Lahat ng Kabanata ng Ketika Hati Mulai Mendua: Kabanata 41 - Kabanata 50
68 Kabanata
Permainan Baru Dimulai
Pagi ini aku langsung ke kantor Mas Fandi, sudah janjian dengan Pak Burhan. Aku memarkir mobil di tempat lain, supaya Mas Fandi tidak tahu kalau aku ke kantornya. Suasana kantor belum begitu ramai. Aku pun segera menuju ke ruang Pak Burhan. Pasti Pak Burhan sudah ada di ruangannya, sesuai dengan janjinya akan menemuiku jam delapan pagi. "Silahkan duduk Bu Anis! Ada perlu apa ya? Kok sepertinya penting sekali," kata Pak Burhan. "Terima kasih Pak. Begini Pak, ini ada imbas dari video viral kemarin. Prosedurnya bagaimana ya, Pak? Saya mau melaporkan Mas Fandi dan Winda, karena mereka sudah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. Terutama Winda Pak! Ini ada video yang mungkin bisa dijadikan bukti perbuatan Winda," kataku sambil memperlihatkan video pemukulan yang dilakukan oleh Winda.  
Magbasa pa
Membuka Lembaran Baru
Beberapa hari ini aku sibuk berburu rumah, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah mencari informasi dari berbagai sumber, akhirnya aku mendapatkan rumah di sebuah perumahan yang cukup ketat keamanannya. Anggi juga senang dengan rumah itu. Aku izin dua hari tidak masuk kerja karena persiapan pindah rumah.     Pakaian dan barang Mas Fandi sudah aku antar ke rumah Ibu melalui kurir. Mau aku antar sendiri, aku belum sanggup bertemu dengan Ibu dan Zaki. Jujur saja, aku sangat menyayangi Zaki. Andai saja Mas Fandi tidak bertingkah lagi, pasti Zaki tetap bersamaku.    Aku beres-beres rumah dibantu oleh Bude Nur, pengasuh Angga dan Anggi dulu. Barang-barang yang tidak aku inginkan, sebagian aku berikan pada Bu Nur dan sebagian lagi ada yang aku jual. Uangnya lumayan untuk membeli perabotan yang baru.   
Magbasa pa
Kasus Tetap Berlanjut
"Perkenalkan Mbak, saya Rosmiati. Panggil saja uti Ros. Di depan itu rumah anak saya," kata perempuan itu, sambil menunjukkan rumah yang dimaksud. "Saya Anis Bu eh Uti Ros. Mari masuk. Silahkan duduk, maaf hanya ada karpet saja," kataku sambil mempersilahkan Uti Ros masuk.  "Nggak apa-apa kok Mbak Anis. O ya, ini saya bawakan makanan buatan saya sendiri," kata Uti Ros sambil menyodorkan makanan di dalam kotak kue. "Wah kok repot-repot Uti. Terima kasih banyak. Maaf saya yang muda yang seharusnya datang mengenalkan diri," kataku dengan perasaan yang tidak enak. "Mbak Anis kan sibuk, jadi bisa dimaklumi." Aku beranjak ke belakang untuk membuatkan minum. "Mbak Anis, nggak usah repot-repot bikinin minuman. Air putih saja," cegah Uti Ros. "O iya Uti, saya ambilkan air putih," kataku. "Silahkan diminum uti," kataku sam
Magbasa pa
Mendapatkan Sanksi
[Ma, gara-gara Mama melaporkan video itu. Papa sekarang jadi non job!] Sebuah pesan dari Mas Fandi. Ternyata dia tadi menelponku, tapi tidak terdengar olehku. [Bukan urusanku!] Aku balas pesannya. Mas Fandi memang memiliki jabatan di kantornya dan posisinya sangat basah karena sering memegang proyek. Kalau sekarang non job berarti hanya staf biasa yang hanya mengandalkan gaji bulanan tanpa ada tunjangan yang lainnya.  [Bagaimana papa bisa memenuhi kebutuhan Zaki?] Pesan dari Mas Fandi. [Salah sendiri. Makanya kalau mau berbuat sesuatu yang melanggar aturan, dipikirkan dulu. Masih mending tidak dipecat!] balasku lagi. Aku sudah sangat kesal dengan Mas F
Magbasa pa
Bertemu Winda Lagi
"Ibu kenapa? Apa yang Ibu rasakan?" tanyaku pada Ibu mertua. Tadi Mbak Sisi menelpon ku memberitahu kalau Ibu sedang sakit, tapi tidak mau dirawat dirumah sakit. Aku pun segera meluncur ke rumah Ibu. "Ibu nggak apa-apa kok Nis, hanya capek saja," jawab Ibu dengan pelan. "Maafkan Anis, Bu, sudah lama tidak menemui Ibu." Mataku berkaca-kaca menatap Ibu. "Ibu maklum kok, Nis." "Bagaimana kabarnya Zaki?" tanyaku. "Zaki sama Mbak Yuni, Nis. Biar Ibu bisa istirahat. Mungkin benar Ibu kecapekan. Capek badan dan pikiran," kata Mbak Sisi. "Ibu ke rumah Anis saja, Bu, mau?" tanyaku pada Ibu. "Ibu nggak mau merepotkan kamu, Nis, kalau memang Ibu mau dipanggil Gusti Allah, Ibu mau di rumah ini. Rumah kenangan Ayah dan Ibu, sekarang Ibu sudah siap menghadapNya. Ibu ingin bertemu dengan Ayah." Suara Ibu sangat pelan. 
Magbasa pa
Selamat Jalan Ibu
Minggu-minggu ini aku disibukkan dengan urusan perceraian. Mulai dari dipanggil atasan, mediasi sampai ke BKD. Semua aku jalani dengan senang karena aku ingin segera bercerai dengan Mas Fandi. Ingin memulai hidup sendiri dan mendampingi anak-anak sampai mereka mandiri.  Tapi memang proses ini memakan waktu yang sangat lama. Harus siap mental. Pada saat mediasi, Mas Fandi tidak mau bercerai. Jadi berjalan lumayan alot. Tapi aku sodorkan bukti-bukti perbuatannya, Mas Fandi tidak berkutik sama sekali. Sudah dua hari aku tidak ke rumah Ibu. Ibu masih tergolek lemah di rumah. Beliau tetap tidak mau di bawa ke rumah sakit. Tiba-tiba aku kangen dengan Ibu. Besok pagi sebelum ke kantor aku mau ke rumah ibu, sambil membawakan makanan kesukaan Ibu. Tiba-tiba rasa kantuk menyerangku. Drtt...drtt hpku berbunyi, kulihat jam menunjukkan angka sebelas. Perasaan aku sudah lama tidurnya tapi kok masih jam sebelas juga. Wajar saja, s
Magbasa pa
Marahnya Bapak
Pagi ini rumah Ibu tampak sangat ramai, tetangga, saudara dan handai taulan berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Ibu dikenal sebagai orang yang baik dan ramah pada tetangga. Tetangga ikut membantu segala sesuatu disini. Tetangga adalah saudara terdekat kita. Beberapa tetangga menceritakan kepadaku kebaikan-kebaikan yang sering Ibu lakukan. Aku menjadi sangat terharu, betapa Ibu sangat baik dengan semua orang. Ibu, aku akan selalu mengenang kebaikan Ibu. Drtt… ponselku berbunyi. "Mbak, aku sudah diluar bersama Bapak dan Ibu," Terdengar suara Resti di telpon.  Aku berjalan keluar untuk menemui mereka dan mengajak mereka masuk ke rumah untuk bertemu dengan Mas Hendra dan yang lainnya. "Turut berduka cita ya, Nak Hendra. Ibumu orang baik, insyaallah mendapatkan surga," kata ibuku. "Iya Bu, mohon dimaafkan segala salah dan khilaf Ibu saya," jaw
Magbasa pa
Mas Hendra Marah
 "Kamu jangan pulang dulu, Nis, ada yang ingin kami bicarakan!" kata Mas Hendra selesai acara yasinan hari terakhir di rumah Ibu. Setiap malam aku dan Anggi datang kesini, untuk ikut mendoakan Ibu. Sekalian berkumpul bersama keluarga besar Mas Fandi. Karena setelah ini, belum tentu kami bisa berkumpul seperti ini. Aku tidak masalah bertemu dengan Mas Fandi, tapi aku malas kalau bertemu dengan Winda. Bukannya aku cemburu, sudah tidak ada lagi rasa cemburuku. Tapi aku muak dengan sikapnya yang seolah-olah ia paling berhak atas Mas Fandi. Ternyata ada perempuan seperti Winda, muka tembok dan urat malunya sudah putus. Semua sudah berkumpul, anak-anak Ibu beserta pasangannya. Aku masih menjadi istri sah Mas Fandi, jadi aku diikutsertakan. Winda yang dari tadi disuruh pulang sama Mas Hendra, tetap ngeyel nggak mau pulang. Ia ingin ikut musyawarah karena merasa calon istri Mas Fandi. Akhirnya Mas Hendra mengalah, percuma berdebat dengan orang
Magbasa pa
Pak Rayhan Ternyata...
Hari ini aku dan Anggi berkunjung ke rumah Uti Ros. Setelah hampir satu Minggu disibukkan dengan takziah di tempat Ibu. Aku sudah menyiapkan makanan yang akan kami bawa ke rumah Uti Ros. Aku dan Anggi melangkah menuju rumah Uti Ros yang tampak sepi. Semoga saja beliau ada di rumah. "Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. "Waalaikumsalam." Terdengar suara khas Uti Ros menjawab salamku. Kemudian terdengar suara pintu rumah dibuka. "Eh Mbak Anis, ayo masuk! Ini yang namanya Anggi ya?" kata uti Ros. "Terima kasih Uti Ros, iya ini Anggi. Ini ada sedikit makanan untuk uti Ros," kataku sambil menyodorkan makanan yang aku bawa. "Waduh kok repot-repot sih. Mbak Anis main kesini saja Uti udah senang kok! Silahkan duduk," kata Uti Ros sambil menerima bingkisan dariku. "Sebenarnya sudah lama pengen main ke sini, tapi kok ya belum sempat-sempat. Mak
Magbasa pa
Move On
Drtt...drtt Hpku berbunyi, ternyata Anggi yang menelpon. Aku masih berada di kantor, disibukkan dengan tumpukan kertas yang harus segera diselesaikan  "Assalamualaikum, Ma!" Terdengar suara Anggi di seberang. "Waalaikumsalam," jawabku. "Ma, Anggi pulang sekolah mau pergi ke mall!" kata Anggi. "Sama siapa?" tanyaku. "Sama Key!" "Key siapa?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi, mengingat-ingat teman Anggi yang bernama Key. Kayaknya nggak ada. Tapi aku pernah mendengar nama itu, dimana ya?  "Keyla anak Pak Rayhan itu lho, Ma?" sahut Anggi. Oalah, ternyata aku sudah tua, pelupa. Hihi "Emangnya kalian berteman?" tanyaku dengan heran. "Ih Mama, ya iya lah! Kalau nggak berteman nggak mungkin Anggi mau jalan sama Key." "Kok Mama nggak tahu ya kalau Anggi b
Magbasa pa
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status