All Chapters of Kafan Hitam: Chapter 21 - Chapter 30
198 Chapters
18
Ilham meneguk kopinya untuk menjeda cerita, membiarkan kedua pemuda di dekatnya mencerna informasi yang baru saja dirinya bagikan.“Lalu sebenarnya apa hubungannya dengan kasus pembunuhan itu, Kang?” tanya Reza yang kini bersandar pada kaki kursi.Ilham mengembus napas panjang. Pandangannya teralih sesaat pada langit-langit ruangan. “Saya akan ceritakan sejarah desa ini dulu, dan setelah kalian mendengar semuanya, kalian akan tahu alasan di balik semua kejadian di desa ini.”Rojali memberi tanda pada Reza untuk diam. Reza mengangguk, tak banyak protes.“Saat warga menemukan rumah sudah kosong, kecurigaan warga pada orang-orang asing itu kian bertambah. Dengan amarah yang kian berkecamuk, warga kembali ke desa dan mengabarkan berita ini ke seluruh penduduk. Pencarian dikerahkan. Namun, usaha warga tampaknya sia-sia. Orang-orang asing itu tak ditemukan di mana pun.Beberapa minggu kemudian, terjadi hujan besar selama ber
Read more
19
Kedatangan Ilham ke Ciboeh nyatanya membuka secarik rahasia yang semula terkunci rapat. Informasi mengenai sejarah desa serta siapa sosok misterius yang penduduk desa panggil sebagai Mbah Atim mulai sedikit terkuak.Masih di kediaman Ki Udin, di tengah hujan yang kian mengganas, dua pemuda itu makin larut dalam informasi yang disampaikan Ilham. Baik Rojali dan Reza sontak berbagi pandangan saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ilham. Rona keterkejutan dengan jelas terpahat di paras mereka.“Alasan kenapa Mbah Atim datang dan menjadi penjaga makam di desa ini tak lain karena permintaan Ki Udin,” jelas Ilham.Pandangan Rojali dan Reza kembali menumbuk. Dua pemuda itu belum mampu bicara. Mulut mereka terbuka, tetapi bibir seakan enggan bicara.“Dan permintaan itu tentunya ada bukan tanpa sebab,” lanjut Ilham, “permintaan itu ada setelah Ki Udin mendengar cerita dari Mbah Atim mengenai sesuatu yang tersembunyi di desa in
Read more
20
Reza pulang ke rumahnya dengan membawa beragam pertanyaan. Seharian ini, pemuda itu menghabiskan waktu di dalam kamar. Masalah bengkel dan toko, ia serahkan pada bawahannya. Ia hanya keluar kamar hanya untuk urusan perut.Sebenarnya, kecurigaan Reza pada Ilham timbul saat ajakan Rojali untuk berjemaah di masjid ditolak pria itu. Ia sedikit tahu bagaimana keluarga Ki Udin. Keluarga itu bisa dibilang taat terhadap perintah agama. Jadi, aneh rasanya kalau Ilham sampai menolak ajakan tersebut. Toh, Ki Udin saat itu sudah dalam kondisi bangun.Lamunan Reza seketika buyar begitu mendengar teriakan bapaknya di pintu kamar. Pak Dede memelotot dengan tangan yang sudah berkacak pinggang. Tak ada raut ramah saat Reza bangkit dari kasur.“Aya naon, Pak?”“Aya naon, aya naon?” sentak Pak Dede, “Bapak panggil dari tadi malah cicing wae (diam aja)! Tuli kamu?”Reza segera duduk di bibir kasur, mengaca
Read more
21
Ucapan Ilham terjeda beberapa saat. Angin malam menerobos ketegangan yang sempat terjadi di antara ketiga pemuda itu.“Perlu kalian tahu kalau ... saya ini adalah anak dari pria yang kalian sebut sebagai Mbah Atim,” ungkap Ilham.Rojali dan Reza saling berpandangan. Mimik keterkejutan hadir meski tak berlangsung lama.“Saya sudah tahu itu,” ungkap Rojali.Ilham pikir kedua pria di depannya akan terkejut dengan penuturannya, tetapi nyatanya justru ia sendiri yang dibuat terperangah. Pria itu lalu tersenyum. “Saya teu ngira kalian bisa tau sejauh itu.”“Saya menemukan foto ini di kamar Ki Udin saat subuh tadi,” tunjuk Rojali dengan secarik kertas di tangan, “butuh beberapa waktu bagi saya untuk bisa menyimpulkan kalau ini foto Mbah Atim sewaktu muda. Selain itu, saya sudah bertanya pada salah satu saudara Ki Udin di kampung ini. Mereka mengatakan kalau Ki Udin sama sekali tidak memiliki c
Read more
22
“Sebenarnya sudah lama bapak saya memperhatikan kamu, Rojali,” ucap Ilham setelah hening beberapa saat, “bapak saya percaya kalau suatu saat kamu bisa membantunya untuk menyelamatkan desa ini. Dan ternyata, penilaian bapak saya benar. Kamu punya pengetahuan, ilmu agama, tenaga, kepercayaan dari warga, juga mampu mengendalikan emosi.”Pikiran Rojali seketika melayang pada beberapa kali perjumpaannya dengan Mbah Atim. Penjaga makam itu sering kali menatapnya dengan pandangan yang seakan mengulitinya dari atas hingga bawah. Ia juga teringat dengan mimpi beberapa hari lalu tentang pesan yang dikirim sosok pocong berkafan hitam mengenai kondisi desa yang sedang dalam bahaya.Rojali menoleh sesaat pada Reza yang tertunduk lesu. “Saya tidak sesempurna itu. Kalau bukan tanpa bantuan Reza, saya tidak mungkin bisa sampai sejauh ini. Bagaimanapun juga, untuk menjaga desa ini saya tidak bisa melakukannya seorang diri.”Reza seketika mendo
Read more
23
“Itu ....” Rojali berusaha menggali ingatan. Otaknya dipaksa membuka kilasan memori masa lalu. Ia cukup yakin kalau dirinya pernah bertemu dengan pria itu di suatu tempat. Namun, saat otaknya dipaksa bekerja lebih keras, hanya kebuntuan yang ia dapat.Rojali sontak menoleh begitu bahunya ditarik Reza. Sahabatnya memberi kode agar ia segera menjauh dari lokasi. Rojali dengan gerakan senyap segera mengikuti Reza dan Ilham.Ketiga pemuda itu berjibaku dengan pekatnya hutan. Serangga malam serta desir angin di dedaunan menjadi musik pengiring kala ketiganya menyusuri Legok Kiara. Bangunan di atas bukit itu perlahan mengecil. Kini, ketiganya sudah berada di gerbang pemakaman.  “Saya harus pulang hari ini,” ujar Ilham sembari menyapu bulir keringat di dahi dengan punggung tangan.“Kenapa?” tanya Rojali.“Kalau saya tetap berada di desa ini, cepat atau lambat warga akan sadar siapa say
Read more
24
Saat matahari mulai meninggi, pihak kepolisian ditemani perangkat desa sudah berada di kediaman Mak Iyah. Warga yang sebelumnya lari ketakutan, berkerumunan kembali meski melihat dari jarak lumayan jauh. Rupanya penasaran mampu mengalahkan ketakutan mereka. “Kami akan selidiki kasus ini lebih lanjut,” kata seorang polisi sambil berjalan ke arah mobil.  Pak Dede, aparat desa serta tokoh masyarakat mengikuti dari belakang. Rojali dan Reza juga ikut ambil bagian. Begitu mobil polisi menghilang dari halaman, kerumunan warga bubar dan menyisakan kepulan debu yang terbang disapa angin.“Gusti Nu Agung,” ujar Pak Dede sembari melepas peci. Bulir keringat menumpuk di dahi. Kepalanya serasa ingin meledak saat kejadian menyeramkan kembali terjadi di desa yang dipimpinnya. Embusan napasnya terdengar berat.“Bagaimana ini Pak Dede?” tanya Pak Yayat dengan raut wajah khawatir. Orang yang tersisa di halaman Mak I
Read more
25
Langit tampak menguning saat Pak Iwan kembali ke rumah. Kepala Dusun Cigeutih itu melepas peci setelah pantat mendarat di kursi. Helaan napasnya terdengar berat. Meski rumah dalam keadaan sepi, tetapi suara-suara ketakutan dan ketidaknyamanan warga saat rapat kampung tadi masih terngiang hingga sekarang. Tak jauh berbeda dengan Cimenyan, Cigeutih bereaksi saat kabar penemuan potongan kepala itu tersiar. Saat pulang dari pertemuan, warung dan toko warga sudah tertutup rapat. Jarang sekali Pak Iwan melihat warga atau anak-anak berkerumunan di luar. Pria tambun itu hanya mendapati seorang wanita yang tengah memarahi anaknya saat ketahuan main di halaman.Pak Iwan menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan. Ia sandarkan punggung ke kursi kayu. Langit sudah bersolek lembayung. Tak berselang lama, hujan mengguyur deras. Jutaan rintik air itu ikut memboyong petir dan guntur.Dari halaman, seorang wanita berciput merah berlari ke arah rumah dengan langkah
Read more
26
Dua jam kemudian, balai desa sudah disesaki para warga yang berdatangan. Pak Dede sudah duduk di antara kerumunan. Hidangan belum satu pun disentuh. Pisang, ubi dan kacang rebus itu dibiarkan menumpuk di piring. Tak biasanya kumpulan sepi dari obrolan. Kebanyakan warga memilih menutup mulut, hanya sebagian yang mengobrol meski dengan suara berbisik.“Mana Rojali?” tanya Pak Dede yang langsung memecah suasana kumpulan. Matanya seketika menyisir orang-orang.Sosok yang dicari nyatanya baru muncul melalui pintu aula. Rojali tidak datang sendiri. Ada Reza dan juga Aep yang membuntuti dari belakang. Tatapan orang-orang seketika tertuju pada tiga pria itu. Namun, yang menjadi fokus mereka adalah Aep, salah satu korban peristiwa kemarin.“Kenapa Aep ada di sini?” Pertanyaan tersebut bersarang di masing-masing benak hadirin. Wajah pucat pria itu timbul-tenggelam karena terus diperhatikan.“Punteun¸ kami telat,” u
Read more
02 - Kafan Hitam (Part 1)
Desa Ciboeh, 1985 “Ketemu! Ketemu!”Makhluk hitam itu bertepuk tangan beberapa kali. Ia melompat-lompat dengan satu tangan menggenggam kayu jendela. Matanya tertuju pada Romlah yang sudah terbaring pingsan di lantai.Makhluk hitam itu tertawa, melompat-lompat dengan gerakan memutar. Tangannya kirinya menyelinap masuk melalui celah jendela, lantas menyimpan satu keresek hitam berisi beberapa buah delima di lantai. Sosok itu menggeram beberapa kali dengan lidah menjulur. Setelahnya, ia pergi ke arah pekatnya persawahan.Makhluk setinggi pria dewasa itu berjalan di pematang sawah. Perjalanannya ditemani tawa tak berkesudahan. Terkadang, ia melompat di licinnya tanah, dan saat terjatuh, ia buru-buru bangkit, lalu kembali tertawa sembari memukul-mukul perut.Cahaya bulan menjadi satu-satunya sumber penerangan. Suasana tampak hening, yang terdengar suara katak sawah, nyanyian burung hantu yang b
Read more
PREV
123456
...
20
DMCA.com Protection Status