All Chapters of Penyintas: Chapter 11 - Chapter 20
57 Chapters
#10 Tempesse (bagian 2)
-ruang rahasia 11, dunia virtual- “Bisa memindahkan jiwa?” ujar Mister Gray takjub. “Dapat diinterpretasikan demikian. Namun, fungsi utama dari Tempesse ini ialah untuk menyimpan, untuk mempertahankan, satu jiwa makhluk hidup-” jawab Miss Briece. “baik itu hewan maupun manusia…” lanjutnya. “……” Ruangan menjadi sunyi selama beberapa saat. Entah itu Mister Henders ataupun Mister Gray, keduanya menatap benda yang berotasi konstan itu lekat-lekat. Bahkan Samala sampai membelalakkan matanya. Namun tidak dengan satu orang. “Hewan maupun manusia…? Jiwa siapa yang berhasil kalian pindahkan?" “Baik, menjawab pertanyaan Madame Dendrich, setelah percobaan menggunakan lebah dan kupu-kupu itu berhasil, kami mulai merencanakan penelitian ini kepada manusia. Butuh waktu berminggu-minggu untuk menemukan relawannya. Dan beruntungnya, setelah tiga hari relawan pertama berhasil kami temukan, salah seorang pasien di lantai medis dinyatakan wafat.
Read more
#11 X9
-Blok H, Primus, Lantai 138- Ceklek! “Hup!” Membawa sebuah kotak besar dengan kedua tangannya, Visera berjalan menuju sebuah kotak yang jauh lebih besar yang berdiri di ujung jalan. Setelah meninggalkan kotak yang dibawanya itu di sana, ia berjalan kembali ke ruangan. Sewaktu berbalik, dari kejauhan, terlihat seseorang yang sedang duduk di kursi umum yang berada di persimpangan menghadap ke arah ruangannya. Postur tubuhnya terlihat familiar. Tep tep tep tep…! Dengan langkah terburu-buru Visera mendekati orang itu. Namun tiba-tiba ia memelankan langkahnya lantaran mengetahui bahwa orang itu sedang tertidur. “Hmmm…” gumamnya memperhatikan penampilan orang itu dengan cermat, terutama dua jemarinya yang terdapat siluet hewan bernama lumba-lumba itu. Apa-apaan nih, kemarin kayaknya wajahnya serem banget… . . .   “hmmm..?” Secara perlahan ia membuka matanya dan
Read more
#12 Mujur
-Lantai 146, pintu masuk utama Kawah Pemurnian, beberapa jam yang lalu- Terlihat banyak warga yang lalu lalang masuk ke dan keluar dari tempat itu. Namun tidak dengan seorang perempuan ini yang duduk diam sedari tadi di pojokan. Matanya mengamati barang-barang yang dibawa masuk oleh para komuter ke dalam aula besar itu. "Dua juta Am... seratus enam puluh juta... Dua juta Am... seratus enam puluh juta...” gumamnya tidak karuan. Pengunjung lain yang berlalu lalang di sekitarnya pun menatap ke arahnya dengan wajah yang prihatin. Uh… Nyari satu chip aja kok gini amat… keluhnya dalam hati. Kenapa tidak ada yang buang alat elektronik sih…? Mana Cimot ngilang lagi… Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh sebuah tangan yang besar, kepalanya menoleh ke arah sebuah pintu yang lebih kecil yang jaraknya tidak jauh dari pintu utama. “Sudah? Jelas?” terdengar suara tanpa raga itu di telinganya. “Sebenarnya belum sih, tapi th
Read more
#13 Barter
Tatatatatak…! Setelah mengumpulkan informasi pribadi dari wanita bernama Rosa itu, Visera kembali mengetik papan tombol dengan gesit dan cepat, mengejar proses pembuatan Identity Chip versinya itu. Portable Identity Chip (PIC), begitulah sebutan yang ia berikan. Tidak ada hukum untuk tindakan ilegal ini. Karena tidak pernah ada kasus kepemilikan Identity Chip ilegal yang terungkap. Selain itu, hampir tidak ada satupun yang mengetahui dan mampu untuk membuat PIC-nya kecuali dirinya sendiri dan satu orang lagi, yang sekaligus merupakan orang yang mengajarinya. . . . Tak! “Ini minum…” ucap sang pemilik ruangan menyodorkan segelas soda padanya. Keduanya diusir dari ruang komputer oleh Visera. “Ini jaket, ini kursi…” lanjut laki-laki itu menyerahkan sebuah jaket tebal padanya sembari menggeser kursi menjauhi meja. “Duduk dengan tenang disini sambil meminum minumanmu. Daah. Hoaahm
Read more
#14 BUCA
[Lantai 138, Internet Café di persimpangan blok H dan J]  “Son! Dua unit!” teriak Visera begitu dirinya memasuki ruangan, membuat Hudson, si petugas internet café itu terkejut. Rosa yang menyusul di belakangnya malah terkejut dengan penampakan sebuah patung seorang perempuan yang berdiri menyambutnya di samping pintu. Sepertinya itu merupakan patung seorang idola. Bila bukan karena papan peringatan [Jangan Disentuh!] di sampingnya, mungkin Rosa sudah akan mengira kalau patung tersebut adalah manusia betulan. “Satu untuk dua jam, satu lagi untuk empat lima menit.” lanjut Visera pada Hudson yang sedang memeriksa layar komputernya. “….ada nomor 3… dan 7... Hei nona yang disana! Bisa lihat papan jangan disentuhnya tidak?!” teriaknya pada Rosa yang langsung menyembunyikan tangannya. “Ehehe…” “………” “….Tidak ada yang bersebelahan?” Visera melanjutkan percakapan. “…ck. Tujuh sembilan, delapan puluh…!” “Ya.” balas Visera si
Read more
#15 Dia…
[Lantai 138, Internet Café unit 78 & 79] “……..” “……..” Sambil mempertahankan senyum bisnisnya, Rosa bergeming dan terus menatap sebuah mata dengan iris berwarna biru itu. Demikian juga dengan lawannya. Ia menatap sepasang mata dengan iris berwarna cokelat tawny. “……..” “……..” “……..Haah…” Orang itu menghela napasnya. “Tidak ada, nona. Lagipula kita tidak saling mengenal. Bagaimana mungkin aku langsung percaya pada seorang yang asing kalau dia itu bukanlah seorang penipu dan hanyalah seorang yang sedang mencari kerja?” lanjutnya. “Tapi aku bukan-“ Ding dong~ Bunyi yang berasal dari komputer unit ke-78. “Waktuku sudah habis, aku harus segera pergi!” ujarnya sembari mengenakan ranselnya. Kemudian ia menekan sebuah tombol, kemudian berdiri dari duduknya, membuka pintu biliknya tersebut, lalu berbalik dan berkata, “Semoga beruntung…!” Blam! “….Yaa~sudah-“ Ding
Read more
#16 Keluarga
-Lantai 75, Brown’s Manipedi- Klining… “Terimakasih telah menggunakan jasa kami!” teriak Hazel pada pengunjung terakhir yang baru saja pergi meninggalkan ruangan. Fiuh… akhirnya selesai jug-?! “Terimakasih atas kerja kerasnya, senior!” sahut Visera yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. “O-oh, Visera… Haha. Terimakasih atas kerja kerasmu juga…!” balas Hazel menatap wajah yang tersenyum ceria itu. Kayaknya ini kedua kalinya dia tersenyum sebahagia ini... batin Hazel yang juga ikut tertular untuk tersenyum. "Sudah, sana pulang! Nanti keluargamu nyariin lho!" lanjutnya. "...iya, terimakasih kak, saya pulang dulu...!" balas Visera membuka pintu, lalu berjalan meninggalkan ruangan. Perasaanku saja atau ekspresinya sempat berubah tadi...? . . . -Lantai 75, ATM Center- Ding! [Permintaan diterima.] Ding! [Silahkan dekatkan Identity Ch
Read more
#17 Anonim
Ada sesuatu yang menggangguku belakangan ini... | -lantai 72, arena penyelaman- "Hmm? Kenapa Vis?" tanya Dan terheran-heran. Sedari awal mereka sampai tadi, Visera terus menerus celingukan ke sana kemari seakan-akan waspada akan keberadaan dari seseorang. Saat itu keduanya sedang berdiri di atas sebuah ekskalator landai yang bergerak naik dan mengantar mereka ke tempat loket sekaligus pusat informasi dari lantai tersebut. Terdapat dinding kaca di sebelah kanan mereka, dan dibagian dalam dinding kaca itu berisi penuh dengan air yang tingginya mungkin tujuh per delapan dari tinggi lantai itu. Tidak hanya itu, beberapa penyelam juga bisa dilihat sedang berenang bersama dengan keluarga, teman, ataupun pasangannya masing-masing. Bahkan ada satu atau dua penyelam anak-anak. “!!” seorang anak melihat ke arahnya dan melambaikan tangan sambil tersenyum. Visera pun balas melambaikan tangan. “Tidak, tidak ada apa-apa…” jawab Visera yang kemudian memutar kembali lehernya ke arah depan. Semenj
Read more
#18 Transaksi
Cklak! “Selamat datang. Beliau sudah menunggu anda.” sambut seorang perempuan yang juga mengenakan pakaian selam. Dan dan Visera pun mengikuti arahan perempuan itu untuk berenang masuk. Begitu masuk, pintu langsung tertutup rapat. Dan dalam sekejap, air yang berada di dalam ruangan habis tidak bersisa. Tes… tes… tes… Tentu saja pakaian selam mereka masih basah. “Ekhem-! Anda memiliki dua pilihan.” ucap perempuan itu menunjukkan kedua jarinya. “Pertama, melanjutkan dengan pakaian selam anda yang basah ini. Kedua, pergi ke dua ruangan yang ada di sebelah sana untuk mengganti pakaian anda terlebih dahulu sebelum bertemu dengan beliau.” lanjutnya menunjuk dua pintu berwarna biru dan merah muda. “…..” “…..” “….bukankah seharusnya anda menanyakan pada saya terlebih dahulu, apakah barangnya sampai dengan selamat atau tidak?” tanya Visera memecah keheningan. “…? Ah! Ma-maafkan saya!” wajah yang tenang itu lang
Read more
#19 Penyakit Lizo
(Semua yang ada di dalam cerita ini tidak ada hubungannya dengan dunia nyata, alias fiksi.) ~ ~ ~ Lima belas hari setelah kejadian di Secundus F6, lima belas menit sebelum jadwal pemeriksaan siang Lizo dilaksanakan, telepon yang ada di ruangan dokter berdering. Bersamaan dengan itu, menyala sebuah lampu tanda terjadi situasi emergensi di ruangan tempat Lizo dirawat. Menyaksikan itu, bulu kuduk Megan langsung berdiri. “Megan, siap-siap...” ujar seniornya tenang. Pip! Ia menekan satu tombol untuk tersambung dengan telepon tersebut. “Ada ap-“ “Dokter, gawat! Tiba-tiba pasien mengalami pendarahan dari panca inderanya!” teriak seorang perawat dengan kencang sampai-sampai Megan bisa mendengarnya. Sang dokter pun langsung berdiri dan bergegas menuju ruangan pasien. Megan ikut menyusul di belakangnya. “Cepat panggil tim tujuh!” “Baik, dokter!” Pip.. pip.. pip…!
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status