All Chapters of Holiday to Wedding Day: Chapter 31 - Chapter 40
93 Chapters
Tragedi Ciuman Aldert
"Cemburu Aldert, maksud kamu?" aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang baru saja dibisikkan Aldert. Jelas, aku dan Arnold hanya berteman. Lagi pula, seandainya kami berpacaran pun apa urusannya? Dia bukan kakak atau adik kandungku. Tidak berhak ikut campur, tentu saja. "Ada-ada saja sih kamu, Aldert?" Sebelum Aldert menarik tubuhnya menjauh dariku, aku yang mendorong dadanya hingga kepalanya terbentur pintu. Sebenarnya itu tadi kolaborasi dari keberanian sekaligus perasaan jengkel yang selama ini terpendam di hati, jujur. Setelah semua kejahatan yang dilakukannya selama ini, tidak masalah kan? Hanya terbentur sedikit kok, tidak keras. Aku yakin tidak akan membuat otaknya cedera. "Oh Pretty, jangan kasar begitu, dong?" tegurnya setelah aku berhasil membuka pintu ruang tamu dan berjalan cepat ke dapur. Jauh di dasar hati, aku me
Read more
Mama Sahabat Terbaik
"Aldert  … Aldert nakal, Mama!" kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku yang pahit dan kering. "Aldert, dia sukanya gangguin aku, Mama. Jahat, jahat  …!" Air mataku membanjiri bandang Guys, sumpah. Rasanya benar-benar sesak. Sampai tak bisa memikirkan lagi bagaimana  reaksi Mama di sana, membayangkan apa yang terjadi denganku selama di sini. Kenalalan Aldert seperti apa yang sudah membuat anak perempuan semata wayangnya ini banjir air mata. Oh, aku yakin otakku sudah benar-benar korslet sekarang dan hati ini hancur. Batik, Guys. Kalian tahu bagaimana Batik, kan? Ya, benar dia berpenampilan seperti preman. Ketua geng MANGKRONG (Mahasiswa Nongkrong) tapi tak pernah sedikit pun menyentuh kulit pun. Tidak pernah juga menggoda perempuan meskipun yang lewat di depan matanya itu perempuan yang cantik mul
Read more
A Woman Is Not A Doll
Oh, ingin rasanya melesat ke Yogyakarta dan tidak pernah kembali ke sini dalam bentuk apa pun, sungguh! "Pretty …?" panggil Aldert lagi dan aku tahu dia takkan pernah menyerah dalam hal ini. Akan terus memanggil sampai aku minimal memberikan sahutan. Oh, tidakkah dia tahu, aku benar-benar malu. Takut. Oh Guys, adalah di antara kalian yang bisa memberikan tips untuk berhadapan dengan sesorang yang sudah dengan jahatnya merenggut kesucian pipi chubby manis kita? Rasanya, oh rasanya lebih baik kehilangan nyawa. "Pretty please, buka pintu?"  Tok, tok, tok! "Pretty?" Aldert memperlembut suara, "Kamu masih marah, ya? Aku minta maaf, benar-benar minta maaf."  Ah!  
Read more
Tidak Lucu Sama Sekali
"Emh sorry, I mean …," malu-malu aku menanyakan apakah dia juga ada kepentingan di play park. Bukan apa-apa, jangan sampai dia tertahan di sini hanya untuk menemani aku. Lagi pula, aku sudah menetapkan play park sebagai lokasi Me Time. Jujur ya jujur, saat ini di hatiku muncul sebuah pertanyaan krusial, mengapa Arnold sering muncul begitu saja di depanku? Kami tidak membuat janji sama sekali, lho. Seperti sesuatu yang sudah diagendakan.  Arnold yang masih mengulum senyum manis menggeleng-gelengkan kepala. Menunjuk pada seorang anak perempuan dengan kuncir dua---rambutnya panjang  berwarna kuning terang---berumur sekitar tiga atau empat tahun di bak pasir. Dia terlihat asyik bermain pasir dengan skop dan ember. "I am working as her baby sitter."
Read more
Harus Ada Yang Mengalah
"Tapi kan, aku juga mau pinjam buku itu, Mama?" gusar, aku mencoba untuk memberikan sanggahan. Enak sekali Uta, aku yang menemukan kok, dia yang meminjam? Memangnya dia tidak bisa menemukan buku bacaan untuknya sendiri? Ya ampun! Waktu istirahat kan, lima belas menit bukannya satu atau dua detik saja? "Uta nakal!" Mama mencuil kecil pipi kiriku, memberikan senyum  hangat. "Hill, sudah dong? Jangan marah lagi ya sama Uta? Uta nggak nakal kok, Uta baik. Iya, kan? Selama ini kan, sejak TK kalian bersahabat baik? Uta sering main ke rumah kita, banyak membantu kamu mengerjakan PR … Meminjamkan boneka, membelikan buku dari hasil dia menabung di rumah, menjaga kamu saat kalian bermain di luar rumah atau jalan-jalan dan banyak lagi kan, Hill? Kita nggak mungkin menyebutkan satu per satu. Iya, kan?" Aku masih diam menyimak saat Ma
Read more
Rahasia Terbesar The Hill
Driiing, driiing! Perasaanku semakin kalut saat menekan bel pintu rumah. Aldert menguncinya dari dalam, jadi aku tak bisa masuk meskipun sudah membawa anak kunci sendiri. Satu-satunya hal yang membuatku sekalut ini adalah pemikiran negatif kalau ternyata Aldert belum pulang dari jalan-jalan atau malah pergi ke rumah Oma, menyusul orangtuanya.  Bagaimana aku bisa masuk ke dalam rumah kalau begitu? Aduh, bagaimana ini? Aku juga sudah sangat lapar karena belum makan sejak tadi pagi. Apa sebaiknya aku makan dulu di kedai? French fries atau apalah, yang penting perut terisi. Ah, bagaimana kalau fillet ikan saja? Sekalian mengenali Leker Fillet dengan lebih baik lagi.  Good idea, Hill!&n
Read more
Sampai Ketemu Nanti Malam!
Kacau. Kacau. Kacau.  Bagaimana bisa Aldert mencampuri urusan pribadiku sampai sejauh ini? Di belakangku, dia menemui Arnold dan mengatakan kalau aku tidak jadi bekerja di Leker Fillet alias membatalkan kesepakatan secara sepihak. Alasannya sangat sederhana, karena aku di sini berada di bawah tanggungjawab orangtuanya. Dia mewakili mereka, tentu saja.  "Oh Arnold, I am very sorry?"  hampir saja aku menangis saat mengatakan itu di sambungan telepon yang tak terlalu jernih. "I didn't know that it will be a problem here, for Aldert's family. His father permitted me to work well in Leker Fillet, really. He supported me, Arnold." (Oh Arnold, aku benar-benar minta maaf?) (Aku nggak tahu kalau
Read more
Takut Kehilangan
"Halo, B?" aku mengulangi menyapa sambil terus membayangkan wajah lengkap sepaket dengan senyum miringnya yang khas. Mata elang, alis ulat bulu, bibir tipis, dagu berbelah tengah, hidung mancung, buku mata tebal dan lentik dan rambut ikal sebahu. Dia sering menguncirnya dengan karet gelang. Kalau tidak kuncir ekor kuda ya digerai begitu saja, kadang-kadang sampai menutupi wajah. "B, apa ini kamu?" Khawatir. Takut. Bingung.  Semua perasaan itu bercampur aduk menjadi satu, menciptakan gemuruh badai di rongga dada. Batik kritis setelah terjatuh di kamar mandi dan belum siuman. Maksudku, Mbak Nilam belum mengirimkan kabar apa pun sampai sekarang.  Bagaimana mungkin aku bisa tenang?  Oke, Batik brengsek. J
Read more
Aldert Modus
"Hill, kamu tahu nggak?" tanya Mbak Nilam setelah aku mengatakan dengan terus terang soal Batik belum bisa lama-lama bicara tadi. Aku merasa ada penekanan khusus di setiap kata yang diucapkannya. Seakan-akan sedang berusaha untuk menggiringku pada sesuatu yang spesial. "Sebenar---" "Oh ya Mbak," tak sengaja aku menyela perkataan Mbak Nilam karena teringat pada janjinya kemarin. Dia kan mau memberi tahu soal curahan hati Batik? Tapi belum jadi karena dipanggil dokter. "Katanya mau cerita soal curhatan Batik? Please Mbak Nilam, jangan buat Hill mati penasaran? Ya, Mbak?" "Tapi apa kamu bisa terima, Hill? Maksud Mbak, apa kamu nggak apa-apa kalau Mbak cerita?""Iya, Mbak. Nggak  … Hill senang kalau Mbak cerita dengan jujur apa adanya."
Read more
Sok Tanpa Dosa!
"Aldert!" sungguh, karakter antagonis yang entah dari mana datangnya itu menguasai diriku dengan sempurna. Mengalir di seluruh darah yang memanas, memaksaku melakukan  sesuatu yang selama ini belum pernah kulakukan. Apakah itu? Dengan segenap kekuatan yang ada aku mengayunkan tangan kanan ke depan, mendaratkan di wajah Aldert.  Plaaakkk …! Seketika suasana di kamar ini memanas, menegang. Menyerupai arena tinju kelas berat, kurasa. Napasku sampai naik turun tak beraturan demikian juga dengan jantung, berdegup super kencang. Nyaris saja melompat ke luar dari rongga dada.  "Kamu jahat Aldert, jahat sekali!" aku mendakwa tanpa ampun. Menuding-nuding wajahnya dengan kemarahan yang semakin merambat cepat mencapai ubun-ubun. Mendesis-desis selayaknya
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status