu membuang berlian dan menyimpan batu karang. Ia akui dirinya memang keterlaluan. Mendorong seseorang pergi dengan cara yang ia lakukan memang sangat kejam. Terkesan jahat. Atau memang benar-benar jahat. Tora tahu, setidaknya bukan dengan cara seperti itu ia seharusnya berpisah dari kekasihnya. Bukan seperti itu caranya mengungkapkan betapa ia sangat menyesal dan sangat ingin memutar balik waktu. Akan tetapi, ia tak bisa menampik bahwa ada satu sisi di dirinya yang mengatakan bahwa ini semua akan berakhir.
Read more
Chapter 34: Janji Seorang Pria
“Kau dengar sendiri penjelasanku tadi! Bukannya aku tak mau pergi, tapi kau yang melarang aku keluar!” “Omong kosong! Alasan saja!” “Serius, Ele. Aw! Sakit! Jangan pukul kepalaku, nanti aku amnesia!” “Lebay! Keluar kau, Mesum! Pergi jauh-jauh!” “Ouch! Ele … Aku tidak bohong. Sumpah! Kau yang tidak mau melepaskan pelukannya.” “Mana mungkin aku begitu!” “Demi—” Brakk. Terdengar suara pintu yang dibanting tepat di ambang muka Van. Ele murka dan berteriak jika ia tidak ingin pria itu ada di kamarnya lagi. Gadis itu dengan membabi buta memukulnya dan menusuk-nusuk tubuh Van menggunakan tongkat andalannya. Van kehabisan kata untuk menjelaskan. Padahal semalam Ele sendiri yang benar-benar tak mau melepaskan. Van pikir reaksi Ele tak akan semarah ini mendapati bahwa ia ikut tertidur di sebelahnya. Ia pikir Ele tak akan segalak sebelumnya. Nyatanya gadis itu malah dua kali lipat lebih garang. “Ele, buka p
Read more
Chapter 35: Penyebab Ele Menjadi Buta
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu     Tora dengan tegas mengatakan jika ia akan pergi. Bahu Ele terasa lunglai saat mendengar penolakan Tora yang terdengar tanpa ragu itu. Namun ia buru-burumenggeleng cepat. Ia tak ingin usahanya berakhir sia-sia. “Sebentar saja, Tor. Sebentar saja, please. Ikut lah denganku ke rumah sakit. Ibuku benar-benar ingin bertemu denganmu,” pintanya memelas. Tora baru saja akan menjawab permintaan Ele sebelum kemunculan mendadak papa, mama, Farel, dan Rianti di ambang pintu menghentikan laju bibirnya yang telah terbuka setengah. Mereka sudah membawakan koper Tora dan koper mereka masing-masing. Keempatnya menatap bingung pada sosok kacau dengan rambut berantakan di hadapan anak bungsunya itu. “Siapa dia Tor?” “Mama kira Irene yang datang.” “Ele?” panggil Farel hati-hati. Ele mengabaikan fakta bahwa lelaki yang sedikit lebih tinggi dari Tora itu mengenalin
Read more
Chapter 36: Percobaan Komunikasi Van
“Tora…” Sosok yang dipanggil dengan suara ragu-ragu itu menoleh. Ia memandang sahabatnya, Ghani, yang berdiri dengan kikuk di sebelahnya. Tinggi mereka yang berbeda jauh membuat keduanya terlihat begitu jomplang. Tora Van Beurden terlihat tinggi menjulang dengan postur tegap. Tubuh gagahnya membuat ia terlihat mengintimidasi kawan karibnya. Terlebih dengan blazer hitam yang membalut kaus putih beserta celana bahan linen yang ia kenakan membuat penampilannya dua kali lipat lebih mempesona dari pada Ghani. Sementara itu, Ghani yang mengenakan jaket bomber dan celana jins cenderung terlihat cukup mini jika disandingkan dengan sahabatnya. “Aku tidak yakin ini ide yang baik. Masih ada waktu buatku kabur sebelum Ele mendengar suaraku.” Van tertawa pelan. “Ayo lah, Bro. Kau bilang merasa bersalah? Katanya ingin minta maaf dengan Ele karena dulu sempat memojokannya? Sekarang saatnya. Kau mungkin belum perlu mengucap maaf langsung, tapi bersikap baik padanya sudah lum
Read more
Chapter 37: Runtuhnya Dunia Eleanore
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu  “Tidak.”Seorang wanita berkata dengan tegas sambil menandatangani surat dari pihak rumah sakit. Ia menyerahkan surat itu dan menatap tubuh berlumuran darah yang tengah berada dalam ruang operasi. Wanita itu menatap cemas di balik kaca.“Saya hanya kebetulan ada di tempat kejadian. Karena rumah saya dekat, saya langsung ambil mobil dan membawanya ke rumah sakit. Saya tidak mengenal korban, Sus.”Setelah suster itu menerima surat yang telah ditandatangani oleh Si Wanita, suster itu segera beranjak menuju ke bagian administrasi. Sementara itu, Si Wanita yang terlihat luar biasa bingung kembali menekan nomor yang sedari tadi sulit ia hubungi. Baru lah ketika pada panggilan keempat, panggilan itu diangkat oleh sosok yang sedari tadi ia cari-cari.“Sayang, kau sudah tiba di bandara?”Si Pria di seberang sana menjawabnya dengan suara ter
Read more
Chapter 38: Kamus Kaum Hawa
Mampu kah Ele melanjutkan jawabannya yang menggantung?Jawabannya adalah mampu. Ele terpaksa melanjutkan jawaban singkatnya karena Van mendesak Ele. Van memintanya untuk lebih kooperatif dalam komunikasi yang coba ia jalin. Kendati butuh waktu yang sedikit lebih lama, Ele akhirnya berani menjelaskan lebih lanjut maksud ‘tidak’ yang tadi ia katakan pada Van.“Tidak. Sebenarnya aku hanya kaget. Sudah lama sekali aku tak pernah sedekat ini dengan siapa pun. Menyadari kalau kau tidur bersamaku semalam ... membuatku terkejut,” terang Ele dengan suara lirih.“Kau tahu kalau aku tidak bermaksud macam-macam denganmu, ‘kan? Aku menghargaimu, Ele. Aku bersumpah tak akan berbuat yang tidak-tidak tapi memang semalam kau tidak melepaskanku sama sekali. Aku—”“I know,” sahut Ele masih dengan suara pelan. Tangannya yang tak digenggam Van ia kepalkan dengan cukup erat. Ia lalu menjelaskan penuturannya. “Se
Read more
Chapter 39: Uluran Tangan
Ada kalanya Ele benci setengah mati pada hidupnya.Sejak netranya tak bisa melihat, ia selalu meminta pada Tuhan untuk mengakhiri nyawanya saja. Ia merasa sendirian di dunia ini. Kendati orang tuanya masih ada, hidup Ele tetap terasa sepi tanpa warna. Sejak ibu dan kakaknya pergi, Ele menghabiskan bertahun-tahunnya dalam kesendirian yang menyiksa. Ia belajar mengeraskan hati dan percaya bahwa dunia sangat kejam padanya. Padahal ia telah berteriak kencang meminta pertolongan namun tak ada seorang pun yang mau mengulurkan tangannya.Ia belajar bahwa sudah sepantasnya menjaga hatinya tetap tertutup rapat adalah kunci ketenangan batin. Ia bisa bertahan hingga sekarang karena kerasnya hati yang ia ciptakan. Ia terbiasa membenci manusia tanpa melihat kebaikan-kebaikan yang orang lain coba berikan padanya. Terkadang kebencian itu malah membuatnya tampak seperti sosok antagonis dalam ceritanya sendiri.Percaya pada orang lain adalah petaka. Ia telah membuktikannya di ma
Read more
Chapter 40: Karaoke
Setelah satu sesi pengakuan perasaan secara mendalam di ruang baca, Van kemudian mengajak Ele untuk keluar dari sana. Ia mengatakan pada gadis itu bahwa hari ini ia punya rencana untuk bersenang-senang. Ia mengajak rekannya juga Yuna yang beberapa hari ini absen dari rumah. Pada awalnya Ele sedikit ragu-ragu saat tahu jika teman perawatnya itu akan datang. Ia tidak terbiasa dengan kehadiran orang asing di dekatnya. Akan tetapi, Van berkali-kali meyakinkan jika temannya itu adalah sosok yang pandai berbaur dan menyenangkan. Mungkin saja Ele bisa terhibur olehnya. Saat Ele dan Van berdiri di puncak tangga, suara bel terdengar tidak berapa lama. Salah satu asisten rumah tangga Ele bergegas menuju pintu dan membukakan pintu. Dua orang yang telah janjian dengan Van masuk dengan membawa dua kotak pizza dan dua botol soda. Yuna langsung bersorak riang memanggil nama Ele yang disambut dengan senyum simpul dari sosok yang dipanggilnya. “Kiano!” teriak Van di sebelah E
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status