Tentu saja Rena menolak, atau lebih tepatnya ia berusaha menolak. Karena berada lebih lama dengan Andreas hanya akan memunculkan kegilaan-kegilaan lain dari sosok itu tanpa Rena duga. Tapi betapapun ia berusaha melepaskan diri dan menunjukkan muka mendelik tak terimanya, Andreas justru semakin mencengkram lengan kirinya lebih erat.
"Kamu bisa melakukannya sendiri." Rena mulai tampak kehilangan kesabaran. "Tolong lepaskan saya."
"Sayangnya saya menolak." Andreas masih mengeratkan pegangan tangannya, menampilkan raut tak berdosa andalannya. "Lagipula itu memang tugas kamu, kan? Karena kamu sendiri yang sukarela melemparkan diri tanpa saya minta." Jawaban itu semakin membuat mata Rena membola lebar karena kesal. Andreas sangat lihai memanfaatkan situasi dengan mulut liciknya.
Keduanya masih terus berkeras pada pendirian masing-masing. Hingga aksi saling tarik itu bertahan cukup lama, sampai suara dehaman seseorang dari arah pintu menyela ketegangan d
Rena kembali menyalakan ponsel yang sengaja ia matikan sejak rencana menghindari wartawan bersama Mala dan Mas Tian tertunda oleh kedatangan asisten Andreas yang menjemputnya. Dua puluh panggilan tak terjawab dan belasan pesan masuk adalah hal pertama menyapa Rena di layar datar begitu benda pipih tersebut ia hidupkan. Lima pesan dan lima panggilan dari Mas Tian terlihat di sana. Selain dari itu, sisanya bisa ditebak sendiri milik siapa. Benar saja, sesaat setelah Rena menempelkan panggilan terhubung ponselnya ke telinga, tak butuh lebih dari tiga nada sambung sampai teleponnya langsung diangkat oleh penerima di seberang sana. Diikuti rempetan kalimat protes bertubi-tubi dari Mala, tentang betapa menyebalkan dirinya karena menghilang tanpa kabar selama berjam-jam. Sampai-sampai sulit dihubungi dengan nomor di luar jangkauan. Rena hanya bisa meringis bersalah dari seberang sini begitu tahu kecerobohannya telah membuat Mala dan Mas Tian jadi parno dan panik sendi
Send to Kayla : Kay, ada hal penting yang ingin Mbak bicarakan. Kamu bisa balas pesan ini kalau punya waktu luang, biar Mbak bisa telepon kamu nanti. Setelah melalui pertimbangan panjang semalaman, Rena memutuskan untuk membicarakan masalah ini dengan Kayla sekaligus memberi penjelasan yang sekiranya adik dan ibunya butuhkan. Ia lelah bermain asumsi tentang pandangan keluarganya terkait skandal yang menyebar luas ini. Lebih baik menanggung kekecewaan mereka di waktu sekarang, ketimbang tersiksa menyembunyikan diri dan justru akan memupuk kekecewaan lebih besar di waktu mendatang. Rena memang tak langsung menghubungi Kayla seperti yang direncanakannya semalam. Ia memilih mengirim pesan pada adiknya itu terlebih dulu di pagi ini sembari menunggu kapan saat yang tepat bagi keduanya untuk berbicara. Rena juga yakin, Kayla pasti punya kesibukan sendiri seperti kuliah pagi ataupun mengurus ibu mereka yang sedang sakit. Maka ia perlu menyesuaikan dengan waktu luang ad
Andreas mengancingkan kemeja berwarna terakota yang akan ia kenakan. Meski waktu baru tergolong subuh hari, dengan langit fajar belum sepenuhnya menguning menyongsong pagi, pria itu sudah tampak lebih segar dengan rambut basah dan aroma mint pasta gigi setelah keluar dari kamar mandi beberapa belas menit yang lalu. Selesai berpakaian lengkap, ia pun beranjak menuju sisi sebelah kiri ranjang. Hanya beberapa langkah dari pintu masuk terdapat kasur lipat yang terhampar di lantai bagian sisi tersebut, tempat di mana seseorang sedang meringkuk bagai bayi dalam selimut tengah terlelap di atasnya. "Lukman," panggil Andreas pada sosok yang masih dibuai kantuk tersebut. Namun tak ada jawaban berarti Andreas dapatkan selain dengkuran halus yang lirih terdengar. "Lukman." Sekali lagi hanya gumaman pelan yang Andreas dengar sebagai balasan, sembari tubuh personal asistennya itu berganti posisi telentang dengan dengkuran yang kini jauh lebih besar.
Rena mengakui, tempat kediaman yang ia tinggali dalam misi pelariannya memang terlihat luar biasa mengagumkan saat siang hari. Meskipun hanya tersisa berdua bersama Mbok Irma di bangunan yang luar biasa lapang serta sunyi ini, ditambah pekarangan pribadi yang luasnya setara town house, perasaan takutnya sudah jauh berkurang tidak seperti waktu pertama kali menginjakkan kaki ke sini seperti malam kemarin. Perlakuan baik yang ia terima dari Mbok Irma, benar-benar memberikan Rena rasa nyaman. Sekalipun pertemuan pertama mereka baru terjalin kemarin, Rena tidak merasakan kecanggungan apapun sebagaimana yang selalu ia hadapi ketika bertemu dengan orang-orang baru. Usia Mbok Irma yang mungkin hampir sepantaran umur ibunya, ditambah sikap welas asih sangat meneduhkan dari wanita itu, membuat Rena seolah merasa memiliki orang tua kedua yang sarat akan rasa mengayomi. Maka dengan tanpa sungkan, Rena pun mulai memanfaatkan kesempatan luang yang ada demi menjalin
Andreas tahu, berlama-lama menghindari Antonio juga tak ada gunanya. Cepat atau lambat, ia juga pasti akan berhadapan dengan pria tua itu, mengingat betapa gigihnya semua telepon dan pesan masuk yang terus saja meraung di layar ponsel miliknya maupun Lukman. Seperti sekarang ini, ketika jam makan siang kantor baru berakhir sepuluh menit lalu, Antonio datang menyambangi ruang kerjanya untuk menuntut banyak penjelasan tentang keberadaannya yang tiba-tiba hilang dari ruang komunikasi dan peredaran mata pria itu. "Darimana saja kamu? Galuh bilang semalam kamu nggak pulang ke apartemen." Galuh adalah sekertaris pribadi Antonio yang selalu menjadi mata dan telinga bagi pria itu dalam memantau keberadaan putranya. "Papa juga hubungi asisten kamu tapi malah nggak diangkat, apa kalian kerjasama buat menghindar, Andreas? Dan yang kemarin itu apa-apaan kamu? Bagaimana bisa perempuan sialan itu----" "Satu-satu." Andreas memotong kalimat berapi-api Antonio
Benar-benar sebuah lelucon menggelikan. Apalagi mendengar langsung bagaimana seorang Hendrawan Sanjaya berperan menjadi ayah bijaksana demi nama baik rumah tangga putrinya, yang bahkan tak pernah ia pedulikan. Sekalipun jasadnya sudah terkubur di dalam tanah. Andreas pikir, keluarga terlampau cuek seperti Sanjaya tidak terlalu senang mengundang orang lain ke dalam drama hidup mereka, selama hal itu tidak mengusik martabat dan nama baik yang mereka agung-agungkan. Namun dari pembicaraan singkatnya bersama Hendrawan di telepon beberapa jam lalu, sepertinya ayah mertuanya itu tak akan melepaskan Andreas dengan mudah kali ini. Apalagi setelah semua pemberitaan media yang terjadi. Lagipula ia yakin, bukan murni rasa empati pada Namira lah yang menggerakan Hendrawan mengungkit masalah berita penuh sensasi ini ke permukaan, tapi tidak lebih pada harga diri setinggi langit pria itu yang merasa tercoreng, karena sang menantu tidak lagi menganggap keberadaan mereka cukup
Rena menatap sayang lauk-pauk melimpah tersaji di hadapannya. Meja makan terlihat penuh itu seolah tampak kontras dengan jumlah ketiga penghuni yang belum tentu mampu menghabiskan jatah makanan sebanyak itu. Pukul sepuluh memang terlalu larut untuk disebut makan malam. Berterima kasihlah pada seseorang yang harus membuat mereka menunggu tanpa kepastian hanya untuk sekedar mengisi perut. "Apa sebaiknya Mbok telepon saja?" tanya Rena pada Mbok Irma karena wanita paruh baya itu beserta suaminya tetap bersikukuh menunggu kedatangan Andreas meski waktu sudah menunjuk jam-jam suntuk. Benar-benar bentuk loyalitas yang tak mampu dimengerti oleh Rena sendiri. Terutama jika loyalitas itu ditujukan pada sosok tanpa hati nurani seperti Andreas. Mbok Irma menggeleng pelan. "Neng Rena nggak apa-apa kalau memang mau makan lebih dulu. Mbok sama suami bisa nyusul sebentar lagi. Nggak perlu merasa sungkan, Neng. Mbok nyiapin makanan ini buat Neng Rena juga, Kok."
Andreas tak mengerti kenapa ia justru berakhir di hadapan bangunan dua lantai semi Belanda di depannya ini. Daripada memilih terlelap usai hari yang panjang di apartemennya sendiri, ia malah memutuskan menyetir menempuh lebih dari 60 kilometer perjalanan jauh-jauh ke Bogor. Masih lengkap dengan pakaian kerja yang sudah tak serapi tadi pagi karena berbagai kesibukan padat terlewati seharian. Melonggarkan simpul dasi, Andreas menghempaskan sisa rasa lelahnya bersandar sejenak pada kursi jok pengemudi, membiarkan kesunyian ruang menjadi temannya untuk berbagi penat. Karena pertemuannya dua jam lalu dengan keluarga Sanjaya, benar-benar menjadi penutup hari yang buruk untuknya.Andreas masih memandang lurus pemandangan beranda villa lengang di depan sana. Rasanya lucu sekali saat menyadari ia sudah dua kali menempuh jarak Jakarta-Bogor hanya dalam selang waktu dua hari, demi kembali berada di tempat yang sedari dulu selalu enggan untuk ia pijaki. Yang bahkan dalam li