All Chapters of Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa: Chapter 201 - Chapter 210
217 Chapters
Tak Perlu Berkata
“Ada yang ingin aku minta darimu, Buyung.”Kembali sang pemuda menatap pada Ibu Suri, lalu kepada si Kuciang Ameh yang lantas mengangguk kepadanya.“A—adakah hal yang bisa saya lakukan, Bundo?” Mantiko Sati menundukkan sedikit kepalanya.“Tentang si Pandan.”“P—Paduko Ratu?”“Yaa,” sang Ibu Suri lalu meraih sebuah kursi dan duduk di kursi itu menghadap ke arah Mantiko Sati dan si Kuciang Ameh. “Kau masih muda, namun memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Dan aku rasa, kau pasti akan bisa melakuan hal yang satu ini.”Sang pemuda mengernyitkan keningnya memandang pada si Kuciang Ameh. Lagi-lagi pria di sampingnya itu mengangguk-angguk.“M—maafkan saya, Bundo. Tapi, sungguh, saya tidak paham sama sekali dengan apa yang Bundo maksudkan,” ujar sang pemuda. “Apakah masih banyak duri dalam daging di dalam istana ini?”&ldq
Read more
Tarian Tanpa Jiwa
Sore, ketika sang surya telah berada di titik sepertiga terakhirnya, Mantiko Sati melangkah di sepanjang koridor sisi depan istana ditemani oleh si Kuciang Ameh. Keakraban keduanya terlihat seperti ayah dan anak.Terlebih lagi, dalam beberapa hari ini, kondisi fisik si Kuciang Ameh telah hampir seratus persen membaik, seperti semula.Sehingga, ketika orang-orang melihat keduanya malangkah santai berdampingan seperti itu benar-benar terlihat seperti seorang ayah dan seorang anak. Ketampanan, kegagahan, dan wajah yang sama rupawannya itu benar-benar memikat mata setiap yang memandang, khususnya bagi kaum perempuan.“Segera,” ucap si Kuciang Ameh seraya menyimpan senyumannya, ia tak hendak memperlihatkan keinginan hatinya di hadapan Mantiko Sati. “Setelah semua hal di dalam istana ini bisa dikendalikan lebih baik, aku akan mengunjungi Upik Andam—entahlah…”Mantiko Sati membuang wajahnya. ‘Mereka yan
Read more
Gabungan Dua Hal
“Tidak ada,” ucap si Kuciang Ameh, dua tangannya berpindah, dari belakang kini berlipat di depan dada. “Semua orang hanya bisa menunggu.”“Sampai berapa lama?”“Sampai tubuh itu tak lagi bisa menari,” si Kuciang Ameh mendesah berat dan panjang. “Atau, terkulai begitu saja di tanah.”Halaman di sisi barat itu ditutupi rerumputan yang pendek yang tebal. Di bagian yang mendekat ke arah tembok pagar bagian dalam, terdapat sebuah kolam hias yang cukup lebar laksana sebuah telaga kecil dengan airnya yang begitu jernih.Untu sesaat, Mantiko Sati mengalihkan pandangannya dari sang ratu ke kolam besar itu. Permukaan air memang terlihat tenang, tapi sesungguhnya ada pergerakan halus di sana. Sepertinya air kolam itu sendiri berasal dari aliran sebuah sungai di sisi utara, mungkin dari bawah tembok pagar yang tinggi itu. Lalu, di ujung selatan adalah titik di mana air itu kembali ke sungai.‘Sa
Read more
Perilaku yang Sama
Tapi, tentu saja si Kuciang Ameh dapat menghindari serangan gegabah dan tanpa tenaga dalam yang besar itu. Ia melentingkan tubuhnya jauh ke belakang sehingga tendangan sang ratu melesat sejengkal saja di depan tubuhnya.Gerakan sang ratu benar-benar lincah, begitu satu tendangannya lewat begitu saja, kaki lainnya melesat seiring perputaran tubuhnya di udara.Si Kuciang Ameh lagi-lagi menyilangkan dua tangan, melindungi bagian bawah pinggangnya yang menjadi sasaran tendangan sang ratu.Desg!Dan kembali tubuh indah nan semampai itu berputar, kaki yang di awal gagal mengenai sasarannya, kini kembali berputar kencang, mengincar leher si Kuciang Ameh.“Gerakanmu benar-benar gesit, Pandan.”“Lancang…!” teriak sang ratu.Swhuuk!Mudah saja bagi si Kuciang Ameh menghindar dengan merunduk jauh, hingga hampir berjongkok di tanah. Dan kemudian melontarkan tubuhnya ke arah kanan, ke arah sang Ibu Suri.
Read more
Keyakinan
“Kau sudah membunuh orang kepercayaanku!” ucap Ratu Mudo pada Mantiko Sati. “Kau harus menerima hukuman!”Sang ratu melompat dengan tubuh berputar, tujuh selendang dengan tujuh warna di pinggangnya ikut berputar, dan gerakan itu semakin memperindah perputaran tubuhnya.Mantiko Sati sangat takjub dengan gerakan gemulai namun juga sangat cepat itu. Ya, kekaguman yang hampir saja berbuah kesialan andai saja ia tidak dengan segera merunduk sembari memutar dua tangan sedemikian rupa ketika tujuh ujung selendang menderu laksana tombak sejengkal di atas punggung.Sang pemuda rupawan memutar tangannya, dan dengan cepat dapat menangkap ketujuh selendang. Ia sedikit menyentak selendang-selendang tersebut hingga membuat tubuh sang ratu tertarik ke arahnya.“Mati kau!” teriak sang ratu seraya melesatkan jurus telapak yang lebih mirip gerakan patukan dari seekor bangau, mengincar wajah sang pemuda.Tapi serangan itu terlalu m
Read more
Dengan Kelembutan
Ibu Suri mengangguk pasti setelah satu helaan napas yang panjang kepada si Kuciang Ameh.“Yaa, jika ada sedikit kemungkinan saja untuk bisa mengambalikan putriku seperti yang dahulu—yaa, kau benar, Masuga. Lakukanlah.”Si Kuciang Ameh tersenyum. Ia kemudian memandang ke arah Mantiko sati yang masih mengelak ke sana kemari dari serangan kedua tangan sang ratu.“Lakukanlah, Buyung!” teriak si Kuciang Ameh.Mantiko Sati seperti menari di tempat mengelak dari serangan tangan, lalu tendangan demi tendangan dari sang ratu.“Maafkan hamba, Paduko Ratu,” ucapnya sembari menatap wajah jelita itu.“Tiada maaf bagimu!” balas sang ratu yang kemudian melompat dengan menggerakkan dua kaki sekaligus berulang-ulang.Tendangan beruntun itu mustahil untuk ditangkis oleh Mantiko Sati tanpa menciderai kaki sang ratu.Maka, dengan memanfaatkan lilitan selendang di kedua tangannya, Mantiko Sati m
Read more
Auman Mengguncang Jiwa
Dan seiring itu pula pancaran aura kebiru-biruan di kedua bola mata Mantiko Sati semakin terlihat nyata berpendar. Tiba-tiba sang ratu membuka matanya, mata itu terlihat putih keseluruhannya, lalu dengan cepat seperti membersitkan cahaya kebiruan pula.Yaa, sesungguhnya, Mantiko Sati menyalurkan lebih dari setengah energi tenaga dalam yang ia miliki ke dalam tubuh satu.Lalu…Splasss…!Satu ledakan menghempaskan permukaan air menjadi lebih bergelombang lagi daripada sebelumnya, dan bersamaan itu, seolah sengaja menekan lebih kuat, Mantiko Sati membuat sang ratu tenggelam sepenuhnya ke dalam kolam, dan detik selanjutnya disusul pula oleh sang pemuda sendiri.“Pandan…!” teriak sang Ibu Suri dengan satu tangan teracung ke arah kolam begitu melihat kedua muda-mudi itu tenggelam di dasar kolam.“Uni, sabarlah!” si Kuciang Ameh kembali menahan bahu sang kakak. “Kita tunggu saja, Uni. Tenanglah. Be
Read more
Canggung
Sore itu, Mantiko Sati sedang berbincang-bincang santai dengan Gadih Cimpago yang telah berangsur membaik kondisinya. Ya, anak perempuan mendiang Datuak Marapi itu telah terlihat kembali kekecantikannya. Hal ini membuat Mantiko Sati selalu salah tingkah terlebih lagi setiap kali beradu pandang dengannya.‘Tahan, Buyung, tahan,’ gumam sang pemuda di dalam hati. ‘Uni Gadih sudah bersuami. Apa yang kau pikirkan, hah? Dasar bodoh!’Gadih Cimpago tersenyum-senyum mendapati tingkah aneh pemuda rupawan di sampingnya itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Paling tidak, sebagai orang yang lebih tua dari pemuda itu sendiri, tentulah Gadih Cimpago cukup mengetahui gelagat yang ditunjukkan sang pemuda.“Kau itu kenapa, Sati?” tanya Gadih Cimpago.Langkah keduanya sama terhenti di dekat taman sisi barat istana. Taman di mana pagi tadi Mantiko Sati mencoba memberikan pengobatan pada sang ratu yang sekarang sang ratu
Read more
Hal yang Telah Lama Hilang
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a
Read more
Sang Ratu Telah Siuman
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Read more
PREV
1
...
171819202122
DMCA.com Protection Status